JAKARTA- Dies Natalis Ke-51 dan Perayaan Natal Persatuan Inteligensia Kristen Indonesia (PIKI) berlangsung hikmat di Gedung Pertemuan GPBI Effatha, Melawai, Kebayoran, Jakarta, Jumat, 19 Desember 2014. Acara ini dijadikan momen bagi para pengurus PIKI untuk mengkonsolidasikan diri guna menggelar Kongres PIKI yang rencananya diadakan pada bulan Maret atau April 2015.
Meski diguyur hujan, kaum inteligensia Kristen tetap menghadiri ibadah Syukur Natal dan Dies Natalis PIKI ke-51 dengan tema “Berubahlah oleh Pembaruan Budimu” dan subtema “Introspeksi, revitalisasi, dan konsistensi wawasan kebangsaan demi harmoni dan kejayaan Indonesia Raya.”
Usai ibadah dilanjutkan perayaan Dies Natalis PIKI Ke-51 yang ditandai dengan pemotongan nasi tumpeng.
Prof DR Muchtar Pakpahan menyampaikan orasi ilmiah bertajuk “Revolusi mental berdasarkan Pancasila mewujudkan pemimpin yang berintegritas.”
Revolusi mental di kekristenan, menurut Muchtar, acapkali dikaitkan dengan Yeremia 1:10 yakni “Ketahuilah, pada hari ini Aku mengangkat engkau atas bangsa-bangsa dan atas kerajaan-kerajaan untuk mencabut dan merobohkan, untuk membinasakan dan meruntuhkan, untuk membangun dan menanam.”
Salah satu hal krusial problem bangsa ini, kata dia, adalah minimnya pemimpin yang punya integritas. Pemimpin yang dimaksud tidak hanya presiden atau gubernur.
Akan tetapi juga pemimpin mulai dari, antara lain, lurah, camat, danramil, kapolsek, walikota, sekda, dandim, kapolres, kajari dan ketua pengadilan negeri.
Muchtar berharap PIKI kedepan mampu membentuk tim kajian yang bebas dari kepentingan pragmatis dan politis sehingga kajian itu murni dan orang akan mendengar serta segan untuk melaksanakannya.
Kebenaran Sejati
Ketua Umum DPP Cornelius D Ronowidjojo menyampaikan pidato Dies Natalis PIKI ke-51 yang bertajuk : “Kebenaran Sejati” yang dikutip dari Kitab Amsal 11:19.
Menurut Cornelius, kata kebenaran diterakan 305 kali dalam Alkitab menunjukkan betapa kebenaran merupakan substansi baku dalam kehidupan umat manusia.
Khusus Amsal 11:19 “Siapa yang berpegang pada kebenaran yang sejati, menuju hidup, tetapi siapa mengejar kejahatan, menuju kematian”, memberikan penegasan bahwa kebenaran sejati adalah harga yang harus dibayar oleh anak-anak Tuhan, bahkan seluruh ciptaanNya sarwa sekalian alam.
Hal ini menjadi muskil tatkala dunia dipenuhi oleh dekadensi sebagaimana terdapat dalam Mikha 7:3, tatkala manusia berhegomoni dengan dusta, kebohongan, manipulasi dan penghianatan, bahkan menyembah hedonisme.
Takkala kebenaran hanya sebatas citra dan seremoni, maka kebenaran sejati seakan sirna oleh kebenaran semu yang lebih bergincu, semarak dan memikat hati.
“Kita dituntut untuk tidak serupa dengan dunia, yakni tetap setia dengan kebenaran sejati, apapun situasi dan waktunya, karena roh dan kebenaran asasi itulah yang menjadi tanda-tanda kehidupan orang-orang percaya (Yoh 4:23),” ujar dia.
Menurut Cornelius, kebenaran sejati dalam tatanan kehidupan kebangsaan adalah tatkala Pancasila secara murni dan konsekuen menjadi Dasar Negara.
Dalam rentang sekurangnya satu dasawarsa terakhir, jelas dia, Pancasila hilang bahkan dari sekadar konsideran dalam sistem peraturan perundangan pada strata nasional maupun lokal; hilang dari praktek-praktek kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan, tergantikan oleh nilai-nilai yang lebih bersifat sektarian, chauvinistis dan parokial, bahkan barbarian, yang seakan mengalami set back kepada era pra purbakala.
Seakan hendak meghujat sejarah, betapa Pancasila telah melalui proses sublimasi dan kristalisasi sejak era pra peradaban itu.
Sangat tepat Letjen (Purn) Dr TB Simatupang mendeklarasikan rumusan Pembangunan Nasional Sebagai Pengamalan Pancasila (PNSPP).
“Kini amalan itu tinggal sayup-sayup lirih, kalah nyaring dengan anomali genderang dekaden itu, bahkan di antara kitapun justru ikut menari dan menjadi penabuhnya, seraya menghiasinya dengan ornamen kembang kertas demokrasi dan eforia atas nama rakyat,” ujar dia.
“Mencermati dengan seksama keutuhan UUD 1945 yang menjadi landasan konstitusional penyelenggaraan negara, ternyata tidak ditemukan satupun pasal dan ayat yang mencantumkan Pancasila sebagai Dasar Negara,” imbuh dia.
Maka tiga prinsip yang seharusnya saling mengkonfirmasi derivatif itu, lanjut Cornelius, justru mengalami stagnasi yang mewujud dalam distorsi antara jiwa Pembukaan UUD 1945 dengan batang tubuh dan implementasinya.
Dalam realitasnya acapkali ditemukan penyimpangan, manipulatif dan cenderung berselingkuh dengan faham-faham lain yang bersifat transaksional.
Realitas ini bukan merupakan suatu kebenaran, melainkan sungguh-sungguh merupakan aib yang harus segera diatasi.
“Untuk kesejatian Indonesia yang benar, maka kebenaran tentang Pancasila sebagai Dasar Negara harus diterakan dalam Pasal 1 ayat 1 UUD 1945, mendahului bentuk dan wilayah negara,” usul dia.
Menyongsong dekade Asian Free Trades yang sudah menyeruak di ruang keluarga kebangsaan, Cornelius mengajak bertanya secara kritis yakni cukup tangguhkah kita bertahan dengan nilai-nilai kebenaran Pancasila, dalam tataran ideologis maupun dalam median praxis.
“Kita berharap kebenaran Pancasila akan menjadi harga hidup matinya kebangsaan Indonesia. Namun apabila pragmatisme lebih memenangkan keberpihakan kita maka kebenaran Pancasila akan tinggal legenda,” simpul dia.
Dia juga mengomentari sebuah survey yang menyatakan bahwa penyelenggaraan negara yang Pancasilais hanya 11 persen dan masyarakat yang Pancasilais hanya 15 persen adalah betul-betul memiriskan hati.
“Bukankah kita para negarawan itu, bukankah kita kaum cendikiawan yang sering menjadi narsisius, bukankah kita kelompok elit yang sering mengkooptasi peradaban itu?” ucap dia.
“Kini di depan kita menantang pilihan, bertahan dalam kebenaran yang pasti pahit dan penuh cemooh atau justru kita berhegemoni dengan roh jaman yang cenderung pragmatis itu,” tambah dia.
Tantangan itu, lanjut dia, mesti dijawab dengan bijak secara visioner sekaligus kontekstual yang memijak bumi.
Kaum cerdik pandai, menurut dia, harus menjadi suluh dan menjadi lilin pencerahan yang siap berkorban untuk secercah harapan untuk bersinarnya kebenaran sejati.
“Layaknya lilin natal, yang tidak bermegah pada diri sendiri, tetapi rela hancur luluh demi seberkas sinar kebenaran,” kata dia.
Kita harus menghadapi era kejayaan dekadensi dengan mengkonsolidasikan diri pada tingkat solidaritas primer, namun disisi lain kita harus melakukan kerjasama jejaring kristiani maupun jejaring lintas iman.
“Kebersamaan itu tidak cukup dalam semarak ritus dan seremoni, tetapi harus teruji dalam medan pelayanan ditengah masyarakat, bangsa dan negara,” tandas dia.***
Be the first to comment