OnlineKristen.com Sesuatu yang istimewa dan spesifik dari makhluk ciptaan Allah yang bernama manusia adalah kemampuannya berbahasa, kemampuan untuk berkata-kata. Kata-kata lah yang membuat manusia itu adalah manusia.
Manusia adalah sosok yang ditanggungi jawab, itu kata dosen Sekolah Tinggi Teologi di Jalan Pegangsaan Timur 27, Jakarta tahun 70-an yang lalu. Artinya manusia harus memberi jawab, ia tidak lari tungganglanggang ketika dia kena OTT.
Ia tidak buron ketika sudah selesai mengeruk uang negara yang dialokasikan untuk membeli beras bagi rakyat. Ia tidak menetap di negeri orang sesudah membuat kegaduhan di dalam negeri.
Baca juga: RENUNGAN: KITA TAKBOLEH LUPA BAHWA KITA BISA LUPA
Manusia sebagai makhluk mulia, inago dei harus menjawab, harus berkata-kata mempertanggungjawabkan perbuatannya. Manusia yang terhormat, bermartabat, berkeadaban, yang soleh dan faham ajaran agama tidak pernah akan melarikan diri untuk menghindari tanggungjawabnya.
Pada waktu kita kecil dan mulai belajar merangkai kata maka orang tua kita adalah figur yang paling telaten dalam mendidik kita bagaimana menggunakan kata dengan tepat, apalagi kepada orang yang lebih tua yang harus kita hormati.
Ayah dan ibu selalu berpesan agar selalu menggunakan kata-kata yang sopan dalam berinteraksi kepada orang lain, karena “bahasa itu tidak harus kita beli”. Orang tua misalnya berulangkali berpesan untuk selaku menggunakan beberapa kata kunci : “terimakasih”, “mohon maaf”, “mohon pertolongan”
Dalam pengalaman empirik, amat jelas bahwa penggunaan kata dan pemilihan kata itu bisa mengubah segalanya. Mereka yang bergerak dalam dunia marketing, para pebisnis, para lobbyist memiliki banyak sekali daftar sinonim yang mesti ia gunakan ketika berhadapan dengan siapa dan dalam suasana yang bagaimana.
Dalam percakapan yang sifatnya mediasi, percakapan di bidang konseling dan pastoral, memilih diksi amat penting. Keberhasilan kita dalam memilih diksi akan ikut menentukan keberhasilan dalam seluruh percakapan itu. Penguasaan bahasa, kekayaan vokabulari, pemahaman tentang sinonim dalam konteks ini menjadi amat perlu dan urgen.
Pentingnya memilih kata tidak saja pada bahasa lisan, tetapi juga pada bahasa tulisan, baik surat resmi organisasi maupun dokumen tertulis lainnya karena dokumen tertulis itu bisa dibaca berulangkali.
Baca juga: Kemensos Gandeng GAMKI DKI Jakarta Salurkan Bansos Presiden Ditengah Pandemi Covid-19
Sebuah teks peraturan atau UU yang didalamnya terdapat kata yang tidak tepat atau salah tik akan mempersulit ketika mengimplementasikan peraturan itu dalam ranah praktis. Surat-surat dalam bahasa yang sopan, elegan, standar akan sangat bermanfaat untuk menjaga kredibilitas dan wibawa organisasi. Bahasa yang elegan tidak berarti bahasa yang penuh eufemisme dan istilah yang bisa menimbulkan multitafsir.
Dalam kehidupan manusia bahasa memiliki peran yang amat penting dan strategis. Bahasa adalah “alat” yang memungkinkan manusia hidup, survive dan bisa berinteraksi dengan manusia lain karena ia adalah makhluk sosial. Bahasa memungkinkan manusia memenuhi kebutuhan rohani dan jasmani.
Melalui bahasa manusia mengekspresikan dirinya dan pemikirannya. Menurut seorang pakar bahasa, bahasa itu mampu menyimpan sejarah, mengabadikan hasil pemikiran, menerobos batas ruang dan waktu serta menjembatani kehidupan antar generasi.
Baca juga: TAK MAU KALAH DENGAN PANDEMI COVID-19, PIKI DORONG PENGAJARAN ALTERNATIF
Ayat Alkitab yang dikutip dibagian awal tulisan ini mengingatkan bahwa kata-kata yang kita ungkapkan itu amat penting maknanya dalam membangun relasi, dalam menyampaikan misi kita ditengah dunia.
Banyak pengalaman buruk dan pahit yang kita alami sebagai komunitas dalam konteks itu. Kesalahan menggunakan kata oleh lawan politik bisa dijadikan amunisi untuk menghabisi lawan politik itu apalagi jika hal itu berkaitan dan atau dimaknai dalam frame agama.
Kegagalan kita dalam menyampaikan kabar sukacita kepada banyak orang adalah karena kita tak mampu memilih atau merangkai kata. Paulus mengingatkan agar kata-kata yang kita ungkapkan itu penuh kasih dan tidak hambar.
Baca juga: MENANTI MALAM-MALAM PENUH HARAP
Penuh kasih artinya simpatik, sopan, elegan santun,atraktif yang membuat orang lain tertarik, respek. Tidak hambar artinya penuh kehangatan, memiliki prospektif sehingga orang yang diajak bicara itu tidak terluka perasaannya.
Di era medsos sekarang bukan hanya terjadi kesalahan kata tetapi secara sengaja memproduk kata yang kasar, vulgar, diluar kepatutan, menyimpang dari etik dan agama demi kepentingan politik, demi menjatuhkan lawan politik.
Sebagai umat beragama mari kita menebar kata-kata empati, simpati, penuh cinta kasih dan respek kepada semua saudara kita sebangsa. Ditengah derita yang tengah mendera bangsa kita akibat Corona maka kita harus mengungkap kata-kata solidaritas dan tindakan kasih yang konkret bagi mereka.
Baca juga: Surat Pastoral GBI Terkait Pandemi Covid-19: JANGAN KAITKAN COVID-19 DENGAN NUBUATAN AKHIR ZAMAN
Jauhkan berbagai rekayasa pembohongan publik, jangan lagi bikin episode baru yang berisi hujatan, ujaran kebebcian kesemuanya amat tak elok dalam konteks sebuah NKRI yang warganya 99.9 persen beragama. Mari tinggalkan kata-kata hujatan, persekusi, biarkan umat beragama beribadah dengan leluasa di rumah ibadah mereka.
Jangan lagi ada rohaniwan yang ditembak atau dibacok di rumah ibadah mereka karena mereka bukan penjahat. Gunung meletus, gempa, tsunami, tanah bergerak, virus menandai sebuah dunia yang rapuh dan nemperlihatkan kuasa Sang Pencipta.
Mari berbuat baik selama ada kesempatan. Ungkapan kasar dan pengusiran terhadap direktur perusahaan oleh anggota parlemen belum lama ini, bukan saja menjatuhkan derajat lembaga parlemen, tetapi juga mempertontonkan sikap arogan anggota parlemen dan rendahnya keberadaban bangsa kita.
Selamat Merayakan Hari Minggu.
God Bless.
(Oleh: Weinata Sairin)
Be the first to comment