OnlineKristen.com | Manusia bagaimanapun kuatnya, powerfull oleh karena uang, jabatan, dukungan politik, keturunan, kualifikasi akademik, dan sebagainya, dan sebagainya, tetapi realitas dan faktanya, manusia tetap lemah tiada daya.
Kelemahan manusia terutama sekali bukan pada hal fisik apalagi jika ia masih muda, tetapi hal-hal non-fisik : mental, spiritual. Secara kasat mata kelemahan itu kita saksikan melalui media massa, media cetak, elektronik, media sosial bahkan kita saksikan live tanpa rundown yang jelas.
Baca Juga: MENDENGAR GETAR-GETAR YANG PATUT DIDENGAR
Mengingat bahwa titik lemah manusia lebih terkonsentrasi pada hal-hal yang berdimensi mental spiritual maka penguatan dimensi spiritualitas dan aspek bina mental menjadi sesuatu yang amat urgen. Kedua aspek itu mestinya dilakukan mulai dari keluarga, komunitas keagamaan, lembaga pendidikan dan komunitas yang ada dalam masyarakat.
Seseorang melalui pembiasaan yang konsisten di dalam keluarga mengalami penguatan spiritualitas dan bergerak dari basis keluarga ia kemudian mendapatkan elaborasi dan pengayaan di komunitas keagamaan, lembaga pendidikan dan dalam kehidupan masyarakat.
Pembiasaan dalam keluarga juga tidak mudah apalagi di era digital seperti sekarang. Dulu sekitar 65 tahun yang lalu ayah dan ibu kita yang tekun memberlakukan pembiasaan itu kepada kita. Misalnya tatkala kita melaksanakan makan malam dan ayah/ibu tidak melihat atau mendengar bahwa kita memulai makan malam itu dengan berdoa maka beliau selalu bertanya : “apakah sudah berdoa sebelum makan?” “Kok tidak terdengar doanya?”. Jika kita katakan “sudah” maka persoalan sudah ‘dianggap selesai’.
Namun pada kesempatan lain dan terjadi hal yang sama, tetapi kita katakan “lupa berdoa, karena terburu-buru sudah lapar” maka ayah/ibu dengan intonasi yang agak kesal meminta untuk melakukan doa makan. Ayah biasanya memberikan ‘kotbah singkat’ yang menekankan bahwa berdoa itu penting bagi setiap orang, apalagi doa makan.
Proses pembiasaan memang memerlukan kontrol dan pemantauan sehingga sebuah aktivitas itu menjadi sebuah kebiasaan dan akhirnya bisa menjadi bagian dari agenda kehidupan. Pembiasaan juga memerlukan sikap yang “otoriter” pada tahap-tahap awal.
Jika pada tahap-tahap awal itu aktivitas tersebut sudah menjadi ‘biasa’ maka sikap otoriter tidak lagi diperlukan. Selain pembiasaan maka keteladanan juga menjadi hal penting untuk dikedepankan dalam upaya penguatan spiritualitas dan bina mental.
Baca Juga: HIDUP BERHIKMAT, HIDUP SADAR WAKTU
Aspek keteladanan itu amat penting untuk di kedepankan. Dan itu dimulai dari tengah-tengah keluarga. Teladan memberi hormat kepada guru, tokoh agama, orang-orang yang dituakan kita peroleh pada tahap awal dari ayah ibu kita. Bagaimana cara memberi hormat, cara berdoa, membaca kitab suci, menyanyikan lagu pujian kepada Tuhan, berdoa di rumah ibadah, dan sebagainya itu kita peroleh dari orang tua kita.
Sebagai anak kecil yang baru berusia 5-6 tahun kita sangat membutuhkan keteladanan dari orang tua kita. Ucapan-ucapan berbentuk nasihat akan makin mantap jika diberi contoh praktis oleh orang tua kita sendiri.
Suasana kontradiktif sesekali terjadi juga tatkala pesan orang tua adalah X tetapi ditengah masyarakat yang justru dilakukan adalah yang Y. Realitas yang dualisme seperti itu membutuhkan klarifikasi dan konfirmasi dari.orang tua kita agar kita memiliki pilihan yang benar dan definitif.
Baca Juga: MENJADI ORANG SIBUK YANG BERMAKNA
Pepatah yang dikutip di awal tulisan ini mengingatkan bahwa sifat manusia adalah membenarkan diri sendiri dan menyalahkan orang lain. Sifat seperti ini memang menjadi bagian padu dari kedirian manusia, bahkan sejak zaman generasi awal umat manusia hal itu telah terjadi.
Manusia tidak mau disalahkan, yang sudah jelas ia bersalah, ia tetap tidak mau mengaku salah. Ia malah mencari kambing hitam dan menimpakan kesalahan itu pada kambing yang warnanya hitam. Atau ia menimpakan kesalahan itu kepada orang lain.
Dalam perspektif agama-agama, seseorang itu mesti sportif mengakui kesalahan dan dosanya baik yang ia lakukan kepada orang lain maupun kepada Tuhan. Kita harus meminta maaf kepada sesama kita dan memohon pengampunan dosa kepada Tuhan.
Baca Juga: CINTA KASIH: ANUGERAH ALLAH TERINDAH
Jangan kita menimpakan kesalahan kita sendiri kepada orang lain dan kita membenarkan diri sendiri. Sifat mulia dari manusia adalah tatkala ia mau mengaku salah dan mengaku dosa, dengan segala konsekuensinya.
Kita takbisa hanya mohon ampun kepada Tuhan tanpa kita menamaafkan orang yang bersalah kepada kita. Kita tidak boleh berhenti pada titik ‘mohon ampun’ atau ‘mohon maaf’ kita harus berani melangkah menuju titik baru yaitu, bertobat, tobat nasuha, kata Kyai sahabat saya, tobat yang menyeluruh; kita harus hidup berbalik arah ( Yun. metanoia, bertobat).
Pertobatan itu juga harus terjadi setiap saat, takusah menunggu minggu depan,bulan depan atau tahun depan.karena kita tidak akan pernah tahu kapan Tuhan mengakhiri hidup kita. Hari-hari raya keagamaan selalu memiliki ruang bagi kita untuk mengevaluasi diri: apakah kita benar-makhluk mulia yang penuh dengan trust, humble, wisdom, siap bertanggungjawab dan bukan manusia yang acap mencari kambing hitam untuk menutupi dan atau melarikan diri dari realitas empiriknya.
Selamat Berjuang
God Bless.
(Oleh: Weinata Sairin)
Be the first to comment