RKUHP Jangan Beri Ruang Praktik Diskriminasi Terhadap Kelompok Tertentu

OnlineKristen.Com – Beberapa elemen masyarakat hadir dan bertukar pikiran dalam diskusi terfokus yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian Kebhinekaan dan Perdamaian (PKKP) Universitas Kristen Maranatha bersama dengan Fakultas Hukum Universitas Kristen Maranatha.

Percakapan kali ini terfokus pada Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang terkait langsung dengan kehidupan keagamaan.




 

Dr. Budi Prastowo dalam pengantar diskusi menyebutkan bahwa hari ini memang  diperlukan pembaruan KUHP mengingat KUHP yang dimiliki hari ini adalah warisan kolonial dan sudah berumur 100 an tahun.

“Masyarakat berubah, dan karena itu perspektif hukum juga mesti berubah. Perubahan KUHP agar relevan dan mampu menjawab persoalan di tengah masyarakat secara kontekstual tentu sangat dibutuhkan,” ujar Budi Prastowo di ruang rapat Fakultas Hukum Universitas Kristen Maranatha, Bandung, 18 Juli 2019.

Dan perspektif hukum, lanjut Budi, harus mencerminkan nilai-nilai kehidupan sebagai orang Indonesia dengan watak yang majemuk.




 

“Dalam masyarakat Indonesia, agama adalah ‘aset’ berharga, dan karena itu perlu dilindungi. Namun, agama yang mana yang harus dilindungi? Apakah hanya enam agama resmi yang semuanya diimpor dari luar itu? Bagaimana dengan agama-agama lokal?” urai dia.

“KUHP kita butuhkan, namun KUHP tidak boleh memberi ruang bagi praktik diskriminasi terhadap kelompok-kelompok rentan tertentu,” imbuh dia.

Apalagi, lanjut Budi, dalam satu agama saja terdapat beragam tafsir.




 

“Tafsir mana yang akan dipakai oleh pemerintah? Jangankan antar agama, relasi intra agama pun diwarnai oleh polemik tafsir. Karena itu, apakah pemerintah atau negara yang harus berdiri sebagai wasit dan pemutus?” tegas dia. 

Sebab itu, menurut Budi, pemerintah perlu mendengar, membuka ruang diskusi dengan berbagai kelompok masyarakat dan kelompok keagamaan sebelum RKUHP diketok.

“Undang-undang yang dikontruksi dalam spirit negara Pancasila harus menjamin kebebasan tiap-tiap warga negara untuk hidup dan beribadat sesuai dengan keyakinan agamanya serta mendorong warga negara untuk hidup bijaksana, saling menghargai dan menghormati di tengah perbedaan,” kata dia.




 

Karena itu, sambung Budi, delik-delik agama dalam RKUHP harus dilihat kembali, didefinisikan secara jelas (walaupun tidak akan pernah benar-benar jelas tuntas), sehingga tidak menjadi pasal karet yang dipakai untuk kepentingan politis tertentu seperti yang terjadi hari-hari ini,” ujar dia. 

Budi menuturkan ketika RKUHP tuntas, bukan berarti masalah selesai. Konsep dan penegakkan hukum saling berhubungan, tetapi adalah dua hal berbeda.

“Problem kita hari ini bukan hanya dalam tataran konseptual, tetapi juga dalam praktik penegakkan hukum itu sendiri. Tebang pilih, tunduk pada tekanan massa, tidak profesionalnya aparat penegak hukum, adalah masalah dalam praktik penegakkan hukum yang  dihadapi hingga kini,” kata dia.




 

“Karena itu, masyarakat perlu ambil bagian dalam mengawal jalannya perumusan dan penegakkan hukum,” tambah dia.  

Apa yang dilakukan di UK Maranatha dan yang dihadiri oleh para sahabat dari FLADS, Jarilima, Jakatarub, PGIW Jabar, PIKI, PS GMKI, GKP, GKI, LBH Bandung adalah bagian dari tanggung-jawab kewarganegaraan.

Seluruh lembaga diatas sepakat untuk menyerukan kepada pemerintah dan DPR RI agar tidak terburu-buru mengesahkan RKUHP.




 

Libatkanlah lembaga-lembaga keumatan dan kemasyarakatan dalam perumusan ini, dan hukum harus menjamin posisi setara setiap warga negara, apa pun keyakinan dan agamanya. 

Hukum tidak boleh mendiskriminasi, apalagi dipakai sebagai alat untuk mengkriminalkan perbedaan.




 

Sebaliknya, hukum harus tajam menindak orang yang berlaku anarki atas nama agama. 

 

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.