Cekal Fundamentalisme, Intoleransi, dan Terorisme

Jadi, fundamentalisme sudah melakukan diskriminasi sejak dalam pikiran. Tindakan intoleransi seperti penutupan rumah-rumah ibadat umat agama lain, ucapan-ucapan kebencian sampai tindakan kekerasan fisik atas nama agama adalah aktualisasi dari pikiran diskriminatif yang sudah ada di dalam kepala kaum fundamentalis.

Hariman A Pattianakotta | Cekal Fundamentalisme, Intoleransi, dan Terorisme
Hariman A Pattianakotta

OnlineKristen.com | Agama selalu punya dua wajah: baik dan buruk, membebaskan dan membelenggu. Agama bisa menjadi obat, tetapi agama juga bisa menjadi racun. 

Realitas inilah yang disebut oleh Aloysius Pieris sebagai wajah ambigu agama. Fundamentalisme menyimpan racun dan potensi buruk agama. 

Baca Juga: Refleksi Awal Tahun 2020 PIKI: Indonesia Quo Vadis

Mulanya, fundamentalisme adalah sebuah gerakan kembali ke fundamen atau dasar agama. Istilah lain yang sering dipakai adalah radix, akar. 


Dari radix inilah kita kemudian mengenal radikalisme. Kembali ke akar atau dasar berarti kembali kepada semangat esensial agama sebagaimana yang terdapat di dalam kitab suci. 

Baca Juga: Membuka Citra Allah, Saatnya Menjadi Dokter Pribadi Lewat Terapi Relaksasi

Gerak kembali ini didorong oleh situasi sosial konkret yang dihadapi oleh agama-agama di era modernitas dan globalisasi. 

Agama-agama prihatin dengan situasi dan problem sosial yang dialami, namun mereka tidak mampu melihat diri sendiri secara jernih dan jujur dalam tantangan pluralitas atau kepelbagaian yang disingkapkan oleh modernitas dan globalisasi.


Oleh karena itu, gerak kembali ke radix pun dibarengi dengan upaya membangun tembok tebal yang memisahkan diri sendiri dari yang lain, the others

Baca Juga: DPD PIKI Jabar: Natal Tanpa Ancaman, Menanti Sikap Tegas Negara atas Tindakan Intoleransi dan Ekstrimisme di Sumatera Barat dan daerah lain di NKRI

Pemisahan ini didasari oleh klaim teologis-ideologis bahwa hanya diri dan kelompok sendirilah yang benar. Ekspresi dari keyakinan itu dinyatakan lewat berbagai ungkapan dan stigma kepada the others

Yang lain, misalnya, disebut sebagai orang-orang kegelapan, kafir, atau pun thoghut. Sang liyan atau yang lain ini akan diterima sejauh mereka bisa dimasukan ke dalam kategori kelompok “orang benar” itu. 


Jadi, fundamentalisme sudah melakukan diskriminasi sejak dalam pikiran. Tindakan intoleransi seperti penutupan rumah-rumah ibadat umat agama lain, ucapan-ucapan kebencian sampai tindakan kekerasan fisik atas nama agama adalah aktualisasi dari pikiran diskriminatif yang sudah ada di dalam kepala kaum fundamentalis.

Baca Juga: Survei BARNA: Pemuda Ingin Gereja Jadi Laboratorium Kepemimpinan, Bukan Sekedar Spiritualitas

Penting untuk dicatat di sini, bahwa fundamentalisme itu bukan milik pusaka agama tertentu. Fundamentalisme ada dalam semua agama besar. 

Fundamentalisme selalu menginginkan dua hal: kemurnian ke dalam dan kekuatan atau kekuasaan ke luar. 


Karena itu, gerakan fundamentalisme bukan hanya mengancam kepelbagaian kenyataan sosial masyarakat, tetapi juga mengancam negara, sebab fundamentalisme dapat berujung pada upaya-upaya mengganti dasar dan falsafah negara. 

Baca Juga: Refleksi 70 Tahun GMKI, Pdt Saut Sirait: MELAWAN ARUS

Upaya-upaya makar tersebut bisa dilakukan secara lembut dengan memanfaatkan jalan demokrasi, dan dapat juga dilakukan dengan cara-cara yang sangat kasar, yakni dengan kekerasan. 

Ketika fundamentalisme mengambil jalan kekerasan untuk mencapai tujuan “memurnikan” dunia sesuai dengan ideologinya, maka fundamentalisme menjadi terorisme. 


Hal ini selaras dengan UU RI No.5 tahun 2018 yang menyebutkan bahwa terorisme sebagai tindak pidana adalah “perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif politik, ideologi, atau gangguan keamanan.”

Baca Juga: Refleksi Akhir Tahun DPP GAMKI Menyikapi Pelarangan Ibadah Perayaan Natal di Sumatera Barat 

Indonesia yang sejak dulu kala menjadi “surganya” agama-agama, kini menjadi lahan subur tumbuhnya fundamentalisme, intoleransi, dan terorisme. 

Di era pemerintahan presiden Joko Widodo saja, Setara Institute mencatat terjadinya 846 kejadian pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan, dengan 1060 tindakan. 


Propinsi Jawa Barat menjadi juara dalam hal ini, dengan 154 peristiwa pelanggaran. Realitas ini tentu tidak boleh dianggap sepele, sebab dapat memicu spiral kekerasan di berbagai tempat atau daerah di Indonesia dan menjadi ancaman serius terhadap keharmonisan, keamanan, dan kesatuan-persatuan bangsa.

Baca Juga: HIDUP YANG BERKARYA DAN BERMAKNA

Cegah dan Tangkal

Oleh karena itu, agama-agama dan pemerintah Indonesia perlu melakukan langkah-langkah preventif dan kuratif dalam membendung arus fundamentalisme dan terorisme. 

Setiap elemen bangsa mesti berjalan bersama untuk cekal, cegah dan tangkal, gerakan fundamentalisme, intoleransi, dan terorisme. Untuk itu, ada tiga langkah pencegahan yang bisa dilakukan oleh agama-agama. 


Pertama, mengembangkan perspektif yang kritis-kontekstual dalam membaca dan memaknai teks-teks suci dalam konteks masa kini, khususnya di Indonesia yang majemuk. 

Baca Juga: PIKI DKI Dukung Presiden Jokowi Terbitkan Perppu No.2 Tahun 2017 Untuk Bubarkan Ormas Anti Pancasila dan Radikal

Tak bisa dipungkiri bahwa dalam teks-teks suci setiap agama, terdapat ayat-ayat yang bersifat eksklusif, bahkan ada ayat-ayat tertentu yang bisa dipakai untuk melegitimasi tindakan kekerasan. Ayat-ayat ini perlu dibaca ulang secara kritis dan dikontekstualisasikan secara konstruktif di tengah kondisi masyarakat Indonesia.

Kedua, dalam relasi dengan agama atau kelompok lain, agama-agama perlu mengembangkan praksis beragama dan berkeyakinan yang inklusif dan dialogis. 


Orang lain yang berbeda agama dan keyakinan bukan musuh, tetapi sahabat dalam peziarahan. Karena itu, bukannya saling menghujat dan mengeluarkan ujuran-ujuran kebencian, agama-agama justru duduk bersama dalam meja-meja dialog untuk menemukan titik jumpa dan menumbuhkan penghargaan dalam setiap perbedaan. 

Baca Juga: PELANTIKAN PENGURUS DPD PIKI DKI JAKARTA, Ketua DPD PIKI DKI: “Kemajemukan Ternodai Noktah Hitam Radikalisme dan Fundamentalisme”

Di Jawa Barat ada Jakatarub (Jaringan kerja-sama antar umat beragama) yang sangat baik dalam menghidupi praksis beragama yang inklusif dan dialogis di kalangan pemuda lintas iman. 

Dialog dan jejaring seperti ini yang perlu dikembangkan untuk mencekal gerakan fundamentalisme agama.


Ketiga, berhadapan dengan isu-isu sosial kemasyarakatan, agama-agama perlu mengembangkan wawasan dan praksis beragama yang etis-trasformatif. 

Baca Juga: Penolakan Warga Non Muslim di Dusun Karet Yogyakarta, Waketum PIKI: Ini Mengancam Keamanan Warga Secara Individual

Artinya, agama-agama perlu peka dan peduli dengan realitas kemiskinan dan berupaya menangkal penyakit-penyakit sosial yang tumbuh di masyarakat, agar agama-agama mampu menjadi agen-agen perubahan. 

Agama-agama tidak boleh terjebak dalam aktivitas ritual-seremonial saja, tetapi turut berperan aktif di masyarakat secara lintas keyakinan untuk mendorong perubahan sosial.


Berbarengan dengan itu, dalam menangkal arus fundamentalisme, intoleransi, dan terorisme, pemerintah harus berani menegakkan hukum, sehingga ada jaminan kepastian hukum yang memberikan efek positif terhadap penciptaan kerukunan hidup antar umat beragama. 

Baca Juga: KELOMPOK CIPAYUNG DEKLARASIKAN PANCASILA YES! KHILAFAH NO!

Dalam kaitan ini, pemerintah harus menghindar dari yang namanya favoritisme terhadap satu kelompok agama tertentu. Hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu. 

Selain itu, upaya menciptakan keadilan, pemerataan ekonomi, serta peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat harus mendapat perhatian serius pemerintah, agar fundamentalisme, intoleransi, dan terorisme tidak mendapatkan lahan subur untuk tumbuh. 


Dengan kata lain, pemerintah dalam mencekal gerakan fundamentalisme dan terorisme harus memakai perspektif yang utuh dan dilakukan melalui kerjasama yang aktif dan positif dengan semua elemen masyarakat, khususnya kelompok dan pimpinan agama-agama.*     

 

Penulis: Hariman A Pattianakotta adalah Pendeta Universitas Kristen Maranatha, Bandung dan Wakil Ketua Dewan Pimpinan Daerah Persatuan Inteligensia Kristen Indonesia  Provinsi Jawa Barat (DPD PIKI JABAR).

 

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.