PEMIMPIN YANG MELAYANI : PEMIMPIN SEJATI

Pemimpin yang melayani
Pemimpin yang melayani

PEMIMPIN YANG MELAYANI : PEMIMPIN SEJATI

”The first responsibility of a leader is to define reality.
The last is to say thank you.
In between the leader is a servant.”
(Max DePree)

Weinata Sairin
(Oleh: Weinata Sairin)

 

Menjadi pemimpin bukan pekerjaan mudah dan sederhana, baik pada level lokal, regional, nasional, atau internasional. Setiap level punya kerumitannya sendiri. Ada kondisi ”kegentingan yang memaksa” dalam bobot yang bervariasi.

Ya, selalu ada saja kerumitan. Yang penting, bagaimana kita menyiasati kerumitan tersebut dan mengelolanya dengan baik agar program dan kehidupan bisa berjalan dengan baik.

Hal sulit bisa saja terjadi tatkala kita menjadi pemimpin dalam sebuah rumah tangga. Pada level keluarga, yang lebih banyak dikedepankan adalah ”perasaan”.

Dalam keluarga tak ada AD/ART, tak ada Tata Kerja atau Tata Kelola, tak ada SOP seperti yang kita temukan pada perusahaan-perusahaan.

Baca juga: Ini Pesan Pemimpin Dunia dalam Rally of Hope Ke-5



Hampir semua hal dikelola berdasarkan kultur, konvensi, khotbah/tausyiah yang diberikan pejabat agama pada saat berlangsung acara pernikahan.

Walau demikian, tidak berarti dalam keluarga tidak ada aturan. Kita tidak bisa urakan dan ”slebor” seenaknya. Prinsip-prinsip organisasi secara umum ada dan diterapkan juga di dalam keluarga.

Hanya, prinsip-prinsip itu tidak tercatat seperti dokumen-dokumen pada perusahaan. Hal yang amat penting dibangun dalam keluarga adalah cinta kasih, kepercayaan, dialog, dan sikap ”kesalingan dan kekitaan”.

Tingkat kerumitan dalam memimpin rumah tangga lebih dielaborasi tatkala ruang bagi keluarga besar (kakek/nenek/paman) diberi tempat.

Keikutsertaan dan elaborasi keluarga besar dalam kehidupan rumah tangga berpotensi positif, yakni memperkuat basis keluarga di tengah berbagai dinamika dunia yang acap mengancam daya tahan dan keberadaan keluarga.

Baca juga: Tindakan Intoleran Di Eropa Karena Benturan Peradaban, GAMKI Desak Pemimpin Dunia Lakukan Dialog Antar Peradaban



Dulu pemimpin hampir selalu diberi persepsi ”orang yang berada di puncak”. Oleh karena itu, ia memerlukan banyak ”tangan” untuk mampu menjangkau dan ”mengais” yang di bawah.

Akibatnya, seorang pemimpin dikelilingi banyak orang (dengan sekian kepentingan). Pemimpin bisa
menjadi amat jauh dengan yang dipimpin, baik dari segi jarak maupun ide atau pemikiran.

Realitas ini mengakibatkan lahirnya pemimpin elite yang tercabut dari akar sosiologisnya. Kita semua berharap agar para pemimpin pada level apa pun benar-benar memahami kebutuhan dasar dan mengakomodasi pemikiran orang-orang yang ia pimpin, selain memotivasi mereka menuju masa depan yang lebih baik.

Para pemimpin mesti mengayomi yang dipimpin, membuat mereka aman dan nyaman dalam membangun kehidupan. Pemimpin tidak hanya seorang yang visioner, tetapi juga orang yang peduli dengan pergumulan riil para anggotanya.

Baca juga: PEMIMPIN ITU BERTINDAK MEMIMPIN, BUKAN DIAM MENIKMATI POSISI



Kita bersyukur, dalam beberapa waktu terakhir ini kata ”pelayanan”, ”service”, dan ”ministry” diberi tempat lebih banyak dalam kehidupan masyarakat.

Kata ”pelayanan” berasal dari kata Yunani ”diakonia”, suatu sikap yang sangat ”memanjakan” orang lain. Kata ini awalnya diterapkan kepada orang￾orang yang melayani tamu-tamu di restoran: mengantarkan makanan ke meja makan, mengatur piring, gelas, dan sendok sesuai dengan SOP.

Para tamu menjadi ”raja” dan dilayani penuh. Pemimpin yang melayani adalah pemimpin yang berinsiatif, yang mendatangi dan membantu sepenuhnya.

Banyak kantor pemerintah yang kini menyebut dirinya sebagai Kantor Pelayanan secara eksplisit sehingga warga yang datang dibantu, tidak dipersulit.

Baca juga: Survei BARNA: Pemuda Ingin Gereja Jadi Laboratorium Kepemimpinan, Bukan Sekedar Spiritualitas



Ada kepuasan dari warga karena dilayani secara cepat, transparan, menyenangkan, bahkan gratis.
Sebenarnya, semua kantor pemerintah yang berhubungan dengan kepentingan publik harus memahami diri sebagai kantor pelayanan.

Para pejabatnya adalah para pelayan atau diakonos dalam bahasa Yunani! Pepatah
yang kita kutip di bagian awal menyatakan dengan tegas bahwa pemimpin adalah pelayan, yakni figur yang menuntun, mengarahkan, membimbing, dan mendampingi dalam perjalanan panjang menuju masa depan ceria.

Pada level apa pun kita membutuhkan pemimpin yang melayani, bukan pemimpin yang dilayani. Kita merindukan kepemimpinan melayani, bukan kepemimpinan laissez faire (’kendali bebas’), yaitu kepemimpinan yang semuanya terserah kepada yang dipimpin; kepemimpinan yang mandul
dan bisu.

Baca juga: SAA Ke-35 PGI Bahas Isu Krusial ‘Agama dan Warga Negara yang Terpinggirkan Pada Kepemimpinan Baru Indonesia’



Kepemimpinan model begini akan hancur digerus zaman! Pemimpin yang berjiwa pelayan seharusnya jiga adalah figur yang memiliki spiritualitas tinggi, kadar ke agamaan yang kuat dan kukuh sehingga ia akan mampu menampilkan model kepemimpinan andal,tangguh6 yang mampu menjawab tantangan zamannya!

Selamat berjuang, God bless !

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.