KEHIDUPAN ITU PERLU KETELADANAN

"Longum iter est per praecepta, breve et efficax exempla. Melalui perintah jalannya panjang, melalui teladan jalannya pendek dan efektif"

KEHIDUPAN ITU PERLU KETELADANAN

OnlineKristen.com | Hidup ini sejatinya diwarnai oleh imperatif-imperatif, action, tindakan yang telah menjadi bagian integral dari historisitas manusia. Melalui berbagai proses itulah manusia mengalami kedewasaan, kematangan, maturity.

Maturity itu menjadi sesuatu yang amat penting tidak saja untuk tampil menjadi pemimpin (daerah, nasional, kementerian, bumn, parpol, parlemen, dll) tetapi juga menjadi pemimpin keluarga, pemimpin rumah tangga.

Sejak kecil kita mengalami “diperintah” oleh ayah ibu, oleh bapak dan ibu guru. “Ayo sekarang waktunya tidur siang, simpan yang rapi alat-alat untuk bermain!” kata Ibu. “Sekarang hari Minggu pagi, jangan lupa ke sekolah minggu!” kata Ayah kepada anaknya. “Lho kok langsung saja melahap makanan? Berdoa dulu bersyukur kepada Tuhan sebelum menikmati makanan karena itu semua berkat dari Tuhan!”.


Masa-masa kecil kita, masa balita, memang dipenuhi oleh imperatif-imperatif dan lewat medium itu proses edukasi berlangsung.

Imperatif-imperatif seperti itu kita alami tidak hanya di rumah tetapi juga di sekolah, ditempat kerja di komunitas, kantor dan masyarakat luas. Di sekolah bapak dan ibu guru acapkali memberikan perintah kepada kita yang berhubungan dengan aktivitas pendidikan kita.

“Coba buka buku Sejarah Indonesia, salin kedalam buku catatan kalian halaman 14-16 untuk bahan diskusi minggu depan!” kata pak Guru diruang kelas pada jam pelajaran ke-3. Maka semua murid bergegas ke bangkunya masing-masing untuk mengerjakan perintah pak guru. Perintah-perintah model begitu dialami juga dikantor tempat kita bekerja dengan berbagai macam varian.


Dari pengalaman empirik sebenarnya diberbagai komunitas itu kita tidak hanya mengalami perintah tetapi sekaligus juga keteladanan. Ayah dan ibu kita tidak hanya bersibuk dengan kalimat-kalimat perintah tapi juga sikap dan tindak keteladanan.

Pembentukan kepribadian memerlukan elemen-elemen dasar : perintah, keteladanan, edukasi dan ajaran agama. Harus diakui dalam beberapa tahun terakhir dalam kehidupan kita di negeri yang majemuk ini keteladanan itu nyaris punah dari khazanah kehidupan kita.

Di keluarga ada orang tua yang membunuh anak kandungnya; ada istri membunuh suaminya atau sebaliknya; ada orang sekampung yang diusir dari kampung halamannya karena perbedaan aliran keagamaan; ada rohaniwan yang dibacok golok didalam rumah ibadah tatkala memimpin ritual agama; ada pendidik yang menyabuli (!) anak didiknya; ada program pembunuhan berencana dengan bom bunuh diri; ada anak yang menjatuhkan diri dari apartemen dan mati; ada bermacam kasus yang terjadi yang sebelumnya tidak pernah terjadi.


Teladan apa yang ingin diwariskan dengan kisah seperti itu yang terus mengalami pengulangan dan menjangkau berbagai wilayah negeri ini.

Kita semua prihatin menghadapi ini semua. Perbuatan manusia sudah melewati batas-batas kepatutan dan kita selalu terbelalak, heran bergadapan dengan realitas itu. Kaum agamawan menafsir itu sebagai tanda-tanda zaman menjeiang hari kiamat. Baik Alkitab maupun AlQuran telah memberikan indikator-indikator yang mengarah kepada datangnya hari kiamat.

Manusia hampir kehilangan pamornya sebagai makhluk ciptaan Allah termulia, sebagai khalifah Allah di bumi, sebagai imago dei. Manusia modern zaman now dari sisi perbuatannya hampir bisa dikatakan setara dengan manusia di zaman archais, di zaman jahiliyah dulu.


Menghadapi realitas ini kita seluruh warga bangsa mesti memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa; hindarkan dan hentikan memproduk ujaran kebencian; hentikan mendiskreditkan agama, tokoh, lembaga, dalam bentuk berita hoax demi mencapai kepentingan tertentu.

Kita mesti memantapkan ikatan tali-silaturahim, semangat ukhuwah, benih cinta kasih diantara semua warga bangsa tanpa memperhitungkan keberbedaan suku, agama, afiliasi politik, denominasi keagamaan, dan sebagainya; dan sebagainya.

Pepatah yang dikutip diawal bagian ini menyatakan bahwa “melalui perintah itu jalannya panjang, melalui teladan jalannya pendek dan efektif”. Berdasarkan kasus tertentu bisa saja konten pepatah itu benar dan sahih. Dalam konteks pergumulan kita dinegeri ini agaknya “kedua jalur” itu yaitu “perintah” dan “teladan” itu keduanya bisa dipakai.


Di suatu tempat/lembaga yang bisa digunakan dengan pola “perintah” ya kita lakukan dengan pola itu; ditempat lain jika pola “teladan” bisa ya kita lakukan itu. Andai disuatu tempat/lembaga keduanya bisa ya kita gunakan semuanya. Kita harus cerdas memahami medan, pola mana yang ok yang bisa kita berlakukan!

Dalam kasus melawan pandemi Covid 19 misalnya, tak cukup hanya ada Protokol, tak selesai dengan pengadaan Webinar tiap saat yang membuat kaya si boss Zoom, tak cukup diskusi atau informasi dengan narasi filosofis yang takbisa terjangkau oleh IQ rakyat yang lapar, tapi harus ada contoh, teladan model.

Bagaimana mengasihi orang lain,bagaimana mempraktikkan PSBB, New Normal, dan sebagainya. Teladan itu perlu, lalu baru perintah. Perintah tanpa teladan, itu fiksi itu platonis!


Umat beragama Indonesia yang ber Pancasila, pasti menjadi teladan dalam berbuat kebaikan. Kita pasti bisa. Yang penting ada Nawaitu(niat baik) kata sohib saya seorang Kyai! Mari meneladankan Kebaikan, sebelum ada panggilan Tuhan.

Selamat Berjuang. God Bless!

(Oleh: Weinata Sairin)

 

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.