REFLEKSI HARI JUMAT AGUNG, “KEMATIAN YESUS : KEMATIAN YANG MENGHIDUPKAN”

Oleh : Weinata Sairin

Lalu Yesus berseru dengan suara nyaring: “Ya Bapa, ke dalam tanganMu Kuserahkan nyawaKu”. Dan sesudah berkata demikian Ia menyerahkan nyawaNya” (Lukas 23 :46)

BAGIAN KESATU

senja yang ungu
mengantar Yesus ke Getsemane
segumpal duka mengendap dalam dada
ia melangkah tertatih-tatih
sendiri
menembusi ambang malam yang sunyi
dalam semilirnya angin yang menepis
ia bertelut pada Bapa : Bapa, lepaskan cawan ini dari padaku
(sementara keheningan menggapai atas ruang waktu)

kemudian ia merunduk dan berdoa teramat pasrah:
Bapa, kehendakMu jualah yang jadi
malampun berangkat larut
tatkala Yesus diserahkan
Yesus berjalan ke Golgota
mengemban dosa dan nista umat dicinta
mahkota duri di kepala
darah meleleh dari luka

tiada lagi hosana menggempita
tiada lagi daun-daun palma
yang dilambaikan penuh mesra
adalah sedu-sedan perempuan
mewarnai perjalanan

dari bukit itu ia berseru
ya Bapaku, ya Bapaku
mengapa kau tinggalkan aku
dalam kesendirianku?
mentari pun jadi kelam
bumi juga kelam
segalanya hitam legam
kemudian : Bapa, sudahlah genap!

(Weisa, Kepada Pemeluk Teguh, Bandung, 1986)



BAGIAN KEDUA

Jalan derita, jalan sengsara, tak seorangpun yang mau memimpikannya, menjadikannya sebagai obsesi, apalagi yang bersedia untuk menapakinya.

Siapapun akan selalu berupaya untuk menghindarinya, untuk menolak dan menjauhinya.

Orang tentu saja akan lebih suka untuk menelusuri jalan-jalan yang penuh sukacita, penuh tawa-ria. Ya hal itu sesuatu yang logis, biasa dan standar.

Namun Yesus justru memilih yang sebaliknya. Ia justru lebih suka meniti jalan sengsara, jalan derita.

Yesus lebih siap untuk menempuh jalan salib dalam rangka membebaskan dan menyelamatkan manusia dari belenggu dosa.

Alkitab mendeskripsikan dengan jelas dan lugas kesengsaraan yang dialami Yesus hingga saat-saat kematianNya.

Sejak awal sudah amat jelas bahwa Yesus memang memilih jalan salib, jalan derita dalam penyelamatan umat manusia.

Yesus menolak dengan tegas ketika murid-murid berupaya mengurung Yesus di gunung kemuliaan (Mat.17:1-13); Ia justru turun meninggalkan gunung itu dan merangkul penderitaan di Yerusalem.

Berulang kali murid-murid diberitahu oleh Yesus bahwa Ia harus pergi ke Yerusalem dan meminum cawan penderitaan di kota itu (Mrk 8:31 dst).

Ia konsisten dan tegar dalam menghadapi penderitaan, Ia tidak lari dari penderitaan, Ia datang menyongsong dan merangkul penderitaan itu betapapun getir dan pahitnya karena komitmenNya yang besar bagi keselamatan umat manusia.

Orang mengejek bahkan meludahi Yesus, ia di cemooh dan di hujat (Mat 27 :29-30; Luk. 23:25 dst).

BAGIAN KETIGA

Yesus tidak menyerah kalah oleh sinisme vulgar hujatan, dan sinisme. Pilihannya tidak berubah : jalan kematian mesti ditempuh agar manusia dapat menikmati kehidupan sejati, mengalami perspektif keakanan yang jelas dan kuat.

Kematian Yesus yang dalam kalender negeri berpancasila disebut “wafat Isa Alamasih” adalah kematian yang riil dan faktual, bukan sebuah kematian maya atau kematian artificial yang hanya ada dalam dunia ide.

Ia merasakan kesepian dan kesendirian tatkala mesti berhadapan dengan kematian.

Dicekam realitas itu, kemanusianNya mengaduh : “Allahku, Allahku mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Mat. 27:46)

Penderitaan dan kematian Yesus menginspirasikan beberapa hal bagi Gereja dan umat Kristen yang tengah menghidupi kekinian dunia.

Pertama, Yesus mengajarkan bahwa keberpihakan terhadap manusia dan komitmen untuk memberi perspektif masa depan baru bagi manusia, adalah segala-galanya.

Keberpihakan dan komitmen itu tidak boleh berhenti hanya sebatas slogan, jargon, program tetapi harus menjadi sesuatu yang riil dan operasional, yang bersifat action.

Walaupun untuk mewujudkan semua itu kita harus menderita, kehilangan segala-galanya, bahkan kehilangan diri sendiri.

Kedua, Yesus tidak sekadar menjadi guru yang menunjukkan dan atau mengajarkan sesuatu, tetapi Ia sekaligus melaksanakan dan mempraktikkan apa yang Ia ajarkan itu.

Tidak ada ambivalensi dan dikotomi antara perkataan dan tindakan Yesus; keduanya integral, menyatu. Apa yang Ia ajarkan itu juga yang Ia lakukan.

Ketiga, Yesus concern dengan seluruh umat manusia tanpa mempertimbangkan kesiapaan manusia itu, tanpa dibelenggu pemikiran primordialistik.

Yesus benar-benar mempraktikkan sikap hidup yang inklusif ditengah perjalanan pelayananNya.

KematianNya yang rela dan ikhlas diatas kayu salib terarah bagi seluruh umat manusia, bukan hanya untuk segelintir orang.

Sikap iknklusif seperti itu yang seharusnya menjadi nada dasar dan gaya hidup dari Gereja-gereja di Indonesia, bahkan menjadi nafas hidup bagi masyarakat majemuk Indonesia, dalam kehidupan membangsa dan menegara.

Dalam roh inklusif itulah kita bersama bergandeng tangan berjuang membangun rumah besar Indonesia yang modern, adil, sejahtra dan berkeadaban, yang didalamnya semua orang dari berbagai suku, agama, etnik dan golongan dapat tinggal bersama dengan penuh persaudaraan, saling menghargai, tanpa rasa takut, curiga dan waswas.



Yesus Kristus mati di kayu salib, Ia menyerahkan nyawaNya kepada Sang Bapa tanda tugas pelayanan rampung.

Ia mati agar umat manusia Hidup. Hidup dalam atmosfir baru. Hidup dalam energi dan roh yang baru.

Kita sebagai warga bangsa baru saja melaksanakan Pemilihan Presiden dan Pemilihan Legislatif.

Selama lebih kurang 7 bulan masa kampanye, ruang-ruang kita dipenuhi dengan diksi, terminologi, kosa kata yang berwarna negatif yang bahkan menghina, menghujat, melukai sesama kita.

Spirit Jumat Agung harus memberi inspirasi bagi kita untuk merajut kembali tali persaudaraan sejati diantara warga Gereja bahkan diantara seluruh warga bangsa.

Selamat Memperingati Hari Jumat Agung. God bless!

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.