Frangas Non Flectes: “Engkau Dapat Menindasku, Tetapi Tidak Untuk Mengubah Pendirianku”

ONLINEKRISTEN.COM, JAKARTA – Dalam sebuah kehidupan yang standar dan ‘normal’ kosa kata tindas amat jarang bahkan mungkin tidak digunakan.

Sebuah kehidupan yang standar menempatkan relasi antar manusia dalam posisi yang terhormat, yang di dalamnya manusia mendapat respek, ‘kekitaan’, ‘kekamian’, ‘kesalingan’ amat menonjol dan dikedepankan.

Suasana kesetaraan, cinta kasih, saling menolong, silaturahim dibangun, ditumbuhkembangkan sehingga kosa kata yang bernuansa kekerasan, exploitation de lhomme par lhomme, diskriminasi, penghujatan, ujaran kebencian dan kosa kata senada dengan itu tidak mendapat tempat.

Kosa kata tindas kita dengar dalam konteks relasi ‘buruh dan majikan’ tatkala relasi itu berada dalam kondisi yang amat buruk.

Istilah itu tentu saja muncul dari sisi buruh yang acap kali merasa dalam posisi yang tidak dimanusiakan (“tidak di wongke”); upah yang berada di bawah UMR/UMP, fasilitas yang tidak memadai dan berbagai perlakuan tidak manusiawi yang dialami buruh dalam pekerjaan mereka.

Kesemua perlakuan yang dialami buruh itu dirumuskan dalam satu kata bahwa buruh mengalami “penindasan” dari pihak majikan dan atau manajemen.

Semestinya relasi-relasi antar manusia mesti dibangun dalam konteks kesetaraan yaitu bahwa manusia itu kedudukannya sama di depan hukum dan sebab itu relasi yang diwarnai suasana cinta kasih dan kebaikan harus mewujud.

Relasi buruh-majikan harus dibarui terus menerus dalam semangat sikap respek terhadap ‘human dignity’.

Kisah kebaikan hati dan respek terhadap kemanusiaan bisa kita lihat dari pengalaman seorang penulis.

Richard W Gilder seorang penulis biografi pernah naik kereta api untuk memburu seorang Presiden.

Ia tahu bahwa Presiden Cleveland sedang berada di kereta api yang sama dengannya.

Ia berusaha mencari tempat duduk sang Presiden karena ingin membicarakan sesuatu dengannya.

Setelah cukup lama mencari menyusuri gerbong demi gerbong Gilder tak kunjung bisa bertemu dengan presiden.

Gilder tak habis akal, ia pergi ke gerbong barang untuk bertanya kepada kondektur dimana posisi sang presiden.

Ia terkejut ketika melihat presiden justru duduk diatas peti kayu sambil bersandar.

Ternyata ada seorang ibu bersama anaknya di kereta itu dan Presiden Cleveland telah memberikan tempat duduknya kepada ibu dan anaknya itu karena dianggap lebih memerlukan tempat duduk itu.

Kisah seorang Presiden seperti yang diceritakan ini tentu saja bisa terjadi pada presiden-presiden lain diberbagai negara dalam berbagai bentuk.

Hal mendasar disini adalah cinta kasih, respek terhadap sesama tak pernah bisa dibatasi oleh kapasitas dan jabatan seseorang.

Cinta kasih dan kebaikan hati tidak pernah memperhitungkan keberbedaan suku, agama, ras dan antar golongan.

Sikap simpati, empati, solidaritas, cinta kasih berada diatas dan mengatasi segala-galanya.

Dalam konteks perang, konteks politik pembedaan warna kulit, atau dunia yang diwarnai sikap barbar kosa kata ‘penindasan’ agaknya masih cukup dikenal.

Dalam dunia yang makin modern dan peradaban yang makin maju, terminologi yang beraroma kekerasan tidak lagi terlalu mengemuka.

Menarik peribahasa yang dikutip diawal tulisan ini yang menegaskan bahwa “penindasan tidak bisa mengubah pendirian”.

Pendirian adalah gagasan; pendapat, buah pikiran seseorang yang dirakit dari ajaran agama, pandangan filsafat, ideologi yang menjadi bagian integral dari mind set seseorang.

Para penganjur agama, penemu ilmu pengetahuan, filsuf, ideolog, dsb adalah orang-orang yang memiliki sebuah pendirian yang kukuh yang tak bisa diubah dengan argumen kuat dan logis.

Para tokoh/agama, filsuf, ahli ilmu pengetahuan misalnya akan tetap kukuh mempertahankan pendiriannya bahkan siap untuk menghadapi kematian demi mempertahankan pendirian.

Mereka tidak bisa disogok, disuap, diberikan jabatan apapun agar mereka mengubah pendirian.

Dan hal itu tidak pernah terjadi karena mereka setia dan kukuh dalam pendirian mereka.

Dalam zaman modern “pendirian dalam wujud sebuah dokumen” agaknya bisa mengalami pengubahan oleh faktor-faktor suap dan sejenisnya.

Realitas ini amat memprihatinkan karena mereduksi dan mengerdilkan martabat kemanusiaan.

Kita sebagai umat beragama harus tetap bertahan pada pendirian kita apalagi yang berkaitan dengan hal-hal transendental. Tak ada tawar menawar. Tak ada pilihan lain.

Selamat Berjuang. God bless.

Weinata Sairin

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.