SETARA: Jangan Ada Pemaksaan Jilbab, Terapkan Protokol Kebhinekaan di Sekolah Negeri

SMAN 1 Banguntapan Bantul

OnlineKristen.com | Serangkaian peristiwa pemaksaan penggunaan jilbab kembali terjadi di sekolah-sekolah negeri. Salah satu yang tragis, kasus pemaksaan jilbab di SMA Negeri 1 Bantul.

“Seorang Murid SMAN 1 Banguntapan Bantul mengalami depresi dan trauma, setelah yang bersangkutan dipaksa memakai jilbab oleh oknum guru BK di sekolah tersebut,” ujar Direktur Riset Setara Institute Halili Hasan, dalam keterangan persnya di Jakarta, Kamis (4/8/2022).

Selain itu, lanjut Halili, di SMP Negeri 46 Jakarta juga terjadi kasus serupa, dimana seorang siswi ditegur oleh oknum guru karena tidak menggunakan jilbab.

“Teguran itu berdampak pada terjadinya ketidaknyamanan dan tekanan psikologis bagi murid yang bersangkutan,” jelasnya.

Beberapa waktu sebelumnya, tambah Halili, SMP Negeri 2 Turi juga mengeluarkan kebijakan penyeragaman terkait penggunaan jilbab bagi para peserta didik putri.

“Sekolah tersebut sebelumnya mengeluarkan aturan wajib jilbab, yang kemudian direvisi menjadi anjuran, setelah pihak sekolah mendapat teguran dari Dinas Pendidikan setempat,” imbuhnya.

Baca juga: Gereja di Minahasa Selatan Dirusak Oknum Pemerintah Desa





Terkait fenomena tersebut, Setara Institute menyampaikan beberapa pernyataan berikut:

Pertama, Setara Institute mengecam keras setiap tindakan penyeragaman, terutama dalam bentuk pemaksaan pemakaian jilbab di sekolah-sekolah negeri.

Pemaksaan penggunaan simbol keagamaan tertentu di satu sisi merupakan pelanggaran atas hak konstitusional warga negara untuk berekspresi dan berkeyakinan sesuai dengan hati nurani. Di sisi lain, tindakan semacam itu bertentangan dengan kebhinekaan Indonesia yang mesti kita junjung, rawat, dan terus perkuat.

Kedua, Sekolah-sekolah negeri merupakan lembaga pendidikan formal yang dimiliki oleh pemerintah dan diselenggarakan dengan anggaran negara secara langsung atau tidak, baik melalui APBN maupun APBD yang dihimpun dari seluruh warga negara yang bhineka.

Oleh karena itu, sekolah-sekolah negeri harus menjadi etalase kebhinekaan dan motor penguat kebhinekaan sesuai sasanti negara “Bhinneka Tunggal Ika”.

Baca juga: Terdakwa Pembakar Gereja di Aceh Singkil Dituntut Enam Bulan Penjara


Dalam konteks itu para stakeholder di sekolah-sekolah negeri mesti menjadi aktor kunci bagi proses pendidikan, pembudayaan, dan pembangunan lingkungan sekolah yang berorientasi pada kepentingan siswa, non-kekerasan, damai dan menyenangkan (joyful). Fenomena pemaksaan jilbab di sekolah-sekolah negeri jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip tersebut.

Ketiga, pemaksaan pemakaian jilbab yang diduga dilakukan oleh sekolah negeri, baik pimpinan sekolah, guru-guru, maupun tenaga pendidikan di dalamnya, nyata-nyata merupakan pelanggaran dan penyelewengan kewenangan yang dimiliki oleh para aparatur di sekolah-sekolah milik negara tersebut.

Oleh karena itu, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) mesti memberikan sanksi terukur yang mengandung efek jera (deterrence effect).

Keempat, pemaksaan pemakaian jilbab di sekolah-sekolah negeri merupakan fenomena yang tidak tunggal dan terus berulang. Oleh karena itu, Setara Institute mendesak Mendikbudristek untuk melakukan evaluasi komprehensif serta mengembangkan dan menerapkan protokol standar kebhinekaan di sekolah-sekolah negeri untuk mencegah dan menangani kasus-kasus serupa, dengan mengoptimalkan peran dan fungsi Aparatur Pengawas Intern Pemerintah (APIP), otoritas pendidikan di daerah, dan pengawas sekolah, serta dengan melibatkan partisipasi masyarakat sipil.

Baca juga: PGI: Hentikan Praktik Diskriminasi dan Intoleransi di Singkil


Kelima, Setara Institute juga mendesak keterlibatan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) untuk melakukan agenda-agenda programatik di sekolah dalam bentuk, antara lain, reorientasi Pancasila dan Kebhinekaan bagi para stakeholders dengan prioritas lembaga-lembaga pendidikan milik pemerintah.

Keenam, berkenaan dengan fenomena ini, Setara Institute juga ingin menyampaikan catatan kepada Mahkamah Agung. Putusan MA yang membatalkan SKB 3 Menteri tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut Bagi Tenaga Kependidikan di Lingkungan Sekolah yang Diselenggarakan Pemerintah Daerah Pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, pada Mei tahun lalu, nyata-nyata memberikan efek buruk bagi agenda-agenda penguatan kebhinekaan di sekolah-sekolah negeri yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah.(*)

Kronologi

Dilansir dari Kompas, Kasus dugaan pemaksaan penggunaan jilbab kepada siswi di SMAN 1 Banguntapan Bantul, Yogyakarta bergulir di akhir Juli 2022.

Sang siswi yang berusia 16 tahun itu disebut depresi hingga mengurung diri di dalam kamarnya diduga karena dipaksa menggunakan jilbab.

Pendamping siswi, Yuliani bercerita jika sang siswi sempat mengikuti Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) dan ia tidak menggunakan jilbab. Ia juga masuk seperti biasa di hari pertama sekolah yakni pada 18 Juli 2022.

Namun 19 Juli 2022, ia dipanggil ke ruangan Bimbingan dan Konseling (BK) dan ditanya alasan tak mengenakan jilbab.

“Menurut WA di saya ini, anak itu dipanggil dan diinterogasi tiga guru BP, bunyinya itu kenapa nggak pakai hijab?. Dia sudah terus terang belum mau,” ucap Yuliani saat ditemui di kantor Ombudsman Perwakilan Yogyakarta, Jumat (29/7/2022).

Masih menurut Yuliani, siswi tersebut merasa dipojokkan karena terus ditanya terkait alasannya tak mengenak jilbab.

“Bapaknya udah membelikan hijab tapi dia belum mau. Itu kan enggak apa-apa, hak asasi manusia,” tuturnya.

Di ruang BK tersebut salah satu guru mengenakan jilbab ke siswi tersebut.

“Lha terus kamu kalau nggak mulai pakai hijab mau kapan pakai hijab, gitu?’ Nah itu sudah. Gurunya makein ke si anak itu. Itu kan namanya sudah pemaksaan,” tutur Yuliani mengulang pertanyaan yang dilontarkan kepada siswi ini.

Merasa terpojokkan, siswi ini minta izin ke toilet. Di dalam toilet ini, siswi tersebut menangis selama kurang lebih 1 jam.

“Izin ke toilet kok nggak masuk-masuk kan mungkin BP ketakutan terus diketok, anaknya mau bukain pintu dalam kondisi sudah lemas terus dibawa ke UKS. Dia baru dipanggilkan orangtuanya,” ucapnya.

Pada 25 Juni 2022, siswi tersebut masuk sekolah, namun ia pingsan saat upacara. Sayangnya peristiwa tersebut tak diberitahukan ke orang tuanya. Sejak saat itu, siswi tersebut terus mengurung diri di dalam kamar dan tak mau makan.

Yuliani mengaku ia sempat meminta Dinas Pendidikan Bantul agar dipertemukan dengan pihak sekolah. Saat itu dua guru BK yang datang dan keduanya tak mau bertanggung jawab.

“Seolah-olah dia mengambinghitamkan bahwa ini ada persoalan di keluarga,” ungkapnya.

Ia mengatakan faktor masalah keluarga yang dilontarkan guru tersebut tak beralasan, karena sejak lulus SMP, baru kali ini korban mendapat permasalahan karena tidak memakai jilbab.

“Aku sudah diskusi dengan dinas, anaknya jelas sudah sangat trauma ya, sampai sekarang aja belum masuk. Dia tidak mau sekolah di situ. Okelah pasti nanti kita pindah karena KPAI saya libatkan, ORI juga terlibat karena dilihat fotonya itu si anak depresi berat,” ungkapnya.

Sekolah sebut hanya tutorial

Pada Senin (1/8/2022), Kepala Sekolah SMA Banguntapan 1 Agung Istiyanto menyatakan pihaknya tidak pernah memaksa siswa untuk menggunakan jilbab.

Agung menyebut guru BK hanya sebatas memberikan tutorial menggunakan jilbab dan sudah melakukan komunikasi dengan siswi yang bersangkutan.

“Itu hanya tutorial, karena saat ditanya belum pernah pakai jilbab, lalu guru mengatakan gimana kalau kita tutorial, dijawab mengangguk (oleh siswi). Guru BK lalu mencari jilbab di ruangannya karena ada contohnya. Lalu guru ngomong kalau kita contohkan gimana? Dijawab murid enggak papa dan siswanya mengangguk boleh,” ujar Agung.

Dia membantah ada dugaan perundungan yang dilakukan oleh guru BK. “Pendidikan di sekolah kan sedikit-sedikit, sampai misalnya siswa tidak mau, kami tidak mempermasalahkan,” ucap dia.

Ia juga mengatakan jika seluruh siswi di SMAN 1 Banguntapan menggunakan jilbab baik siswi baru atau kelas 11 dan 12. “Ya kebetulan semua pakai,” pungkas dia.

Namun dari rekaman CCTV di ruangan BKm terlihat siswi yang bersangkutan hanya diam saja dan sedikit menunduk saat dikenakan jilbab oleh guru BK.

Hal tersebut disampaikan Kepala Ombudsman RI Perwakilan DI Yogyakarta Budhi Masturi pada Jumat (5/8/2022).

“Mereka sudah melihat CCTV-nya, hasil videonya dan menceritakan, mendeskripsikan, ya memang menurut mereka itu paksaan, itu ada unsur paksaannya. Karena melihat bagaimana bahasa tubuh si anak dan sebagainya, dan itu kan berhadap-hadapan dengan tiga orang dewasa dalam jarak yang dekat. Kemudian, ketika dipasangi, itu diam saja dan agak menunduk anaknya. Jadi tergambar,” ucap dia.

Ia mengatakan dari CCTV dan bukti lainnya, hal tersebut sudah memenuhi kriteria pemaksaan. “Sempat kami melihat CCTV-nya. Ditunjukkan. Tadi, kami lihat pas pemasangannya, tapi mereka punya datanya banyak. Baru melihat ini,” ucap dia.

“Ombudsman masih akan menyimpulkan, tapi CCTV atau cerita yang disampaikan oleh Irjen tadi menambah evidence kami untuk menyimpulkan ada atau tidak adanya, terjadi atau tidak terjadinya pemaksaan,” kata dia.

Kepala sekolah dan 3 guru dibebastugaskan

Terkait kasus tersebut, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengku Buwono X mengambil langkah tegas dengan menonaktifkan Kepala Sekolah dan 3 guru SMAN 1 Banguntapan.

“Kalau untuk seragam sudah, kepala sekolah 3 guru saya bebaskan dari jabatannya enggak boleh ngajar sampai ada kepastian,” ujar Sultan, Kamis (4/8/2022).

Keputusan ini diambil agar dapat menjaga semangat kebhinekaan di sekolah yang ada di DIY. Dia menambahkan, pemaksaan memakai jilbab tidak ada hubungannya dengan penilaian akreditasi sekolah. Sehingga siswi tetap diperbolehkan memakai jilbab atau tidak tanpa ada pemaksaan.

“Ya enggak ada hubungannya. Pakai jilbab boleh tapi jangan dipaksa,” kata dia.

Sultan HB X juga menyebut jika tindakan pemaksaan tersebut melanggar keputusan Menteri Pendidikan, “Saya nunggu dari rekomendasi tim, karena kebijakan itu ada unsur melanggar dari keputusan menteri pendidikan,” kata Sultan.

Sultan mengatakan, penggunaan jilbab sebagai seragam tidak bisa dipaksakan pada siswi muslim yang belum menggunakan jilbab.

“Tidak bisa memaksa, jadi harapan saya ya kan yang salah bukan anaknya yang salah kebijakan itu melanggar,” katanya.

Sultan juga memberikan komentar terkait siswi yang diberi pilihan untuk pindah sekolah. “Kenapa yang pindah anaknya, yang harus ditindak itu guru atau kepala sekolah yang memang memaksa itu. Itu pendapat saya,” ujar Sultan.

Siswi yang dipindahkan ke sekolah lain tidak akan menyelesaikan masalah, karena seharusnya yang diselesaikan adalah persoalan pemaksaan memakai jilbab.

“Malah yang dikorbankan anaknya suruh dipindah, persoalan bukan di situ, persoalan salahnya sekolah itu. Jadi, harus ditindak, saya enggak mau pelanggaran-pelanggaran seperti itu didiamkan,” ujar Sultan.

Sang ibu angkat suara

HA, ibu dari siswi yang bersangkutan buka suara. Ia bercerita putrinya menelepon sambil menangis saat di sekolah.

“Anak saya menelepon, tanpa suara, hanya terdengar tangisan. Setelahnya baru terbaca WhatsApp, Mama aku mau pulang, aku enggak mau di sini,” ujarnya melalui keterangan tertulis yang diterima, Kamis (4/8/2022).

HA pun menyusul sang anak ke sekolah setelah ditelpon ayah putrinya yang memberitahu anaknya berada di kamar mandi lebih dari satu jam.

“Saya menemukan anak saya di Unit Kesehatan Sekolah dalam kondisi lemas. Dia hanya memeluk saya, tanpa berkata satu patah kata pun. Hanya air mata yang mewakili perasaannya,” ungkapnya.

Menurut HA, anaknya bercerita jika di sekolahnya ‘diwajibkan’ menggunakan jilbab, baju lengan panjang dan rok panjang.

“Dia terus-menerus dipertanyakan, “Kenapa tidak mau pakai jilbab?” katanya.

Menurut HA dalam ruang Bimbingan Penyuluhan, seorang guru menaruh sepotong jilbab di kepala anaknya.

“Ini bukan ‘tutorial jilbab’ karena anak saya tak pernah minta diberi tutorial. Ini adalah pemaksaan,” tegasnya.

“Saya seorang perempuan, yang kebetulan memakai jilbab, tapi saya menghargai keputusan dan prinsip anak saya. Saya berpendapat setiap perempuan berhak menentukan model pakaiannya sendiri,” lanjut dia.

Ia mengatakan anaknya mengalami trauma dan harus mendapatkan pendampingan dari psikolog.

“Saya ingin sekolah SMAN 1 Banguntapan, Pemerintah Yogyakarta, serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bertanggung jawab. Kembalikan anak saya seperti sediakala,” ujar dia.

Bahkan, menurut HA, para guru menuduh putrinya memiliki masalah keluarga, padahal permasalahan ini bukanlah bersumber dari keluarga.

“Beberapa guru menuduh putri saya punya masalah keluarga. Ini bukan masalah keluarga. Banyak orang punya tantangan masing-masing. Guru-guru yang merundung mengancam anak saya, saya ingin bertanya, ‘Punya masalah apa Anda di keluarga sampai anak saya jadi sasaran? Bersediakah bila kalian saya tanya balik seperti ini?,” pungkasnya.

(Victor A)

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.