KEMERDEKAAN YANG MEMERDEKAKAN

setiap kali kemerdekaan ini datang menjamah sejarah, seberkas tanya selalu mengemuka: Apakah kita sebagai bangsa sudah benar-benar merdeka? Apakah tiap-tiap warga negara sudah mengenyam makna kemerdekaan?

KEMERDEKAAN YANG MEMERDEKAKAN
KEMERDEKAAN YANG MEMERDEKAKAN

Ya Allah, ya Tuhan kami
Di hari kemerdekaan negeri kami
Kami memohon kepada-MU ya Allah
Ilhamilah kami untuk menyadari dan mensyukuri
Dengan benar rahmat agung anugerah-Mu
Nikmat kemerdekaan kami.

Berilah kepada kami dan pemimpin-pemimpin kami
Kecerdasan memahami arti kemerdekaan yang benar
Berpuluh tahun kami dijajah oleh kebodohan kami
Berpuluh tahun kami dijajah oleh bangsa asing
dan bangsa sendiri

Dan kini setelah merasa merdeka kami mulai dijajah
Oleh nafsu dan kedengkian kami sendiri
Ya Allah, ya Tuhan kami
Jajahlah kami, jajahlah kami oleh-Mu sendiri
Merdekakanlah kami
Jangan biarkan selain-MU, termasuk diri-diri kami
Ikut menjajah kami….

(Petikan dari “Doa Kemerdekaan”, A.Mustofa Bisri)



Kemerdekaan, kebebasan, kondisi tidak terbelenggu dan tidak terpenjara, siapa yang tidak merindukannya? Semua orang, siapapun dia, begitu menginginkannya. Oleh sebab itu, kemerdekaan diperjuangankan, bahkan hingga titik darah penghabisan.

Peringatan hari kemerdekaan selalu disambut dengan sukacita. Di era non Corona, HUT Proklamasi diramaikan dengan pembacaan puisi, lomba panjat pinang, ada upacara, ada remisi, ada layar tancap di kampung-kampung, ada merah-putih tertancap di depan rumah; ya, ada seberkas sukacita yang diekspresikan oleh setiap warga bangsa.

Namun, setiap kali kemerdekaan ini datang menjamah sejarah, seberkas tanya selalu mengemuka: Apakah kita sebagai bangsa sudah benar-benar merdeka? Apakah tiap-tiap warga negara sudah mengenyam makna kemerdekaan?


Baca juga:

REFLEKSI ALKITAB: DIALAH JURU SELAMAT!

Mustofa Bisri dalam puisinya “Doa Kemerdekaan” yang sebagian dikutip di atas menyatakan kemerdekaan belum sepenuhnya dinikmati oleh warga bangsa; kemerdekaan belum seutuhnya memerdekakan. “Kami mulai dijajah oleh nafsu dan kedengkian kami sendiri,” kata Bisri.

Sebab itu, dalam puisinya itu ia memohon kepada Tuhan agar manusia tidak dijajah dan diperbudak oleh diri sendiri, oleh dengki dan nafsu yang muncul dari diri sendiri, tetapi biarlah dijajah oleh Tuhan, dikuasai dan dikendalikan oleh Tuhan.

Kemerdekaan, oleh sebab itu, amat menghargai kebersamaan, kebersatuan, kemerataan, solidaritas, dan hidup senasib sepenanggungan. Suatu kehidupan yang diskriminatif, sentralistik, primordial, otoriter, yang mengakomodasi serta memberi ruang hanya satu golongan dalam masyarakat, bertentangan secara diametral dengan nilai-nilai dasar dan kemerdekaan itu sendiri.


Baca juga:

REFLEKSI ALKITAB, MENAMPILKAN KEKRISTENAN ELEGAN

Para pendiri negara kita sejak awal dengan sangat tajam mencermati adanya bahaya yang dapat mengancam persatuan dan kesatuan bangsa, apabila hal-hal yang diskriminatif mendapat tempat dalam kehidupan bangsa kita yang amat majemuk.

Tindakan para pendiri negara kita tanggal 18 Agustus 1945 yang berani meniadakan hal-hal yang diskriminatif dalam suatu sistem perundang-undangan yang mengatur kehidupan secara nasional, merupakan aktualisasi sikap kenegarawanan yang arif dan antisipatif.

Sikap kenegarawanan seperti itu perlu diteruskan dalam kurun waktu mendatang, ketika bangsa kita menghidupi kemerdekaan pada era yang baru.


Baca juga

Refleksi Natal 2018, DR John Palinggi: 365 Kali Injil Katakan ‘Jangan Takut’

Kemerdekaan benar-benar kemerdekaan jika ia memberi tempat yang layak bagi rakyat, yaitu ketika kemerdekaan itu adalah sebuah ruang yang di dalamnya diwujudkan secara konsisten pembangunan yang berorientasi pada kepentingan rakyat banyak.

Ketika rakyat hanya menjadi tumbal, ketika rakyat tak lebih dari sekadar ornamen yang selalu dijadikan “atas nama”, ketika rakyat makin tersuruk dan terpuruk, ketika rakyat selalu tersingkir dan tersungkur, ketika rakyat makin terempas dan terkandas, ketika rakyat tidak lagi memiliki haknya yang sejati, maka sesungguhnya kita belum benar-benar merdeka, tetapi baru seolah-olah merdeka. Kemerdekaan belum sepenuhnya memerdekakan.

Kemerdekaan adalah anugerah Allah, tidak jatuh dari langit, dan telah banyak menelan korban. Sebab itu, ia harus dihidupi dengan penuh tanggung jawab. Agama-agama harus diingatkn terus agar memotivasi warga bangsa agar mereka memberi kontribusi terbaik bagi bangsa dan negara.


Baca juga:

Ketum PGI Kecam Keras Upaya Erdogan Jadikan Hagia Sophia Sebagai Masjid

Para tokoh agama harus berani menjadi pionir dan teladan dalam menghidupi kemerdekaan secara benar. Sebagai bagian padu dari bangsa, umat beragama harus berani terus-menerus menjalankan perannya secara positif, kreatif, kritis,realistis dan transformatif dalam kehidupan bangsa sebagaimana telah dilakukannya pada masa-masa lampau.

Agama-agama harus menjadi nabi bagi zamannya, tidak apatis, bisu, dan membutakan diri terhadap realitas sejarah. Oleh karena itu, agama-agama tidak boleh teralienasi dari kekinian dunia. Ia harus menjadi garam, terang, bagi komunitas di sekitar dirinya.

NKRI yang majemuk yang memberi ruang bagi agama-agama tidak boleh mengerdilkan diri mengarah ke negara agama, negara yang dibangun berdasarkan ajaran satu agama. NKRI harus benar-benar menjadi negara Pancasila yang real, konkret dan seutuhnya,sebagaimana yang sudah di tetapkan the founding fathers dimasa lalu.


Baca juga:

Ketum DPP GAMKI 2007-2011, Dating Palembangan: TITIK NOL MENUJU TATANAN KEHIDUPAN BARU, NEW NORMAL

Seiring dengan itu, agama-agama harus bergandeng tangan menerjemahkan Pancasila dalam kehidupan konkret. Pancasila harus menjadi nafas dan roh dalam kedirian manusia Indonesia. Cerdas sekali ungkapan Bisri : kita baru merdeka seutuhnya, jika Tuhan menjajah kita. Jika kuasa Tuhan memasuki kehidupan kita, kita akan merdeka! Merdeka!

Selamat Berjuang. God Bless!

(Oleh: Weinata Sairin)

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.