“Kita berjalan Terus
dengan segenggam keyakinan paling tulus
tiada seorang pun yang berhak
memaksakan segala kehendak
atas keyakinan
yang telah kita gariskanKita berjalan terus
dengan keyakinan tak pernah pupus
walau jalan Kristus
penuh bukit batu dan tandus…”
(Weinata Sairin, “Disebuah Perjalanan, Serangkai Puisi”, BPK Gunung Mulia , Jakarta 2003)
Gereja tidak pernah berhenti hanya sebatas kata benda, Gereja adalah sebuah kata kerja. Itulah sebabnya walaupun gedung Gereja dibakar, dirusak, ditutup, dilarang, dibongkar, sejarah Gereja tidak pernah akan berakhir.
Gereja sebagai kata benda, oleh kebencian dan sifat-sifat arkais manusia dapat dimusnahkan, tetapi Gereja sebagai kata kerja tetap hidup, tetap kreatif, dan dinamik berkarya di tengah zaman. Orang-orang Kristen memang bisa dibunuh, dihabisi, dilibas, tetapi kekristenan tak pernah mati. Sejarah telah menyaksikan hal itu.
Baca Juga: Jelang Perayaan Paskah, Dirjen Bimas Katolik: Kita Akan Berikan Misa Melalui Online
Dalam peristiwa kebakaran di Kota Roma tanggal 19 Juli tahun 64, para pejabat Romawi saat itu memang tidak bersikap positif terhadap kekeristenan bahkan memusuhi kekristenan sebagai agama baru yang ajarannya berbeda dari keyahudian.
Menurut legenda, Kaisar Nero sedang bermain biola ketika kota Roma terbakar. Api mengganas selama 7 hari tak bisa dipadamkan, melalap 10 dari 14 blok rumah dengan banyak menelan korban jiwa.
Banyak yang menduga Nero-lah yang bertanggung jawab atas kebakaran itu, tetapi ia justru menuduh orang Kristen menjadi penyebab. Nero bersumpah untuk memburu orang Kristen. Mereka disalib, dibakar, dimasukkan ke kandang menjadi santapan binatang.
Baca Juga: HIDUP YANG BERKARYA DAN BERMAKNA
Penganiayaan itu tidak mematikan kekristenan. Tertullianus, penulis Kristen abad ke-2, berkata: “Darah para martir adalah benih Gereja”, orang Kristen tetap bertumbuh dan bertambah.
Uskup Smyrna bernama Polikarpus menjadi martir tahun 156. Polikarpus bersama orang-orang Kristen menolak menyembah kaisar dan dewa-dewa Romawi, mereka hanya beriman kepada Kristus. Orang-orang Smyrna memburu orang-orang Kristen dengan pekik: “Enyahkan orang-orang kafir.”
Polikarpus diminta untk percaya kepada dewa-dewa Roma dan menghujat Kristus, namun ia tetap menolak. Gubernur Romawi mengancam Polikarpus dengan melemparkan dia ke binatang buas, atau bahkan dibakar.
Baca Juga: PEMIMPIN ITU BERTINDAK MEMIMPIN, BUKAN DIAM MENIKMATI POSISI
Polikarpus tetap tegar, ia setia kepada Kristus. Ia berkata: “Apimu hanya akan membakar satu jam lamanya, kemudian akan padam. Namun api penghakiman yang akan datang adalah abadi.”
Akhirnya, Polikarpus dibakar hidup-hidup. Namun menurut saksi mata badannya tidak termakan api. Ia seperti emas atau perak dimurnikan diatas tungku perapian. Ada aroma harum seperti kemenyan atau rempah-rempah mahal dari perapian itu; ketika algojo Romawi menikamnya, darah yang mengalir memadamkan api itu.
Para martir itu memahami benar bahwa ketaatan kepada Allah adalah sesuatu yang absolut. Ketaataan itu berada di atas segala-galanya. Mereka lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia (Kis.5:29) . Mereka berani membayar ketaatan itu dengan kematian yang mesti mereka jalani.
Baca Juga: LUKA HATI, LUKA YANG DIBAWA MATI
Tatkala bangkit dari kematian, pertama kali Yesus menyapa murid-murid-Nya dengan ungkapan: “Damai sejahtera bagi kamu!” Pernyataan ini amat penting untuk menghapus rasa takut, panik, dan pesimisme yang mewarnai kehidupan para murid sesudah kematian Yesus.
Yesus yang memenangkan kematian memang sosok yang layak dan memiliki kredibilitas untuk menyatakan bahwa damai sejahtera (syalom) itu berlaku dan terwujud di antara para murid, di antara umat manusia. Lebih penting dari itu, damai sejahtera yang Yesus berikan adalah damai sejahtera yang berbeda dari apa yang diberikan oleh dunia.
Pernyataan damai sejahtera yang diucapkan sesudah kebangkitan itu dilanjutkan Yesus dengan penugasan: “Seperti Bapa mengutus aku, demikian juga Aku sekarang mengutus kamu” (Yoh. 20:21). Oleh sebab itu, peristiwa Paskah dan pernyataan damai sejahtera tidak berdiri sendiri; peristiwa itu dilanjutkan dengan tugas pengutusan.
Baca Juga: BERSATU, TIDAK REBAH PASRAH MELAWAN WABAH
Kebangkitan Kristus memiliki implikasi misioner, peristiwa Paskah menjadikan gereja sebuah persekutuan yang diutus, yang bergerak menyusuri lorng-lorong dunia. Oleh sebab itu gereja dan umat Kristen Indonesia yang lahir di tengah bangsa, masyarakat dan bangsa Indoneisa tidak boleh menjadi persekutuan yang statis, apatis, tetapi yang dinamis, responsif, sesuai dengan makna kedirian gereja sebagai persekutuan yang kreatif-dinamik, yang sedang diutus Tuhan di tengah dunia.
Sejak dasawarsa 1960-an, tugas profetis gereja dalam kancah pembangunan bangsa dirumuskan dengan mengembangkan sikap positif, kreatif, kritis dan realistis. Sikap seperti itu telah memungkinkan gereja membuat arah yang jelas dengan kekuasaan bahkan mampu menghindar dari posisi sebagai instrumen dan legitimator kekuasaan.
Persekutuan yang sedang diutus di tengah dunia adalah pengutusan yang belum tiba di terminal penghabisan. Ia masih berada di tengah jalan, sehingga ia juga harus menjadi persekutuan yang siuman, berjaga-jaga, dan memahami tanda-tanda zaman.
Baca Juga: HARI TUHAN DATANGNYA KAPAN
Kita sebagai bangsa tengah menghidupi era baru, sehingga gereja dan umat Kristen yang memahami diri sebagai bagian integral dari bangsa, tak bisa tidak harus memainkan peran signifikan, sehingga kehadirannya memiliki makna di tengah bangsa.
Umat Kristen di seluruh dunia sedang memperingati hari Jumat Agung yaitu wafat Yesus Kristus tanggal 10 April 2020 yang dilanjutkan Hari Raya Paskah yaitu Kebangkitan Yesus dari kematian tanggal 12 April 2020. Suatu hal yang membanggakan dalam menjalani kehidupan dalam NKRI yang majemuk.
Utamanya di bidang keagamaan adalah bahwa negara, pemerintah memberikan perhatian sangat besar bagi perayaan hari raya keagamaan. Setiap tahun pemerintah menetapkan hari libur nasional bagi hari raya agama sehingga umat dapat memperingati hari raya keagamaan itu dengan lebih leluasa.
Baca Juga: HIDUP YANG DIWARNAI PEDULI DAN EMPATI
Paling tidak enam agama yang selama ini memdapat pelayanan dari pemerintah yaitu: Islam, Kristen, Katolik Hindu,Buddha dan Khonghucu, merayakan hari raya keagamaan dengan lebih baik karena dilaksanakan pada saat libur nasional.
Paskah memberikan perspektif baru bagi Gereja dan umat Kristen Indonesia. Paskah mengajak umat untuk tidak terbelenggu pada kekinian, pada yang di sini tetapi mengajak uuntuk menatap ke depan, ke keakanan.
Paskah tahun 2020 ini dirayakan dengan sangat khusus oleh karena bangsa kita dan dunia internasional tengah fokus melawan virus Covid 19 yang telah merenggut ribuan nyawa di berbagai belahan dunia, dan ribuan juga yang positif terpapar virus Corona itu.
Baca Juga: MENEBAR BENIH CINTA DEMI MENGUBAH DUNIA
Paskah berarti hadirnya hidup dan harapan baru bagi manusia. Gereja yang ber-Paskah mestinya ikut menyatakan empati dan solidaritas nyata bagi para korban Corona, bagi para dokter dan tenaga medis yang berjuang di garda depan menyelamatkan para korban Corona, bahkan ikut membantu warga masyarakat yang kehilangan mata pencarian akibat Corona.
Gereja yang merayakan Paskah harus tampil sebagai gereja yang memuliakan kehidupan, Gereja yang bersaksi dan melayani, Gereja yang konsisten dan kontinyu mengembangkan wawasan teologis, oikumenis dan kebangsaan sehingga kiprahnya di tengah dunia yang penuh turbolensi memberi kemaslahatan bagi masyarakat luas.
Kita bersyukur bahwa dalam seruan Paskah 2020, Dirjen Bimas Kristen mengajak Gereja dan umat Kristen untuk mengembangkan tiga aspek itu, yaitu menjadi Gereja yang memuliakan kehidupan, menjadi Gereja yang bangkit dan bersaksi, menjadi Gereja yang mengembangkan tri wawasan: wawasan teologis, oikumenis dan kebangsaan agar Gereja makin mampu meningkatkan kiprahnya di tengah sejarah.
Baca Juga: Model Pengabaran Injil Rasul Paulus
Pernyataan Dirjen ini menjadi amat penting dan strategis ketika dunia digempur oleh kematian lewat Covid 19, genosida terselubung, peperangan antar kelompok dan antar bangsa, angka bunuh diri melonjak. Gereja harus pro dan berpihak pada kehidupan dan secara sadar melawan kematian.
Merefer kepada peryataan Dirjen sebagaimana dikutip di atas, peristiwa Paskah seharusnya makin menyadarkan Gereja bahwa Gereja adalah komunitas yang mesti bersaksi dan melayani di tengah realitas dunia dalam kondisi apapun.
Paskah harus mendorong Gereja menjadi komunitas yang membuah di kancah wabah dan bukan komunitas yang pasrah menyerah kehilangan gairah dan darah.*
Be the first to comment