Hidup ini adalah sebuah realitas yang dinamis, bukan sebuah kediam-diaman tanpa makna. Hidup ini mencakupi segalanya. Hidup mesti bergerak, bertindak. Hidup mesti bersuara: menyuarakan isi hati yang tak bisa disuarakan oleh pihak-pihak lain termasuk oleh partai politik atau mereka yang telah diambil sumpah sebagai wakil rakyat.
Ya, bersuara keras, lantang, bersuara lirih; menyuarakan suara-suara dari mereka yang tak mampu lagi bersuara.
Hidup berarti juga membaca, mempelajari sejarah masa lalu. Hidup juga menulis. Menuliskan segala sesuatu yang kita alami, yang kita lihat dan rasakan, yang tidak bisa masuk di media cetak, elektronik, ataupun media sosial.
Hidup adalah merawat luka, duka, dan berbagai penyakit. Hidup tak bisa berdiam diri terhadap mereka yang didera derita, derita kemanusiaan yang lahir dari abad ke abad; mereka yang dihabisi karakternya, mereka yang mengalami semacam genocide, mereka yang terusir dari lokus mereka karena berbeda paham keagamaan, mereka yang dihujani pelor-pelor teror, mereka yang tercabut dari akar kultural-sosiologis karena masalah etnik dan primordial, mereka yang menjadi korban perang.
Baca juga:
Dalam arti spesifik, karena alasan keamanan, dunia yang damai, memerangi terorisme, menyelamatkan benda dan situs keagamaan dari serangan terorisme, hidup juga adalah sikap memerangi kelompok yang tak berkeadaban, mengajak dan mempertobatkan mereka untuk kembali ke jalan lurus yang berbasis agama.
Hidup adalah sesuatu yang komprehensif, simultan, dan menyeluruh, yang terus bergerak hingga tiba di terminal penghabisan.
Hidup rumit dan complicated itu mesti dihargai dan diapresiasi, karena hidup itu dianugerahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Jangan dilihat sulit dan rumitnya sebuah kehidupan, tetapi sadari benar bahwa hidup adalah anugerah yang amat besar dari Tuhan Yang Mahakasih.
Baca juga:
Kita semua harus menjalani hidup ini dengan penuh tanggung jawab. Manusia adalah ”makhluk yang ditanggungi jawaban”. Manusia yang melarikan diri dari tanggung jawab adalah manusia yang menyangkal hakikat kediriannya sebagai manusia.
Dalam hidup yang rumit, pelik, dan mahaluas ini, kita harus menjadi manusia petarung, sosok yang dengan gagah berani berusaha keras melawan berbagai hambatan dan ”musuh” dalam kehidupan kita.
Sikap manusia yang bagai petarung, tak mudah menyerah, akan melahirkan kita sebagai pemenang dalam kehidupan ini. Itulah saat terindah dalam kehidupan, saat kita menjadi ”pemenang”.
Apalagi, jika kemenangan kita diperoleh melalui perjuangan dan prosedur yang baku, bukan karena faktor-faktor negatif, pasti lebih indah lagi.
Baca juga:
Ketum PGI Kecam Keras Upaya Erdogan Jadikan Hagia Sophia Sebagai Masjid
Faktor mahapenting dalam sebuah kehidupan adalah faktor spiritualitas, agama. Dalam hal ini, ajaran agama harus menjadi roh/ruh/ruach dalam perjalanan kita menapaki kehidupan yang Tuhan sediakan. Kita tidak sekadar beragama secara formal, bukan sekadar agama kita tercantum dalam KTP, tetapi beragama secara praksis/fungsional.
Artinya, keberagamaan kita bisa diverifikasi dalam kehidupan nyata, kehidupan sehari-sehari di luar waktu pelaksanaan ibadah kita. Ajaran agama tidak hanya kita tahu dan hafal, tetapi harus terinternalisasi dalam kedirian kita.
Kita mesti beragama secara konsisten dan kafah (’sempurna; keseluruhan’). Sebagai warga dari bangsa yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, tidak bisa tidak kita, adalah warga yang beragama.
Baca juga:
Menarik kisah tentang Voltaire, seorang yang menyatakan dirinya ateis. Suatu saat Voltaire menyaksikan matahari terbit ditemani sahabat dekatnya. Tatkala memandang matahari yang terbit di atas horizon di pagi cerah itu, ia tak bisa menyembunyikan kekagumannya. Ia berseru: ”Oh, Tuhan! Aku memuji-Mu!”
Sahabat kentalnya amat terkejut mendengar ungkapan Voltaire itu. Voltaire yang ateis tak bisa terpenjara pada keateisannya. Ia secara spontan mengungkapkan pujian yang kontennya sebenarnya paradoksal dengan hakikat dirinya yang ateis.
Karya Tuhan yang besar, yang tiada pernah tertandingi, sejatinya memang harus mengantar seseorang untuk percaya kepada Tuhan.
Baca juga:
Apakah SINODE GODANG HKBP Digelar Secara VIRTUAL? Ini Jawaban Sekjen HKBP Pdt David F Sibuea
Pepatah kita mengingatkan hal yang amat penting dalam kehidupan. Menang, menghancurkan, dan memaafkan adalah hal yang bisa dan biasa terjadi dalam episode kehidupan kita. Kita harus melakukannya dalam tanggung jawab sebagai manusia.
Menang dari kuasa kegelapan, menghancurkan kezaliman dalam berbagai bentuk, dan saling memaafkan adalah sesuatu yang mesti dilakukan dalam kehidupan yang kompleks ini.
Saling memaafkan adalah sesuatu yang khas manusia, namun memaafkan tidak berarti menafikan proses-proses hukum yang mesti ditempuh jika hal itu membawa kebaikan.
Baca juga:
Kita juga terbuka untuk memaafkan orang-orang yang dicatut namanya atau ditipu untuk ikut dalam kerumunan deklarasi, kita memaafkan siapapun yang menghujat kita karena ia perlu uang untuk kelangsungan periuknya, dan sebagainya, dan sebagainya.
Hidup saling memaafkan itu indah, dan sangat indah.
(Oleh: Weinata Sairin)
Be the first to comment