Home / NASIONAL / Refleksi Hari Pancasila, Ketika Intoleransi Berujung Maut di Lingkungan Sekolah

Refleksi Hari Pancasila, Ketika Intoleransi Berujung Maut di Lingkungan Sekolah

hari pancasila

OnlineKristen.com – Momentum Hari Kelahiran Pancasila tahun ini diwarnai refleksi suram mengenai kondisi toleransi dan inklusi di Indonesia.

SETARA Institute merilis siaran pers yang menyoroti kemunduran serius dalam penghayatan nilai-nilai Pancasila, terutama di lingkungan sekolah, yang kian menjadi ladang subur bagi intoleransi dan eksklusivitas.

Ironisnya, situasi ini berujung pada kasus-kasus tragis, termasuk kematian seorang pelajar SD akibat perundungan berbasis perbedaan agama.

Pancasila: Antara Jargon dan Realita yang Absen

Delapan dekade setelah Pancasila disepakati sebagai staats fundamental norm, implementasinya dalam tata kelola negara dan tata hidup bangsa masih jauh dari harapan.

SETARA Institute menegaskan, Pancasila kerap kali hanya menjadi jargon tanpa penghayatan mendalam.

Berbagai pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB) yang terjadi belakangan ini tidak hanya menghambat visi Indonesia Emas 2045, tetapi juga nyata-nyata bertentangan dengan spirit dan nilai moral Pancasila.

Sekolah: Arena Intoleransi yang Mengkhawatirkan

Sorotan tajam SETARA Institute tertuju pada lingkungan sekolah, yang seharusnya menjadi garda terdepan pembentukan karakter bangsa.

Namun, faktanya justru sebaliknya. Tahun 2024 saja, sederet peristiwa pelanggaran KBB mencuat, mulai dari penolakan pembangunan pondok pesantren di Jayapura, pelarangan bercadar bagi siswi SMP di Palembang, penolakan pendirian sekolah Kristen di Pare-Pare, pembatasan penggunaan jilbab anggota Paskibraka oleh BPIP, hingga penolakan kurikulum pendidikan sekolah teologi di Nias.

Puncak dari kegelisahan ini adalah insiden terbaru beberapa hari lalu, di mana intoleransi dan perundungan di lingkungan sekolah menyebabkan tewasnya seorang pelajar SD karena menganut agama yang berbeda dari para pelaku.

Kasus memilukan ini menjadi bukti nyata dampak fatal dari perilaku intoleransi yang dibiarkan berlarut-larut.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pun mengamini adanya peningkatan kekerasan berbasis intoleransi di lingkungan sekolah.

Potret Rapuhnya Generasi Muda

Data survei SETARA Institute tahun 2023 di lima kota menunjukkan kondisi intoleransi remaja tingkat SMA/sederajat yang mengkhawatirkan.

Sebanyak 24,2% pelajar dikategorikan intoleran pasif, 5,0% intoleran aktif, dan 0,6% bahkan terpapar ideologi ekstremisme kekerasan.

Yang lebih mencengangkan, 83,3% responden menyebut Pancasila bukan sebagai ideologi permanen yang bisa diganti.

Rentetan peristiwa pelanggaran KBB di lingkungan sekolah pada tahun 2024 dan 2025 ini menjadi potret rapuhnya kekebalan generasi muda dari “virus” intoleransi yang menjamur di sektor pendidikan.

SETARA Institute mengecam abainya negara dalam menangani fenomena ini, yang dianggap sebagai “violation by omission” atau pelanggaran karena kelalaian.

Meskipun Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) telah dibentuk di setiap satuan pendidikan untuk menghalau berbagai jenis kekerasan, termasuk yang berbasis perbedaan agama/keyakinan, kinerja dan fungsi TPPK tidak pernah dipantau dan dievaluasi secara serius.

Keberadaan TPPK seolah hanya menjadi “ornamen anti kekerasan belaka.” Padahal, merupakan kewajiban negara untuk melindungi anak-anak sebagai kelompok rentan dan minoritas agama, sebagaimana dijamin oleh Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 dan instrumen HAM internasional seperti Konvensi Hak Anak.

Lebih ironis lagi, tidak jarang negara justru hadir sebagai aktor pelaku pelanggaran, baik dalam bentuk tindakan (“violation by commission”) maupun melalui kebijakan (“violation by rule”).

Desakan SETARA Institute untuk Pemerintah

Menyikapi situasi yang mengkhawatirkan ini, SETARA Institute menyampaikan beberapa desakan kepada pemerintah:

  • Kecaman Keras Intoleransi di Pendidikan: SETARA menyayangkan dan mengecam keras berbagai peristiwa intoleransi di lingkungan pendidikan. Sekolah seharusnya steril dari virus intoleransi dan kondusif untuk pembentukan karakter bangsa yang menginternalisasi nilai-nilai Pancasila, khususnya kemanusiaan.
  • Seriusi Pembumian Pancasila: SETARA menyayangkan ketidakseriusan pemerintah dalam pembumian dan aktualisasi nilai-nilai Pancasila. Kinerja pembinaan dan implementasi Pancasila di kalangan anak muda cenderung seremonial dan tidak menyentuh aspek substantif. Internalistik Pancasila harus dipastikan sebagai “working ideology” untuk mencegah generasi muda masuk dalam perangkap konservatisme dan intoleransi. Momentum Hari Lahir Pancasila harus menjadi titik balik komitmen bersama di sektor pendidikan, ekonomi, dan sosial-budaya untuk menciptakan ruang inklusif.
  • Hentikan Pelembagaan Intoleransi: SETARA mengecam pelembagaan intoleransi melalui kebijakan negara. Selain temuan Komnas Perempuan tentang 305 peraturan diskriminatif, SETARA juga mencatat setidaknya 71 produk hukum diskriminatif yang membatasi kelompok minoritas agama tertentu. Kebijakan intoleran ini dianggap “banal dan dinormalisasi,” menjadi bentuk pelanggaran terhadap prinsip dasar KBB sebagai negative rights.
  • Evaluasi dan Benahi Kinerja Kementerian/Lembaga: SETARA mendesak Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah untuk mengevaluasi dan memantau kinerja TPPK. Bersama Kementerian Tinggi, Sains, dan Teknologi, serta Kementerian Agama, harus segera dibentuk instrumen pembinaan efektif bagi guru agama dan guru Pendidikan Kewarganegaraan, serta meningkatkan pembudayaan wawasan kebangsaan dan mainstreaming toleransi di sekolah dan perguruan tinggi.
  • BPIP Harus Berbenah: Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) diminta melakukan evaluasi serius terhadap kebijakan dan program pemerintah pusat dan daerah yang diskriminatif dan memicu normalisasi intoleransi.


Pembatasan penggunaan jilbab bagi anggota Paskibraka tahun lalu adalah gejala serius yang menuntut pembenahan holistik.

BPIP, sebagai pengawal Pancasila, seharusnya menjadi garda terdepan dalam aktualisasi nilai-nilai Pancasila.

Pengawasan Komnas HAM Lebih Komprehensif: Komnas HAM diminta melakukan pengawasan yang lebih komprehensif terhadap praktik diskriminasi dan intoleransi di lembaga pendidikan.

Kolaborasi lintas lembaga dinilai krusial untuk memulihkan keadilan dan rasa aman bagi korban.

Desakan-desakan ini menjadi pengingat keras bahwa tanpa keseriusan dan tindakan nyata, nilai-nilai luhur Pancasila akan terus tergerus, mengancam masa depan kebhinekaan Indonesia.

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses