MENJERAT ADE ARMANDO, POLISI BUNGKAM KEBEBASAN BERPIKIR

MENJERAT ADE ARMANDO, POLISI BUNGKAM KEBEBASAN BERPIKIR

Jakarta, ONLINEKRISTEN.COM, Ade Armando ditetapkan menjadi tersangka atas dugaan penyebaran informasi elektronik yang dianggap menyebarkan permusuhan atas dasar SARA.

Subdit Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Metro Jaya menetapkan status tersangka karena Ade dianggap melanggar Pasal 28 (2) UU 11/2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik (ITE).

“Pentersangkaan atas Ade merupakan bentuk pemasungan kebebasan berpikir,” kata Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos dalam siaran pers Setara Institute, 26 Januari 2017.



“Apa yang disampaikannya merupakan ekspresi pikiran merdeka seseorang yang merupakan hak konstitusional warga negara yang dijamin oleh Pasal 28E (2) UUD Negara RI 1945, yang menegaskan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai hati nuraninya,” tegas dia.

Bonar menilai delik penyebaran informasi yang dianggap menyebarkan permusuhan dalam kasus yang dialami Ade Armando tidak teruji, karena tidak adanya niat jahat (mens rea) yang ditunjukkannya dan tidak tampak permusuhan itu mengemuka setelah adanya pernyataan Ade.

Sekalipun Ade dijerat dengan delik penyebaran informasi itu, lanjut dia, sesungguhnya yang dinilai oleh Polri adalah dugaan aspek penodaan agama, yang dapat menimbulkan permusuhan atas dasar SARA.



“Jadi, pentersangkaan Ade ditujukan untuk melindungi agama sebagaimana konsepsi delik penodaan agama, yang tidak dikenal dalam prinsip hak asasi manusia. Harus ditegaskan, bahwa ketentuan dalam Pasal 28 (2) UU ITE, sekalipun merupakan UU produk UU yang lahir pasca reformasi, tetapi watak yang melekat dalam pasal tersebut adalah pemasungan seperti cara Orde Baru membungkam kritisisme warga,” jelas dia.

“Selain sumir dan tidak terukur, pasal ini merupakan pemasung kebebasan warga negara, yang penggunaannya sangat subyektif. Pasal semacam ini jelas menimbulkan ketidakpastian hukum,” tambah dia.

Polri sebagai aparat penegak hukum, menurut Bonar, semestinya mampu membedakan peristiwa-peristiwa yang nyata-nyata menyebarkan permusuhan dan peristiwa-peristiwa yang merupakan bentuk ekspresi pikiran yang sesuai hati nurani.



Pentersangkaan ini, kata dia, juga ditetapkan di tengah iklim intoleransi yang semakin kuat dan musim pelaporan oleh individu/kelompok terhadap individu lain, sebagai dampak dari ketegangan di tengah masyarakat yang terkoyak akibat tindakan-tindakan kelompok warga yang antikemajemukan.

Di tengah himpitan supremasi intoleransi, menurut Bonar, sebaiknya Polri tidak menggunakan pasal-pasal absurd secara membabi buta untuk memberangus kebebasan warga di tengah musim pelaporan penodaan/penistaan agama.



“Polri mempunyai kewenangan untuk mengabaikan laporan-laporan tidak bermutu, sebagaimana yang menimpa pada Basuki Tjahaja Purnama. Cukup Ahok yang menjadi korban kriminalisasi,” tandas dia

(OK-1)

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.