Ketum PIKI: MENJAGA INDONESIA DENGAN MERAWAT PANCASILA

Ketum PIKI: MENJAGA INDONESIA DENGAN MERAWAT PANCASILA

Jakarta, ONLINEKRISTEN.COM – Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Persatuan Inteligensia Kristen Indonesia (PIKI) Bakti Nendra Prawiro, MSc., MH mengatakan dalam menjaga keutuhan dan kelangsungan Indonesia, tidak lain dan tidak bukan adalah dengan merawat Pancasila.

Dikatakan Bakti, bahwa Indonesia akan hancur bila sikap intoleran meningkat. Untuk mencegah hal itu, kata Bakti, maka tidak lain dan tidak bukan dengan mengembalikan Pancasila pada posisi seharusnya.

“Kalau mau merawat Indonesia maka harus merawat Pancasila. Itu mutlak dan sudah terbukti. Selama ini, tidak seperti negara Uni Soviet dan Yugoslavia, Indonesia bisa bertahan tak terpecah karena Pancasila,” tandasnya.


Bakti mengungkapkan, bahwa saat ini PIKI sedang menyiapkan sejumlah gagasan pemikiran yang akan dijadikan sebagai sumbangan pemikiran intelektual Kristen untuk masa depan Indonesia.

“Ada empat aspek yang saat ini tengah kami (PIKI) soroti terkait pengamalan Pancasila untuk merawat ke-Indonesiaan kita,” ungkapnya usai acara diskusi refleksi Awal Tahun yang diselenggarakan PIKI di Aula BKKBN Halim, Jakarta Timur, Sabtu (11/02/2017).

Adapun keempat aspek yang tengah disoroti yakni; aspek ekonomi, hukum, politik dan pendidikan. Menurut Bakti, PIKI telah melakukan kajian melalui berbagai forum diskusi terkait keempat aspek tersebut, seperti saat diskusi refleksi akhir tahun 2016 yang diselenggarakan di kampus UKI, tentang reformasi hukum di Indonesia.


“Sejak era reformasi jenjang hukum di Indonesia semakin tidak jelas, kabur dari Pancasila yang merupakan sumber dari segala sumber hukum. Harusnya Pancasila berada di atas lalu UUD’45, Tap MPR (dahulu), UU lalu Peraturan,” kata putra mantan Menteri Keuangan era Presiden Soeharto, Radius Prawiro ini.

Dari aspek hukum, lanjut dia, secara khusus PIKI menyoroti keberadaan perda-perda yang berbau syariah.

“Perda-perda yang tak sesuai dengan Pancasila harusnya tidak pernah ada. Kemendagri memang sudah mencabut sejumlah perda yang berbau syariah atau agama. Selain itu banyak produk undang-undang yang dihasilkan DPR juga tidak sejalan dengan Pancasila,” jelasnya.


Dalam kesempatan itu Bakti menekankan untuk mengembalikan posisi Pancasila dalam penyelenggaraan negara dan kehidupan berbangsa.

“Pancasila itu pondasi, falsafah hidup bangsa bukan bagian dari empat pilar. UUD’45, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI berada di bawah Pancasila,” tegasnya.

Dari aspek ekonomi, PIKI berpandangan bahwa Pancasila sebagai sumber kebijakan ekonomi yakni Adil makmur. Pemerintahan pimpinan Presiden Joko Widodo saat ini, kata Bakti, jalur kebijakan ekonominya dimulai dari Pancasila lalu ke UUD’45, Tri Sakti dan terakhir Nawacita.


Sedangkan dari aspek pendidikan, lanjut dia, pendidikan budi pekerti di sekolah-sekolah atau kampus, saat ini, menurutnya sudah tidak lagi diletakkan pada kurikulum Pancasila tetapi pada kurikulum mata pelajaran agama.

“Ketika pendidikan budi pekerti ditekankan pada ilmu agama dengan menghilangkan kurikulum Pancasila, di situ muncul benih intoleransi,” tukasnya.

Saat ini, lanjut Bakti, Dirjen Dikti Kementerian Pendidikan sedang mempersiapkan kurikulum pendidikan Agama dari seluruh agama di Indonesia. Untuk itu PIKI, kata dia, akan mengajukan class action ke Dirjen Dikti.


“Kita ingin lihat dan juga memberikan tawaran dari hasil kajian kita, sejauh mana keberadaan kurikulum agama dapat memberikan pendidikan budi pekerti dalam konteks kebangsaan,” tuturnya.

Sejalan dengan Bakti, Rektor Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Prof, DR, John Titaley, PhD mengatakan, sejak agama masuk ke dalam kurikulum pendidikan di Indonesia, sejak di situlah dimulai jurang pemahaman perbedaan (fanatisme).

“Sejak usia anak, di Indonesia dididik bukan dengan budi pekerti sebagai berbangsa. Bukan dengan Pancasila tetapi dengan agama. Di situlah nilai kebangsaan menjadi semu,” ungkap John dalam paparannya sebagai pembicara di diskusi refleksi awal tahun PIKI tersebut.


Menurut John, selama ini hanya ada dua orang yang Indonesia sejati, yakni Presiden Soekarno dan Presiden KH Abdurahman Wahid (Gus Dur). Umat kristiani sendiri, lanjut John, belum sepenuhnya memahami Pancasila dalam ke-Indonesiaannya.

“Umat Kristen sendiri belum bisa menerima adanya perbedaan aliran dalam kristen. Selain itu, saat umat lain, anak bangsa ini yang sangat minoritas seperti aliran Kejawen, Kesundanan, dan kepercayaan kearifan lokal mengalami diskriminasi, umat kristen terlihat tidak peduli, tidak membela mereka,” jelasnya.

Dalam kesempatan itu juga, John menyoroti aspek politik di Indonesia yang menurutnya, Indonesia belum cocok disebut sebagai Negara demokrasi. Hal itu, menurut dia, karena masih ada partai politik di Indonesia yang berbasis agama.


“Dalam demokrasi tidak mengenal partai agama. Inilah yang membuat nilai-nilai intoleran hidup subur di Indonesia. Partai agama seringkali menyerukan perbedaan bukan ke-Indonesiaan, dengan melarang warga memilih pemimpin yang tidak se-agama,” ungkapnya.

(AGUS)

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.