KETUM GAMKI OPTIMIS, KEDEPAN, PEMILIH LEBIH KEDEPANKAN RASIONAL DIBANDING EMOSIONAL

KETUM GAMKI OPTIMIS, KEDEPAN, PEMILIH LEBIH KEDEPANKAN RASIONAL DIBANDING EMOSIONAL

ONLINEKRISTEN.COM, JAKARTA – Ketua Umum Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI) Michael Wattimena, SE, MM, menyatakan keprihatinannya terkait penyelenggaraan Pilkada, terlebih khusus Pilkada DKI, yang masih bermuatan isu SARA dalam rangka menjatuhkan salah satu paslon gubernur.

“Hari-hari ini kita mengalami keprihatinan nasional, dimana saya merasakan atmosfir itu terkait berbagai tindakan anarkis yang dapat disaksikan melalui media elektronik dan lainnya,” kata Michael yang juga Anggota DPR RI dari Partai Demokrat, disela-sela dirinya diundang menjadi narasumber dalam rangkaian acara Paskah Nasional di Hotel Novotel Grand Kawanua, Manado, Senin, 24 April 2017 dengan membawakan topik “Misi Gereja dalam Politik”.

Lebih lanjut Michael mengatakan getaran dan denyut yang sama juga dirasakan di lingkungan legislatif. Dia mencontohkan pada saat membuat RUU dimana dirinya tergabung dengan Panja RUU Ormas 2014.


Menurutnya, pembahasan RUU Ormas tersebut memakan waktu lama lantaran terbentur dengan esensi pasal yang menyangkut jiwa dan raga.

“Salah satu contoh soal asas (Pancasila-Red), itu harusnya harga mati. Tidak perlu diperdebatkan lagi. Tetapi kenyataannya tidaklah demikian. Sebab ada yang bilang asas itu dihilangkan saja karena sudah ada dalam kehidupan masing-masing. Lalu, yang lain bilang harus diikutkan ideologi masing-masing,” urai dia.

“Ormas itu kan menganut politik kebangsaan yang mesti dipertahankan bangsa ini. Dan seharusnya asas kita adalah Pancasila sebagai landasan bangsa dan negara ini,” tegas dia.


Michael juga mencontohkan manakala pembahasan RUU Palang Marah yang hingga kini belum bisa diselesaikan.

“Padahal RUU Palang Merah ini sudah dimulai dari 2009-2014 dan sampai saat ini belum juga jadi hanya karena persoalan lambang. Mereka protes red cross itu mirip dengan lambang satu agama. Padahal, red cross itu sebuah organisasi kemanusiaan yang terbesar. Di dunia ini memang ada beberapa lambang palang merah selain red cross, ada juga lambang bulan sabit dan lambang bintang merah Daud yang dimiliki Israel,” terang dia.

Dia berpendapat agar setiap pemangku kepentingan, termasuk generasi muda, mesti punya sikap kesatuan terhadap Indonesia, mulai dari Pulau Rote sampai Miangas dan dari Sabang sampai Merauke.


“Tugas kita merawat semuanya. Karena Kebhinnekaan itu adalah anugerah yang harus dijaga,” tegas dia.

Michael melanjutkan secara demokrasi, Indonesia masih tergolong muda yang kini memasuki usia 71 tahun. Sedangkan negara lain sudah ada yang berumur ratusan tahun.

“Namun Indonesia tetap diapresiasi dunia internasional dengan berlangsungnya Pilkada 2015, 2017 dan 2018 nanti. Kita bisa menunjukkan demokrasi yang ideal jika dibandingkan dengan negara lain yang sudah lebih dulu ada,” kata dia.


Menurut Michael, Pilkada DKI bisa dijadikan gambaran bagi Indonesia dimana pada putaran pertama dan kedua, sudah berlangsung baik.

Dia mencontohkan pada putaran pertama begitu hasil quick count selesai, salah satu paslon gubernur DKI Agus Yudhoyono langsung memberikan ucapan selamat kepada paslon Ahok dan Anies.

Hal yang sama, lanjut dia, juga dilakukan Ahok kepada Anis pada putaran kedua.


“Itu potret yang sangat positif dan bagus menjadi pembelajaran khususnya bagi daerah lain. Apalagi, pada tahun 2018 akan banyak Pilkada yang sangat signifikan yakni diadakan di 17 provinsi dan 131 kota dan kabupaten,” kata dia.

Meski begitu, Michael tidak menutup mata masih adanya isu SARA dalam Pilkada DKI dan daerah lainnya. Dia menilai pemilih berorientasi pada dua aspek.

“Pertama, mereka akan melihat siapa pemimpinnya. Lalu, akan ditanya lagi apa latar belakang dari suku dan agamanya? Pertanyaannya tidak akan terlepas dari itu. Pilihan mereka masih melibatkan emosional. Hal itu menyebabkan terdistorsinya demokrasi kita,” kata dia.


Kendati begitu, Michael yakin seiring berjalannya waktu, pemilih di Indonesia lebih mengedepankan rasionalitas.

“Kita baru beberapa periode menyelenggarakan pemilu. Jadi wajar saja masih ada penilaian berdasarkan subyektifitas. Nanti kalau pemilu telah dilakukan berulang-ulang maka niscaya akan berubah. Mungkin karena pemilu langsung ini masih awal, maka emosi orang masih melihat identitas.

“Kedepan rasionalitas kita akan lebih dikedepankan daripada emosional,” ujar dia.


Michael optimis dengan masa depan demokrasi Indonesia jika berkaca pada fenomena Pilkada DKI dimana Ahok tidak hanya dipilih oleh kalangan Kristen, tapi juga pemilih yang beragama lainnya.

“Kita tengok saja suara yang didapatkan Ahok sekitar 2,35 juta yang sudah pasti semuanya bukan suara Kristen saja. Padahal kalau dikalkulasi, jumlah Kristen di DKI tidak sampai segitu. Itu artinya, Orang memilih Pak Ahok secara obyektif oleh karena prestasinya. Mereka tidak memilih berdasarkan primordial. Kalau Ahok mengharapkan suara pemilih Kristen saja tidak bisa, meskipun solid,” tandas dia.

(OK-1)

 

 

 

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.