ONLINEKRISTEN.COM, JAKARTA – Setelah vakum beberapa tahun, Dewan Pimpinan Daerah Persatuan Inteligensia Kristen Indonesia (DPD PIKI) DKI Jakarta bangkit kembali dengan dilantiknya pengurus baru yang dinahkodai Ivanhoe Semen sebagai ketua dan Sandi Ebenezer Situngkir sebagai sekretaris untuk masa bakti 2017-2022 yang diadakan di Hotel Boutique, Jakarta Selatan, 5 Mei 2017.
Mereka terpilih memimpin PIKI DKI Jakarta usai melalui Musyawarah Daerah PIKI DKI Jakarta yang didahului oleh diskusi tematik dengan topik “Transportasi Massal, dalam Perspektif Psikodemografik DKI Jakarta dan Dampaknya bagi Peningkatan Produktivitas Warga Jakarta” yang diadakan di Gedung LAI Jakarta, 3 Mei 2017.
Pelantikan Pengurus DPD PIKI DKI Jakarta kala itu dilakukan oleh Ketua Umum DPP PIKI Baktinendra Prawiro MSi, MH, didampingi Waketum DPP PIKI DR Badikenita Putri Sitepu dan Ketua Formatur Arijon Manurung, yang ditandai penyerahan bendera petaka organisasi serta disaksikan oleh Penasehat DPP PIKI, Hashim Djojohadikusumo.
Usai dilantik, Pengurus DPD PIKI DKI Jakarta melantik para ketua, sekretaris dan bendahara di lima Kotamadya DKI Jakarta yakni DPC Jakarta Utara, DPC Jakarta Timur, DPC Jakarta Pusat, DPC Jakarta Barat dan DPC Jakarta Selatan.
Dalam orasinya, Ketua DPD PIKI DKI Jakarta, Ivanhoe Semen mengemukakan dinamika Jakarta sebagai kota metropolitan mengalami perluasan makna menjadi Daerah Khusus Ibukota Jakarta/ Provinsi DKI Jakarta, yakni provinsi yang mempunyai kekhususan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah karena kedudukannya sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemerintahan Daerah Provinsi DKI Jakarta, lanjut Ivanhoe, adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD Provinsi DKI Jakarta menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD NRI Tahun 1945.
“Karena itu kehadiran dan eksistensi PIKI DKI Jakarta merupakan sebuah keharusan, sebuah kewajiban sejarah, bukan sekedar sebuah kebajikan sosio-kultur. Kedudukan DKI Jakarta sebagai pusat pemerintahan negara yang dilegitimasi sebagai sebuah daerah khusus, berdasarkan UU RI Nomor 29 Tahun 2007, mengamanatkan kepada PIKI juga untuk hadir dan menjadi bagian dari prosesi sejarah ibukota negara,” urai dia.
Keberadaan inteligensia kristiani di Jakarta, menurut Ivanhoe, sangat dipengaruhi oleh dinamika lingkungan strategis Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan birokrasi, pusat kebijakan politik dan informasi publik, pusat bisnis dan akuisisi teknologi, serta pusat perhatian dunia sebagai gerbang diplomasi internasional.
Sebaliknya, lanjut dia, peran profetis yang berbasis profesionalisme dari inteligensia kristiani sangat diharapkan nyata pada setiap lingkup kehidupan masyarakat, khususnya di Jakarta.
Fenomena Politik Identitas
Memasuki periode kepemimpinan PIKI DKI Jakarta 2017-2022 ini, menurut Ivanhoe, banyak tantangan dan fenomena harus direspon oleh PIKI DKI Jakarta, terutama untuk sejumlah dinamika yang terjadi di ibukota akhir-akhir ini.
“Fenomena politik identitas yang mencuat sangat ekstrim dalam kemasan komunikasi publik yang rapih via media sosial maupun media digital modern telah memberikan sinyal yang signifikan, bahwa pemerintah dan kita semua tidak boleh diam seribu bahasa menanggapi tema-tema aneksasi kogninitif yang berupaya memecah belah NKRI,” tegas dia.
Kemajemukan bangsa yang selama ini menjadi “pakaian nasional” kita bersama, lanjut Ivanhoe, mulai ternodai oleh noktah-noktah hitam radikalisme dan fundamentalisme yang sempit dan terbalut kapitalisme.
Penetrasi gagasan-gagasan negasi terhadap sendi-sendi ketatanegaraan mulai memasuki ruang parlemen dan mencederai kehidupan demokrasi Indonesia.
“Pancasila sebagai dasar dari segala norma kehidupan kenegaraan mulai diganggu secara langsung maupun tidak langsung melalui pemaksaan pembentukan produk hukum yang tidak nasionalis,” ujar dia.
Pun, menurut Ivanhoe, Kehadiran Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai benteng terakhir konstitusional mulai dicoba-coba untuk melegitimasi pemaksaan kehendak kelompok masyarakat tertentu.
“Problematika kedaulatan hukum dan demokrasi mulai digunakan sebagai celah atau “black hole” untuk memaksakan kehendak dan dominasi satu kelompok masyarakat terhadap kelompok yang lain,” jelas dia.
Ivanhoe berpendapat stigma mayoritas-minoritas masih menjadi sarana pemaksaan kehendak dalam regulasi yang universal, dan bahkan mulai dilembagakan secara steriotip mulai dari ruang pendidikan dasar oleh oknum tertentu.
“Tugas besar yang akan dihadapi DKI Jakarta adalah Pilpres dan Pileg Bersama 2019. Eskalasi dinamika ke arah kontestasi tersebut sudah mulai dirasakan bahkan sejak Pilkada 9 Desember 2015 dan juga sangat terasa pada Pilkada 22 Pebruari 2017. Masih ada satu lagi seri Pilkada pada tahun 2018 nanti yang telah meminta keseriusan banyak pihak, terutama mereka yang akan berkontestasi pada hajatan tersebut,” kata dia.
Menurutnya, PIKI sebagai komunitas intelektual yang disapa inteligensia hendaknya tetap pada paradigma Kompetensi, Profesi dan Legitimasi.
“Bahwa PIKI sebagai rumah bersama yang penuh dengan inspirasi, harus tampil dan meyuarakan aspirasi positif, menjadi catudaya politik kenegaraan bagi warga gereja dan pada gilirannya nanti masyarakat lingkungan di sekitarnya, terutama di wilayah DKI Jakarta,” urai dia.
“Partisipasi dan kepeloporan kehidupan kenegaraan yang sehat hendaknya senantiasa dipandu oleh PIKI DKI Jakarta,” pungkas dia.
Sementara Sekretaris DPD PIKI DKI Jakarta, Sandi Situngkir, SH, MH, menambahkan kedepan DPD PIKI DKI akan fokus membuat kajian-kajian strategis seperti dalam bentuk diskusi dan seminar.
“Sebab PIKI bukanlah organisasi massa yang ingin menonjolkan jumlah massa, akan tetapi PIKI mesti banyak menghasilkan produk-produk kajian yang bermanfaat bagi masyarakat. Juga, PIKI harus mampu mengajak gereja berpartisipasi aktif dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan PIKI,” kata dia.
Hal lainnya, dalam rangka merajut kebhinekaan, menurut Sandi, DPD PIKI DKI Jakarta akan aktif berpartisipasi mengkampanyekan nilai-nilai kebhinekaan yang mulai terkoyak akibat isu SARA yang marak dipergunakan pada Pilkada DKI Jakarta tahun ini. “Kampanye ini mesti intensif diselenggarakan dengan melibatkan masyarakat lintas gereja dan lintas agama,” tandas dia.
(OK-1)
Be the first to comment