Jakarta, ONLINEKRISTEN.COM – Dunia yang kita hadapi dan hidupi sekarang ini bukan lagi sebuah dunia yang ramah, sejuk, nyaman, indah dan asri. Dunia yang damai dan sejahtera, nyaris menjadi mitos, atau serpihan kisah yang hanya hadir dalam novel, film atau sinetron.
Dunia kita dalam beberapa tahun terakhir ini telah berangkat menjadi sebuah dunia yang garang, keras, bersimbah darah, penuh intrik dan teror yang di dalamnya roh intoleransi makin menguat.
Dunia internasional juga mengalami hal yang sama. Masalah terorisme, konflik politik, soal perbatasan, ketimpangan ekonomi antar negara, perusakan lingkungan dan banyak persoalan krusial yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak, telah menganggu kenyamanan hidup warga dunia.
Dari berbagai konflik yang terjadi diberbagai belahan dunia, termasuk di negeri ini konflik yang di kemas, dibumbui atau beri frame agama amat dahsyat dampak negatifnya.
Konflik seperti bisa meninggalkan trauma yang lama dikalangan umat beragama yang pada gilirannya dapat menghancurkan kesatuan bangsa. Itulah sebabnya orang selevel Hans Kung selalu memberi ‘warning’ agar dihindarkan konflik yang berbau agama.
Di negeri ini konflik yang murni berbasis agama, agaknya belum pernah terjadi. Konflik yang pernah terjadi biasanya bermotif ekonomi, ada unsur suku, ketidakadilan, kecemburuan sosial.
Sayangnya konflik itu agar menjadi lebih gaduh dan meledak kemudian dibubuhi bumbu agama. Dan memang dengan bumbu agama itu daya ledaknya lebih kuat dan daya penetrasinya lebih mendalam.
Dalam perkembangan terakhir kita amat prihatin oleh karena kondisi praktis negeri tercinta ini dipenuhi dengan kasus-kasus intoleransi dalam berbagai bentuk.
Bentuknya bisa hujatan keagamaan di medsos, kesulitan dalam pembangunan gedung Gereja, pelarangan pelaksanaan ibadah, demo terhadap kehadiran Gereja disuatu wilayah, gangguan terhadap umat yang sedang beribadah dan bentuk-bentuk yang lain.
Negeri ini per undang-undang sejatinya menjamin kebebasan beragama, namun dalam praktek ketentuan perundang-undangan seperti itu hanya punya makna tekstual-dokumentatif dan tidak pada ranah operasional.
Hampir selalu ada contradictio in terminis dalam banyak aspek kehidupan kita. Ada kontradiksi pada istilah. Contoh yang jelas bisa dilihat dalam hal pelaksanaan kebebasan beragama di negeri ini.
UUD NRI 1945 menyatakan amat eksplisit bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing. Namun dalam praktek hal itu tidak terjadi, ada kontradiksi dalam pelaksanaan UU.
Menarik pernyataan yang di ungkapkan Kitab Pengkotbah yang di kutip di bagian awal. Pengkotbah mengeritik telak paradoks yang ada dalam dunia peradilan.
Ia menegaskan ada contradictio in terminis pada dunia peradilan. Ditempat pengadilan terdapat ketidakadilan, kata Pengkotbah dengan lirih. Anehnya Kitab yang ditulis pada kisaran waktu sekitar th 300 SM memotret sesuatu yang di zaman modern ini juga sedang “in”, sedang menjadi pokok wacana.
Hal yang sungguh menarik adalah Ds. FKN Harahap dalam bukunya Tafsiran Kitab Pengkotbah, BPK Gunung Mulia, Jakarta 1975, hlm 54-55, menyatakan bahwa Mahasiswa bernama Remy Leimena (kini sudah jadi dokter dan berada di Australia) sebagai saksi dalam persidangan Hariman Siregar di PN Jakarta Pusat September 1974 mengutip bagian Kitab Pengkotbah ini, sebagai sebuah pemikiran kritis merespons realitas zaman.
Pada masa-masa Pra Paskah ini Gereja-gereja sedang mengingat ulang jalan sengsara yang ditempuh oleh Yesus agar manusia menikmati keselamatan dan syaloom Allah seutuhnya.
Keselamatan abadi yang dialami manusia tidak jatuh dari langit. Bukan juga karena jasa , kuasa atau pahala manusia.
Keselamatan itu anugerah Allah yang terjadi melalui jalan sengsara yang ditempuh oleh Yesus Kristus. Kondisi itu yang harus menjadi inspirasi bagi Gereja dan umat Kristen untuk mewujudkan Keadilan, Perdamaian, Pemajuan HAM, Kehidupan Inklusiv demi hadirnya NKRI yang bersatu, maju, modern, spiritualitas kukuh dan berkeadaban.
Selamat Merayakan Hari Minggu. God bless.
Weinata Sairin.
Be the first to comment