OnlineKristen.com | Dalam kehidupan sehari-hari, kata ”bahagia” atau ”kebahagiaan” acap kita dengar. Pada acara pernikahan, para tamu senantiasa menyampaikan ucapan ”selamat menempuh hidup baru; semoga
berbahagia” kepada kedua mempelai.
Tentu saja kata ”bahagia” memiliki definisi yang agak beragam. Ada orang yang memberi definisi atas kebahagiaan ketika ia telah dapat memenuhi kewajibannya kepada istri dan anak-anaknya secara penuh.
Ia telah memberi nafkah bagi keluarga dengan berkecukupan. Ia telah menyekolahkan anak-anaknya ke lembaga pendidikan terbaik di kotanya. Saat itulah sebagai suami dan ayah ia merasakan kebahagiaan yang sempurna.
Baca juga
Kamus Besar Bahasa Indonesia memberi banyak arti terhadap kata ”bahagia”. ”Bahagia” dimaknai sebagai ’keadaan atau perasaan senang dan tenteram (bebas dari segala yang menyusahkan)’; ’beruntung’; ’berbahagia’.
Jadi, kebahagiaan dikaitkan dengan kesenangan, keberuntungan, ketenteraman hidup, kemujuran, kenikmatan, dan kepuasan. Namun, harus dicatat bahwa istilah ”bahagia” atau ”kebahagiaan” lebih banyak dipergunakan dalam konteks relasi lelaki dan perempuan, relasi suami-istri dalam institusi pernikahan.
Itulah sebabnya orang berbicara tentang pernikahan yang bahagia atau rumah tangga yang bahagia.
Ada perbedaan pemaknaan tentang ”bahagia” jika dilihat dari perspektif seorang pedagang, komposer, novelis, filsuf, politisi, dan psikolog.
Baca juga:
DR John N Palinggi: Reshuffle Kabinet, Itu Hak Prerogatif Presiden Jokowi
Menarik untuk menghayati resep seorang Goethe dalam mencapai kebahagiaan. Ia menyatakan bahwa untuk mencapai kebahagiaan minimal ada tiga hal yang perlu dilakukan.
Pertama, seorang harus cukup berdoa untuk mengakui segala dosa dan meninggalkan dosa. Kedua, cukup memiliki cinta agar dirinya tergerak untuk berguna dan bermanfaat bagi orang lain.
Ketiga, meyakini keberadaan Tuhan. Seligman, seorang profesor psikologi, menyatakan tiga hal yang mesti dilakukan oleh seseorang untuk mengalami kebahagiaan.
Baca juga:
Ketum PGI Kecam Keras Upaya Erdogan Jadikan Hagia Sophia Sebagai Masjid
Pertama, have a pleasant life. Seseorang harus memiliki hidup yang menyenangkan. Kedua, have a good life. Terlibatlah dalam pekerjaan, enjoy dalam pekerjaan. Ketiga, have a meaningful life (life of contribution).
Hidup dalam semangat melayani, hidup yang bermakna. Goethe dan Seligman membantu membuka horizon pemikiran dan cakrawala pandang kita untuk memahami makna kata ”bahagia” dan
bagaimana mencapainya.
”Bahagia” memang sangat relatif. Seorang X menyatakan bahwa ia sudah berada pada tingkat berbahagia. Namun, seorang Y menyatakan bahwa pada tahap seperti itu ia belum mencapai
kebahagiaan sejati.
Baca juga:
Tuhan Siapkan Gereja Masa Depan Melalui Momentum Doa “TahtaNya 24/40”
Bahagia memang sangat relatif. Walaupun demikian, tetap ada sebuah standar yang berlaku umum.
Apa yang dinyatakan Dalai Lama dalam pepatah yang dikutip di bagian awal tulisan ini cukup menarik. Kebahagiaan itu bukan sebuah barang jadi, kata Dalai Lama.
Kebahagiaan itu datang dari tindakan kita sendiri, dari upaya kita sendiri. Kebahagiaan tidak jatuh dari langit. Marilah dengan doa dan kerja keras kita berusaha untuk mencapai kebahagiaan dalam hidup.
Bagi umat beragama, ukuran kebahagiaan kita terletak pada kesetiaan kita dalam menjalani perintah agama. Kita bahagia jika kita tetap berjalan pada jalan lurus, jalan yang telah di tetapkan Tuhan.
Baca juga:
Kampus UKI Buka Dapur Umum KOINONIA Untuk Mahasiswa Ditengah Pandemi Covid-19
Kebahagiaan sama sekali tidak tergantung pada harta, uang, jabatan tinggi, atau hal-hal duniawi lainnya. Kebahagiaan dengan ukuran-ukuran duniawi hanya mendorong hasrat berkorupsi, melakukan perdagangan orang, menipu masyarakat dengan arisan atau perusahaan bodong, membobol bank, cyber crime dan sebagainya.
Kebahagiaan itu terwujud jika setiap orang melakukan metanoia(Yun. bertobat), tobat nasuha, hidup memberlakukan perintah Allah, hingga maut menjemput.
Selamat Berjuang. God Bless!
(Oleh: Weinata Sairin)
Be the first to comment