Dalam Segala Hal Kami Ditindas, Namun Tidak Terjepit

"Dalam segala hal kami ditindas, namun tidak terjepit; kami habis akal namun tidak putus asa; kami dianiaya namun tidak ditinggalkan sendirian, kami dihempaskan namun tidak binasa. Kami senantiasa membawa kematian Yesus di dalam tubuh kami supaya kehidupan Yesus juga menjadi nyata di dalam tubuh kami". (2 Korintus 4:8-10)

Dalam Segala Hal Kami Ditindas, Namun Tidak Terjepit
Dalam Segala Hal Kami Ditindas, Namun Tidak Terjepit

ONLINEKRISTEN.COM, JAKARTA- Jemaat-jemaat Kristen di abad-abad pertama sebenarnya secara tipical menghadapi dua dimensi pergumulan yang sama kuat.

Keduanya tak bisa di pandang sederhana karena ketidakmampuan dalam merespons dan mencari solusi cerdas bagi dua dimensi itu, ujungnya akan menyentuh eksistensi Jemaat itu sendiri.

Secara sederhana dua dimensi pergumulan itu bisa dirumuskan sebagai berikut :

Pertama, dimensi internal. Jemaat yang baru tumbuh, apalagi yang berasal dari suatu latar belakang sosial budaya keagamaan tertentu akan membawa tradisi kelampauan itu kedalam komunitas baru.


Realitas ini menimbulkan friksi yang bisa menimbulkan kegaduhan dalam kehidupan berjemaat.

Misalnya Jemaat dari latar belakang Yahudi tetap saja membawa isu makanan yang halal dan haram dalam komunitas baru, komunitas kekristenan yang didalamnya mereka ada dan hadir.

Dalam Jemaat Roma isu tersebut mengguncang kehidupan berjemaat, suasana perpecahan dan saling menghakimi muncul dan Jemaat Roma mengalami semacam instabilitas yang sangat kontra produktif.

Bagaimana Jemaat Roma bisa kuat dan mampu melakukan tugas misioner di zaman itu ketika mereka tidak solid menghadapi isu makanan halal-haram.


Referensi halal haram zaman itu berpijak pada aturan hukum Taurat bukan pada label sertifikasi halal atau ketentuan hukum positif yang memberi jaminan kehalalan sebuah produk.

Untuk menghindarkan Jemaat Roma dari keterpecahan soal makanan halal-haram itu, Paulus memberikan beberapa pikiran cerdas bernas yang amat menolong.

Ia arahkan Jemaat berfikir makro dan jauh kedepan serta tidak terpukau pada isu murahan seperti itu.

Paulus tegaskan “..Kerajaan Allah bukan soal makanan dan minuman tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus” (Rom 14:17).


Kedua, dimensi eksternal. Realitas dunia pada abad-abad pertama adalah dunia yang menolak kekristenan dengan berbagai macam alasan baik teologi maupun non teologi.

Penguasa di zaman itu menganggap kekristenan sebagai kekuatan baru yang bisa menjadi kompetitor atau bahkan bisa menumbangkan kekuasaan dunia yang ada.

Kekristenan bagi mereka bukan hanya ajaran teologi tentang masa depan tetapi juga sebuah “kekuatan politik” yang akan membangun sebuah imperium baru ditengah dunia, apalagi kekristenan menggunakan istilah “Kerajaan Allah” yang dianggap sebagai terminologi politik.


Itulah sebabnya pada abad-abad pertama umat Kristen mengalami penyiksaan, persekusi dalam artian sejati; mereka dibunuh dengan cara keji : dibakar, digantung.

Banyak yang mati syahid, mati dalam membela agama, dan mereka disebut martir. Semboyan yang kemudian sangat terkenal adalah “darah para martir, benih Gereja”.

Kekristenan tidak padam dan punah dengan adanya persekusi/persecution itu, kekristenan terus merambah keseluruh dunia.

Mereka beribadah dibawah tanah, di katakombe, mereka ciptakan kode dan simbol-simbol yang menyatakan kekristenan mereka, dan kekristenan tetap hidup hingga zaman ini.


Jemaat Korintus menghadapi kondisi internal yang cukup sulit pada masa itu. Ada beberapa “faksi” yang muncul di Jemaat karena tidak semua warga jemaat pro dan enjoy dengan gaya kepemimpinan Paulus.

Paulus cukup piawai meredam kondisi seperti itu. Realitas dunia yang tidak wellcome terhadap kekristenan juga amat dirasakan sebagaimana yang nyata dari ayat-ayat yang dikutip diatas.

Kondisi Jemaat yang kuat, teguh dan solid justru amat menarik karena merupakan paradoks dari realitas empirik yang dihadapi.

Kekristenan harus selalu tampil beda, paradoksal dan tidak tenggelam dalam konteks kekiniannya.

Kekristenan tidak boleh menari dengan gendang orang lain, tak boleh ikut arus, kekristenan harus mampu tampil dalam format “menghidupkan Yesus dalam tubuh kita” ditengah realitas kemajemukan.


Umat Kristen Indonesia bisa belajar banyak dari kekristenan yang baru tumbuh diabad-abad pertama, termasuk Jemaat Korintus. Ditengah himpitan yang kita alami, kegaduhan yang kerap mengguncang, penghujatan yang acap menoreh diri, mari terus menampilkan kekeristenan otentik yang cantik, elegan, penuh kasih ditengah dunia kita yang penuh duka dan luka menganga.

Selamat Merayakan Hari Minggu. God Bless.

Weinata Sairin.

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.