ONLINEKRISTEN.COM, JAKARTA – Jemaat-jemaat Kristen dalam pertumbuhannya di abad-abad pertama menghadapi begitu banyak persoalan yang tidak mudah baik teologis maupun non teologis.
Pada satu sisi persoalan itu cukup menggoyahkan warga jemaat namun pada sisi lain pergumulan yang dihadapi memberi pengalaman berharga bagi umat dalam upaya memperkuat komunitas kristiani dalam menapaki masa depan.
Masalah yang dihadapi dalam konteks Surat 1 Petrus misalnya jelas berkaitan dengan relasi Gereja dengan penguasa dan masyarakat umum di zaman itu.
Penguasa tidak wellcome terhadap kekristenan dan oleh karena itu banyak tuduhan yang bersifat fitnah yang diarahkan kepada umat Kristen. Misalnya umat Kristen dituduh membakar kota Roma di zaman itu.
Umat Kristen dianggap berjiwa “kanibal” oleh karena rumusan yang ada dalam Perjamuan Kudus yaitu “makan tubuh dan darah”.
Pada abad pertama khususnya dalam konteks Surat Petrus umat Kristen mengalami hambatan, penganiayaan (persecution) dari penguasa.
Saat itu ungkapan yang terkenal adalah “darah para martir adalah benih Gereja”. Banyak umat Kristen dibunuh dengan cara-cara yang biadab, diluar perikemanusiaan, banyak darah umat tertumpah karena mempertahankan iman mereka. Tetapi darah itulah yang kemudian menjadi benih yang menumbuhkah Gereja di berbagai tempat.
Memang di sepanjang sejarahnya dari zaman ke zaman, kekristenan mengalami penghambatan yang hebat. Dunia benar-benar menolak kekeristenan dan umat Kristen mengalami derita yang amat parah.
Secara fisik mereka mengalami persekusi yang hebat, secara psikologis mereka juga mengalami tekanan yang amat berat.
Pengalaman empirik seperti ini yang membuat kekristenan kuat, powerfull dan tetap eksis dalam menghadapi berbagai tantangan yang selalu hadir dari zaman ke zaman.
Hal yang spesifik yang menjadi pergumulan Jemaat Galatia adalah soal klasik oleh karena warga jemaat ini memiliki latar belakang Yahudi dan masih tetap memiliki mindset hukum Taurat dan keyahudian.
Banyak dari mereka yang tetap beranggapan bahwa *sunat* itu penting dan wajib hukumnya., dan hari-hari raya perlu dirayakan (5 : 2,3; 4 : 10) Paulus tentu saja membantah pemikiran itu dengan berbagai argumen walau harus diakui bahwa virus keyahudian utamanya tentang sunat itu telah banyak merasuki kehidupan umat dan membuat kehidupan Jemaat tidak lagi solid.
Sejak awal memang ada juga nuansa emosional dalam diri Paulus tatkala ia berhadapan dengan umat di Galatia, sehingga ia mengungkapkan kata-kata “hai orang-orang Galatia yang bodoh.”
Pada bagian itu amat jelas Paulus menekankan bahwa umat diselamatkan oleh iman dan bukan dengan melakukan hukum Taurat.
Paulus mengeritik dengan amat keras orang-orang yang ngotot tentang sunat dan hukum Taurat di Jemaat Galatia. Mereka itu kata Paulus ternyata tidak memelihara hukum Taurat, mereka hanya menyuruh umat melakukan sunat agar mereka bisa memegahkan diri (6:13).
Sikap Paulus sangat jelas. Bagi dia bersunat atau tidak bersunat tidak ada artinya. Menjadi ciptaan baru itu yang ada artinya!
Menarik karena Paulus bicara disini tentang arti “ciptaan baru” yang sudah dikatakannya pada 2 Korintus 5:17. Ciptaan baru lebih punya arti ketimbang soal ‘sunat’.
Sunat adalah isu lama, isu yang out of date, isu yang mengacu pada syariat Taurat. Paulus mengingatkan umat bahwa Jemaat Galatia kini hidup dalam era “anugerah”, era hukum kasih dan bukan “era syariat”.
Firman Tuhan dari Galatia ini tetap penting bagi kita untuk menapaki kehidupan di era digital yang penuh turbulensi.
Kita dianugerahkan keselamatan oleh Yesus Kristus bukan karena amal kebajikan atau melakukan syariat agama. Bagi kita umat Kristen, sunat hanya punya perspektif medis dan bukan bagian dari inisiasi kekristenan.
Kita yang hidup di dalam Kristus adalah ‘Ciptaan Baru’ sebab itu kita harus mewujudnyatakan kebaruan itu dalam kehidupan konkret.
Selamat Merayakan Hari Minggu. God Bless.
Weinata Sairin.
Be the first to comment