Ombudsman DIY Buka Hasil Investigasi, Ternyata Guru SMAN 1 Banguntapan Merundung dan Memaksa Siswinya Berjilbab

Pemaksaan Jilbab
Ombudsman RI DIY

OnlineKristen.com | Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Daerah Istimewa Yogyakarta (ORI DIY) menyampaikan hasil akhir pemeriksaan dugaan pemaksaan berjilbab di SMAN 1 Banguntapan, Bantul pada Jumat (12/8/2022) sore.

ORI DIY sebelumnya telah meminta keterangan kepala sekolah dan guru SMAN 1 Banguntapan terkait dugaan pemaksaan ini. Selain itu, rekaman CCTV ikut menjadi komponen penting dalam mengungkap dugaan pelanggaran tersebut.

Ketua ORI DIY Budhi Masturi mengatakan pemakaian jilbab kepada korban berinisial SP dianggap sebagai sebuah pemaksaan.

“Tindakan koordinator guru BK memakaikan jilbab kepada SP di ruang BK yang disaksikan dan dibantu guru BK kelas X IPS III dan wali kelas pada 20 Juli 2022 adalah bentuk pemaksaan,” kata Budhi seperti dilansir dari JPPN.com, Sabtu (13/8/2022).

Budhi menyebut faktor tersebut membuat runtuhnya harga diri korban. “Secara psikologis telah memenuhi kategori sebagai tindakan perundungan, ini kami dapat dari penjelasan psikolog” jelasnya.

Baca juga: SETARA: Jangan Ada Pemaksaan Jilbab, Terapkan Protokol Kebhinekaan di Sekolah Negeri





Pemaksaan dan perundungan terhadap korban, lanjutnya, terkonfirmasi dari hasil asesment psikolog KPAI Kota Yogyakarta.

“Ditemukan unsur pemaksaan ditandai dengan reaksi tubuh korban, baik fisik maupun psikis. Penyebab utama reaksi yang dialami korban adalah kejadian-kejadian selama di sekolah, bukan di rumah,” jelasnya.

Budhi pun menegaskan bahwa hal ini tidak berkaitan sama sekali dengan persoalan di rumah korban. Lebih lanjut, Budhi mengungkap kejadian ini juga berkaitan dengan relasi antara guru dan murid.

“Hal ini dapat dilihat dari rekaman CCTV yang menggambarkan ketidakberdayaan si anak akibat relasi kuasa ketika korban dipakaikan jilbab. Walaupun ia mengatakan ia dan mengangguk, tetapi selanjutnya hanya terdiam,” ungkap Budhi.

Setelah itu, lanjutnya, korban tampak menyeka sesuatu seakan sedang menangis. Tak berselang lama, seorang guru memeluk seperti sedang menenangkan korban.

Baca juga: Kasus Pemaksaan Jilbab di SMAN 1 Banguntapan Berakhir, Siswi Pindah Sekolah





“Kemudian kami mengonfirmasi kejadian tersebut kepada anaknya lewat orang tua. Hasil konfirmasinya adalah benar saat itu dia menangis,” ungkapnya.

Budhi melanjutkan, tindakan guru SMAN 1 Banguntapan itu membuat tubuh korban mengalami penurunan pada pectoralis major clavicularis di lambung.

Menurutnya, hal ini menandakan kondisi tertekan yang dialami korban. Selain itu, reaksi tubuh korban secara psikis juga dijelaskan dalam proses asesment tersebut yang mengonfirmasi bahwa terjadinya penurunan di empat wilayah psikis emosi.

“Dengan demikian tindakan terhadap korban di sekolah sebagaimana dikeluhkan terutama saat pemakaian jilbab oleh koordinator BK dkk telah menyebabkan dirinya mengalami tekanan psikologis merupakan kekerasan terhadap anak,” ujarnya.

ORI DIY menyebut hal tersebut sesuai dengan Pasal 1 angka 15a Undang-undang 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.




Budhi menambahkan kekerasan psikis yang patut diduga selama MPLS dan menjadi rangkaian yang tidak terpisahkan dari kejadian pemakaian jilbab juga insiden pengurungan korban di toilet merupakan tanggung jawab seorang kepala SMAN 1 Banguntapan.

“Sebab menurut Pasal 38 Perda 15 Tahun 2016, kepala sekolah bertanggung jawab atas perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi kegiatan pengenalan lingkungan sekolah bagi siswa baru,” tegasnya.

Kronologi

Dilansir dari Kompas, Kasus dugaan pemaksaan penggunaan jilbab kepada siswi di SMAN 1 Banguntapan Bantul, Yogyakarta bergulir di akhir Juli 2022.

Sang siswi yang berusia 16 tahun itu disebut depresi hingga mengurung diri di dalam kamarnya diduga karena dipaksa menggunakan jilbab.

Pendamping siswi, Yuliani bercerita jika sang siswi sempat mengikuti Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) dan ia tidak menggunakan jilbab. Ia juga masuk seperti biasa di hari pertama sekolah yakni pada 18 Juli 2022.




Namun 19 Juli 2022, ia dipanggil ke ruangan Bimbingan dan Konseling (BK) dan ditanya alasan tak mengenakan jilbab.

“Menurut WA di saya ini, anak itu dipanggil dan diinterogasi tiga guru BP, bunyinya itu kenapa nggak pakai hijab?. Dia sudah terus terang belum mau,” ucap Yuliani saat ditemui di kantor Ombudsman Perwakilan Yogyakarta, Jumat (29/7/2022).

Masih menurut Yuliani, siswi tersebut merasa dipojokkan karena terus ditanya terkait alasannya tak mengenak jilbab.

“Bapaknya udah membelikan hijab tapi dia belum mau. Itu kan enggak apa-apa, hak asasi manusia,” tuturnya.

Di ruang BK tersebut salah satu guru mengenakan jilbab ke siswi tersebut.

“Lha terus kamu kalau nggak mulai pakai hijab mau kapan pakai hijab, gitu?’ Nah itu sudah. Gurunya makein ke si anak itu. Itu kan namanya sudah pemaksaan,” tutur Yuliani mengulang pertanyaan yang dilontarkan kepada siswi ini.




Merasa terpojokkan, siswi ini minta izin ke toilet. Di dalam toilet ini, siswi tersebut menangis selama kurang lebih 1 jam.

“Izin ke toilet kok nggak masuk-masuk kan mungkin BP ketakutan terus diketok, anaknya mau bukain pintu dalam kondisi sudah lemas terus dibawa ke UKS. Dia baru dipanggilkan orangtuanya,” ucapnya.

Pada 25 Juni 2022, siswi tersebut masuk sekolah, namun ia pingsan saat upacara. Sayangnya peristiwa tersebut tak diberitahukan ke orang tuanya. Sejak saat itu, siswi tersebut terus mengurung diri di dalam kamar dan tak mau makan.

Yuliani mengaku ia sempat meminta Dinas Pendidikan Bantul agar dipertemukan dengan pihak sekolah. Saat itu dua guru BK yang datang dan keduanya tak mau bertanggung jawab.

“Seolah-olah dia mengambinghitamkan bahwa ini ada persoalan di keluarga,” ungkapnya.

Ia mengatakan faktor masalah keluarga yang dilontarkan guru tersebut tak beralasan, karena sejak lulus SMP, baru kali ini korban mendapat permasalahan karena tidak memakai jilbab.




“Aku sudah diskusi dengan dinas, anaknya jelas sudah sangat trauma ya, sampai sekarang aja belum masuk. Dia tidak mau sekolah di situ. Okelah pasti nanti kita pindah karena KPAI saya libatkan, ORI juga terlibat karena dilihat fotonya itu si anak depresi berat,” ungkapnya.

Sekolah sebut hanya tutorial

Pada Senin (1/8/2022), Kepala Sekolah SMA Banguntapan 1 Agung Istiyanto menyatakan pihaknya tidak pernah memaksa siswa untuk menggunakan jilbab.

Agung menyebut guru BK hanya sebatas memberikan tutorial menggunakan jilbab dan sudah melakukan komunikasi dengan siswi yang bersangkutan.

“Itu hanya tutorial, karena saat ditanya belum pernah pakai jilbab, lalu guru mengatakan gimana kalau kita tutorial, dijawab mengangguk (oleh siswi). Guru BK lalu mencari jilbab di ruangannya karena ada contohnya. Lalu guru ngomong kalau kita contohkan gimana? Dijawab murid enggak papa dan siswanya mengangguk boleh,” ujar Agung.

Dia membantah ada dugaan perundungan yang dilakukan oleh guru BK. “Pendidikan di sekolah kan sedikit-sedikit, sampai misalnya siswa tidak mau, kami tidak mempermasalahkan,” ucap dia.




Ia juga mengatakan jika seluruh siswi di SMAN 1 Banguntapan menggunakan jilbab baik siswi baru atau kelas 11 dan 12. “Ya kebetulan semua pakai,” pungkas dia.

Namun dari rekaman CCTV di ruangan BKm terlihat siswi yang bersangkutan hanya diam saja dan sedikit menunduk saat dikenakan jilbab oleh guru BK.

Hal tersebut disampaikan Kepala Ombudsman RI Perwakilan DI Yogyakarta Budhi Masturi pada Jumat (5/8/2022).

“Mereka sudah melihat CCTV-nya, hasil videonya dan menceritakan, mendeskripsikan, ya memang menurut mereka itu paksaan, itu ada unsur paksaannya. Karena melihat bagaimana bahasa tubuh si anak dan sebagainya, dan itu kan berhadap-hadapan dengan tiga orang dewasa dalam jarak yang dekat. Kemudian, ketika dipasangi, itu diam saja dan agak menunduk anaknya. Jadi tergambar,” ucap dia.

Ia mengatakan dari CCTV dan bukti lainnya, hal tersebut sudah memenuhi kriteria pemaksaan. “Sempat kami melihat CCTV-nya. Ditunjukkan. Tadi, kami lihat pas pemasangannya, tapi mereka punya datanya banyak. Baru melihat ini,” ucap dia.




“Ombudsman masih akan menyimpulkan, tapi CCTV atau cerita yang disampaikan oleh Irjen tadi menambah evidence kami untuk menyimpulkan ada atau tidak adanya, terjadi atau tidak terjadinya pemaksaan,” kata dia.

Kepala sekolah dan 3 guru dibebastugaskan

Terkait kasus tersebut, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengku Buwono X mengambil langkah tegas dengan menonaktifkan Kepala Sekolah dan 3 guru SMAN 1 Banguntapan.

“Kalau untuk seragam sudah, kepala sekolah 3 guru saya bebaskan dari jabatannya enggak boleh ngajar sampai ada kepastian,” ujar Sultan, Kamis (4/8/2022).

Keputusan ini diambil agar dapat menjaga semangat kebhinekaan di sekolah yang ada di DIY. Dia menambahkan, pemaksaan memakai jilbab tidak ada hubungannya dengan penilaian akreditasi sekolah. Sehingga siswi tetap diperbolehkan memakai jilbab atau tidak tanpa ada pemaksaan.

“Ya enggak ada hubungannya. Pakai jilbab boleh tapi jangan dipaksa,” kata dia.

Sultan HB X juga menyebut jika tindakan pemaksaan tersebut melanggar keputusan Menteri Pendidikan, “Saya nunggu dari rekomendasi tim, karena kebijakan itu ada unsur melanggar dari keputusan menteri pendidikan,” kata Sultan.




Sultan mengatakan, penggunaan jilbab sebagai seragam tidak bisa dipaksakan pada siswi muslim yang belum menggunakan jilbab.

“Tidak bisa memaksa, jadi harapan saya ya kan yang salah bukan anaknya yang salah kebijakan itu melanggar,” katanya.

Sultan juga memberikan komentar terkait siswi yang diberi pilihan untuk pindah sekolah. “Kenapa yang pindah anaknya, yang harus ditindak itu guru atau kepala sekolah yang memang memaksa itu. Itu pendapat saya,” ujar Sultan.

Siswi yang dipindahkan ke sekolah lain tidak akan menyelesaikan masalah, karena seharusnya yang diselesaikan adalah persoalan pemaksaan memakai jilbab.

“Malah yang dikorbankan anaknya suruh dipindah, persoalan bukan di situ, persoalan salahnya sekolah itu. Jadi, harus ditindak, saya enggak mau pelanggaran-pelanggaran seperti itu didiamkan,” ujar Sultan.




Sang ibu angkat suara

HA, ibu dari siswi yang bersangkutan buka suara. Ia bercerita putrinya menelepon sambil menangis saat di sekolah.

“Anak saya menelepon, tanpa suara, hanya terdengar tangisan. Setelahnya baru terbaca WhatsApp, Mama aku mau pulang, aku enggak mau di sini,” ujarnya melalui keterangan tertulis yang diterima, Kamis (4/8/2022).

HA pun menyusul sang anak ke sekolah setelah ditelpon ayah putrinya yang memberitahu anaknya berada di kamar mandi lebih dari satu jam.

“Saya menemukan anak saya di Unit Kesehatan Sekolah dalam kondisi lemas. Dia hanya memeluk saya, tanpa berkata satu patah kata pun. Hanya air mata yang mewakili perasaannya,” ungkapnya.

Menurut HA, anaknya bercerita jika di sekolahnya ‘diwajibkan’ menggunakan jilbab, baju lengan panjang dan rok panjang.




“Dia terus-menerus dipertanyakan, “Kenapa tidak mau pakai jilbab?” katanya.

Menurut HA dalam ruang Bimbingan Penyuluhan, seorang guru menaruh sepotong jilbab di kepala anaknya.

“Ini bukan ‘tutorial jilbab’ karena anak saya tak pernah minta diberi tutorial. Ini adalah pemaksaan,” tegasnya.

“Saya seorang perempuan, yang kebetulan memakai jilbab, tapi saya menghargai keputusan dan prinsip anak saya. Saya berpendapat setiap perempuan berhak menentukan model pakaiannya sendiri,” lanjut dia.

Ia mengatakan anaknya mengalami trauma dan harus mendapatkan pendampingan dari psikolog.

“Saya ingin sekolah SMAN 1 Banguntapan, Pemerintah Yogyakarta, serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bertanggung jawab. Kembalikan anak saya seperti sediakala,” ujar dia.




Bahkan, menurut HA, para guru menuduh putrinya memiliki masalah keluarga, padahal permasalahan ini bukanlah bersumber dari keluarga.

“Beberapa guru menuduh putri saya punya masalah keluarga. Ini bukan masalah keluarga. Banyak orang punya tantangan masing-masing. Guru-guru yang merundung mengancam anak saya, saya ingin bertanya, ‘Punya masalah apa Anda di keluarga sampai anak saya jadi sasaran? Bersediakah bila kalian saya tanya balik seperti ini?,” pungkasnya.

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.