Menuju Kongres PIKI V, DPP PIKI Gelar Sarasehan Pertanyakan Eksistensi PIKI

Menuju Kongres PIKI V, DPP PIKI Gelar Sarasehan Pertanyakan Eksistensi PIKI

JAKARTA- Jelang Kongres, Dewan Pimpinan Pusat Persatuan Inteligensia Kristen Indonesia (DPP PIKI) menggelar Sarasehan Intelegensia Kristen Indonesia bertajuk “Eksistensi PIKI sebagai Pergumulan Kita bersama menuju Kongres V PIKI 2015” di Hotel Kartika Chandra, Jakarta, pada hari Jumat, 6 Maret 2015.

“Sarasehan ini merupakan rangkaian wahana penyerapan ide dan gagasan strategis serta pengkayaan substansial dari stake holder, para eksponen pimpinan lembaga atau institusi atau organisasi Krisitiani atau gerejani maupun para penasihat tokoh senior dan mitra strategis inteligensia Kristen Indonesia menyongsong penyelenggaraan Kongres dan Konsultasi Nasional V PIKI, yang direncanakan akan dilaksanakan pada tanggal 26-29 Maret 2015 di Merlyn Park Hotel, Jakarta,” jelas Ketua Umum DPP PIKI periode 2005-2010, Cornelius D Ronowidjojo dalam sambutannya membuka sarasehan.

Cornelius menjelaskan sarasehan serupa juga pernah diselenggarakan pada tanggal 9 Agustus 2011 yang juga dimaksudkan untuk menyerap aspirasi substansial menjelang Kongres dan Konsultasi Nasional. Namun oleh karena sesuatu dan lain hal mengalami penundaan.


“Kami dengan rendah hati memohon masukan ide dan gagasan strategis berkaitan dengan penyelenggaraan Kongres dan Konsultasi Nasional yang mengangkat tema: “Kebenaran Meninggikan Derajat Bangsa” dan subtema: “Revitalisasi wawasan kebangsaan demi peningkatan derajat peradaban bangsa dan kesejahteraan rakyat.”

Lebih jauh Cornelius menjelaskan hal-hal substansial yang kiranya mendapatkan perhatian, antara lain, adalah yang berkaitan dengan Visi dan Misi PIKI, AD/ART yang didalamnya termasuk sistem pengelolaan dan struktur organisasi, serta kebijakan strategis yang berkaitan dengan ekspresi ataupun manifestasi tampilan organisasi.

Hal terakhir, lanjut dia, berkaitan dengan eksistensi konsistensi nama organisasi yakni Persatuan Inteligensia Kristen Indonesia.


“Para pendiri tentu mempunyai maksud dengan pilihan nama tersebut, mengapa bukan persatuan cendekiawan atau intelektual atau sarjana Kristen Indonesia, dan mengapa persatuan bukan persekutuan atau perhimpunan,” kata dia.

Selain itu, Cornelius memohon saran dalam sarasehan Inteligensia Kristen Indonesia pada saat itu berkaitan tiga hal diantara sekian pemikiran strategis yakni, tentang revitaslisasi wawasan kebangsaan terutama tentang Pancasila sebagai Dasar Negara yang ternyata tidak tercantum dalam satu pasal dan ayatpun dalam Undang-undang Dasar 1945, dan tentang Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Umat Beragama yang tidak ada hubungan derivatifnya terhadap UUD 1945 yang bahkan dikonstatir mensublimasi Peraturan Bersama (Perber) dan Menteri Agama (Menag) dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 8 dan 9 yang kontroversial itu, serta bagaimana sikap teologis kita berkenan dengan pemberlakuan hukuman mati di Negara Republik Indonesia.


Bentuk Presidium

Sementara Bakti Nendra Prawiro, dalam pengantarnya, menyampaikan rembug bersama ini merupakan ajang bertukar pikiran dalam suasana sikap yang saling mengisi, melengkapi, mengasah, dan mengasuh serta semangat saling mengasihi, terutama dalam rangka mempersiapkan Konsultasi Nasional dan Kongers V PIKI pada penghujung bulan Maret 2015.

Tema Kongres V PIKI kali ini, lanjut Bakti, mengajak Pengurus DPP PIKI secara kolektif melakukan introspeksi sebagai bagian yang mendahului dikemukannya gagasan atau pemikiran apapun, baik revitalisasi maupun reposisi organisasi.

“Mau tidak mau harus diakui banyak hal yang merupakan harapan di awal kepengurusan kami sesungguhnya tinggal harapan. Sedangkan, apa yang telah menjadi kenyataan mungkin belum memenuhi harapan,” aku Bakti.


Menurutnya perenungan dan pemahaman apapun tentang teologia publik yang menjadi pijakan dalam berorganisasi di PIKI masih meninggalkan rasa gamang bagi semua.

“Sudahkah kita sebagai PIKI bersaksi dan berkarya secara efektif tentang tanggung jawab yang berangkat dari pemahaman Alkitab mengenai manifestasi Allah yang menciptakan seisi dunia dan membebaskan segenap umat manusia,” tegas dia.

Lalu, lanjut Bakti, adakah dampak positif yang kita lakukan dalam hal perkataan dan perbuatan pada kehidupan yang tercipta. Dimana kemanusiaan yang disana-sini secara iman masih terbelenggu baik secara individual maupun secara sistemik, khususnya dalam konteks pergumulan bangsa Indonesia.


“Nyatakah keterpanggilan kita sebagai PIKI, bukan hanya secara pribadi namun secara kolektif organisatoris dan institusi publik yang ada, untuk turut mewujudkan kehidupan yang berperikeadilan dan beradab khususnya di bumi Indonesia,” jelas dia.

“Manakala eksistensi komunitas bangsa Indonesia boleh dianggap sebagai covenant (perjanjian), maka sudahkah kita sebagai PIKI ikut menumbuhkan ikatan persaudaraan yang bekerja sama dan bergotong-royong dengan semangat bersolidartas dan ditopang oleh akuntabilitas dan integritas yang dapat diteladani.”

“Juga, apakah PIKI sudah menyampaikan kritik dalam kasih terhadap fenomena dosa sistemik yang ada yang bersumber pada egosentrisme dan keserakahan individu manusia.”

8

Bakti berpendapat mungkin tidak sedikit pihak yang berargumentasi bahwa PIKI belum terlihat jelas peran dan kontribusinya dalam pengokohan proses reformasi, demokratisasi dan penegakan supremasi hukum pada bidang-bidang sosial, ekonomi dan politik, baik ditengah-tengah masyarakat maupun institusi-institusi publik yang ada.

“Dalam arti kata lain, bisa jadi belum ada konsepsi dan karya oleh PIKI yang mampu menjembatani pemahaman pada dimensi teologia publik dan dimensi sosio politik ekonomi,” terang dia.

“Keadaan belum berdayanya kita sebagai PIKI untuk memberikan kontribusi yang punya arti bagi gereja dan sesama untuk bangsa dan negara, kiranya menjadi pertanyaan bersama khususnya tentang eksistensi PIKI.”


“Pertanyaan ini mudah-mudahan bukan tanpa jawaban sehingga melahirkan keadaan tanpa harapan.”

Kepemimpinan PIKI kedepan, tambah Bakti, tidak hanya bisa berbobot intelektualitas, namun juga pentingnya untuk menggaungkan suara kenabiannya.

“PIKI juga diharapkan punya program yang pasti dan program yang terukur, termasuk program kaderisasi serta mampu membuat lembaga kajian dan PIKI Center untuk dapat berinteraksi,” kata dia


Disamping itu, kata dia, perlu adanya pembagian tugas dan bekerja saling melengkapi kedepan. Sebab itu bentuk kepengurusan presidium akan dipersiapkan sebagai materi yang akan ditawarkan pada kongres yang akan datang.

“Bila bentuk presidium ini bisa diterima maka diharapkan bisa mewakili figur-figur dari berbagai latar belakang dari gereja (teolog), akademisi, praktisi, profesional dan tokoh masyarakat serta dilengkapi dengan sekretaris jenderal yang mobil, dinamis dan bila memungkinkan full time,” pungkas Bakti.

Sekretaris Jenderal DPP PIKI, Sterra Pietersz berharap sarasehan yang dihadiri tokoh nasional yang telah memberikan sumbangan pemikiran strategis ini akan direkam dan dicatat serta diberikan kepada seluruh peserta yang diharapkan bisa menjadi bahan pertimbangan sebelum mereka menentukan pilihan kepada siapa PIKI dipercayakan kedepan.


“Biarlah kita bersama-sama mempersiapkan kongres dan berjuang bersama-sama menghasilkan apa yang diharapkan sesuai dengan tujuan didirikannya PIKI,” tandas dia.

Beberapa tokoh-tokoh nasional ikut serta memberikan sumbangsih pemikiran positif dan kritis dalam sarasehan tersebut. Diantaranya, Prof Irzan Tanjung (Pendiri Partai Demokrat), Martin Hutabarat (Anggota DPR dari Partai Gerindra), Prof John Pieris (Anggota DPD RI), Ferdinand nainggolan, pdt Lipiyus Biniluk, Pdt Prof SAE Nababan, Prof Sri Adiningsih, DR Yasonna Laoly (Menteri Hukum dan HAM), Hasyim Djojohadikusumo, Dr. Aristarchus Sukarto dan Dating Palembang (Mantan Ketum DPP GAMKI). DR Anton Sihombing (Anggota DPR dari Partai Golkar) yang juga diundang pada saat itu tidak bisa hadir.***(Victor R Ambarita)

 

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.