ONLINEKRISTEN.COM, Sekitar tahun 1931 dan 1932 gerakan keluar dari Indische Kerk semakin meluas dan semakin hangat dibicarakan dikalangan masyarakat. Gerakan ini semakin kuat karena pemerintah tidak mau melepaskan gereja dari Negara dan akan mengambil alih kembali NZG pada tahun 1930.
Dalam kondisi seperti itu Komisi Reorganisasi (Komisi XII) dibentuk Ds De Vreede tepat melaksanakan tugas. Pada tahun 1932 Komisi XII memutuskan mengangkat GSSJ Ratulangi, R Tumbelaka dan Mr. AA Maramis, sebagai wakil masyarakat untuk memperjuangkan kepada pemerintah kolonial Belanda di Batavia berdirinya gereja otonom di Minahasa.
Pada bulan Agustus 1932 Perserikatan Pangkal Setia mengundang Majelis Gereja Manado dan lain-lain mengadakan rapat besar di Kuranga Tomohon dengan keputusan:
Pertama, membentuk Gereja Minahasa berdiri sendiri, dengan pemimpin orang Minahasa.
Kedua, dibentuk Panitia Kerapatan Gereja Protestan Minahasa. Panitia ini bertugas untuk persiapan berdirinya gereja otonom dengan sembilan anggota: Ketua Josef Jacobus (Ketua Pengadilan Negeri Manado), wakil ketua Zacharias Talumepa (pensiunan Inlands Leraren Bond), Sekretaris B.W Lapian (Pangkal Setia). Anggota-anggota: A Kandou (pensiunan School Opziener), B Warouw (pensiunan Hoof Opziener), E Sumampouw (pensiunan guru Manadosche School), A.E Tumbel (pensiunan guru Manadosche School), P.A Ratulangi (pensiunan Kepala Distrik) dan J.L Tambajong (pensiunan Kepala Distrik).
Pada 11 Maret 1933 bertempat di Sicieteit Harmoni (sekarang Bank BNI 1946) yang dulunya dikenal dengan jalan Juliana Lau kemudian jalan Hatta, berkumpullah 75 orang tokoh gereja dan tokoh masyarakat seperti: JU Mangowal, Hacobus, FE Kumontoy, dr C Singa], dr AB Andu, Z Talumepa, NB Pandean, BW Lapian, RC Pesik dan lain-lain.
Mereka bertemu dengan CSSJ Ratulangi yang memimpin pertemuan. Pertemuan itu membicarakan pemisahan gereja dan Negara dan tuntutan untuk segera mendirikan Gereja Protestan Minahasa.
Sam Ratulangi hasil sidang di Volksraad. Meski belum mendapat restu dari pemerintah Belanda untuk mendirikan gereja berdiri sendiri, namun para peserta telah sepakat mendirikan gereja otonom. Dengan memilih Joseph Jacobus menjadi formatur tunggal sebagai ketua badan dan membentuk pengurusnya
Hasil ini diminta disampaikan oleh Sam Ratulangi pada sidang Volksraad berikut. Pertemuan ini sempat heboh setelah diberitakan dalam media melalui Mingguan Pikiran Pangkal Setia, Keng Hwa Poo, Menara, Pewarta dan media lain.
Pertemuan dilanjutkan seminggu kemudian yakni 18 Maret 1933 di rumah Joseph Jacobus di Tikala Manado. Pertemuan ini tidak lagi dihadiri oleh Sam Ratulangi, Mr AA Maramis dan Tumbelaka karena mereka telah kembali ke Batavia. Pada pertemuann ini berhasil ditetapkan Badan Pengurus Organisasi Gereja dan nama pengurus organisasi gereja.
Susunan Pengurus Badan Organisasi itu adalah, Ketua: Joseph Jacobus, Wakil Ketua: Zacharias Talumepa, Sekretaris: BW Lapian, Bendahara: AK Kandou. Pembantu-pembantu: B Warouw, E Sumampouw, PA Ratulangi, EA Tumbel dan IL Tambajong. Badan Penggembalaan terdiri dari: Zacharias Talumepa, H Sinaulan dan NB Pandean. Badan Penasihat: GSSJ Ratulangi, AB Andu, Ch Singal dan A Mononutu. Badan Pendamping terdiri dari: JU Mangowal, AM Pangkey dan HM Pesik. Nama organisasi yang disepakati waktu itu adalah: Kerapatan Gereja Protestan Mihasa disingkat KGPM.
Pada tanggal 21 April 1933 atas dorongan Sam Ratulangi diadakan pertemuan yang dikenal dengan nama Kongres Rakyat di Gemeente Bioskoop Manado (dikenal dengan gedung Manguni, Balai Pertemuan Umum atau sekarang Hotel Plaza Manado).
Pertemuan ini dihadiri kurang lebih 70 orang dari latar belakang politik yang berbeda, termasuk para pendeta, penolong Injil syamas, tokoh Indische Kerk Minahasa dan Badan Pengurus KGPM. Ikut juga 12 organisasi yakni: Pangkal Setia (1915), PIKAT (1917), Partai Nasional Indonesia (1927), Persatuan Minahasa (1927), Inlandsch Leraren Bond (1928), Permufakatan Kaum (1930), Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), Partai Indonesia Raya, Partai Indonesia, Partai Bangsa Indonesia, Manangkung Nusa dan Persatuan Pakasaan.
Pertemuan ini sempat menimbulkan sikap pro dan kontra. Kongres Rakyat bersama Badan Pengurus KGPM diprotes oleh Ds De Vreede dan dia meminta agar itu dibubarkan, termasuk Badan Pengurus KGPM. Bahkan 12 organisasi yang hadir dipanggil dan diperiksa Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangganya. Akibat upaya itu sempat menghambat upaya pembentukan KGPM karena merasa tidak mendapat dukungan politik dan harus bubar karena tidak ada AD dan ART. Tapi Pangkal Setia akhirnya menjadi KGPM di bawah lindungannya. Makanya, KGPM menggunakan Peraturan Gereja dari Pangkal Setia.
Jemaat Mula mula KGPM
Setelah peristiwa 23 April 1933 yang berbuntut pada larangan yang dilakukan pemerintah Belanda, tapi tertolong oleh karena KGPM masuk dalam organisasi binaan Pangkal Setia, keinginan untuk mendirikan gereja otonom semakin kuat.
Malahan Pangkal Setia sejak 8 Juni 1933 memulai pertumbuhannnya dengan tetap melaksanakan ibadah setiap hari Minggu dan hari-hari biasa. lbadah masih dilaksanakan di rumah rumah.
Sewaktu-waktu dilaksanakan juga kebaktian Padang seperti di Wawonasa bertempat di kebun NB Pandean.
Sementara itu, pada beberapa jemaat Indische Kerk di Minahasa mulai terjadi perselisihan perselisihan atau masalah masalah lain yang mendorong jemaat untuk mencari jalan keluar seperti yang terjadi di desa Tetey dan desa Wakan.
Akibatnya banyak jemaat yang meminta agar Badan Pengurus KGPM bisa menyelesaikan masalah yang mereka hadapi. Tapi Ketua Badan Pengurus KGPM Joseph Jacobus tetap pada pendiriaannya menunggu keputusan dari Batavia.
Namun pendiriannya ini berubah ketika datang utusan dari desa Wakan yang meminta perlindungan pada KGPM. Untuk memenuhi keinginan warga desa Wakan Joseph Jacobus tidak bisa karena menderita sakit, sehingga dia menugaskan Sekretaris Badan Pengurus KGPM BW Lapian untuk menunggu desa Wakan.
Namun BW Lapian meminta mandat sebagai ketua untuk mengunjungi Wakan. Permintaan itu dipenuhi oleh Joseph Jacobus. Kepergian BW Lapian tidak terikat pada keputusan mau bekerjasama dengan Indische Kerk.
Sehingga setelah melalui pertimbangan bahwa tidak kesepakatan dari rencana semula dan melihat gelagat Belanda yang tidak peduli selama 6 bulan (pasca pertemuan 21 April 1933), maka pada tanggal 29 Oktober 1933 dia memproklamirkan KGPM sebagai gereja merdeka dan otonom dengan jemaat Wakan sebagai jemaat mula-mula dan lepas dari ikatan dengan Indische Kerk.
Sejak itulah KGPM akhimya resmi berdiri sebagai gereja otonom di Minahasa sebagaimana yang dicita-citakan sejak tahun 1800-an oleh Lambertus Mangindaan.
Pertumbuhan dan Perkembangan KGPM
Pemerintah Belanda dengan tegas menyatakan perlawanan terhadap kebangkitan KGPM. Pasca pertemuan 21 April 1933 Belanda terus meningkatkan pengawasan. Tindakan-tindakan tegas akhimya dilakukan setelah diproklamirkannya KGPM yang ditandai dengan diterimanya sidang jemaat Wakan sebagai anggota gereja KGPM yang pertama. Karena itu pihak Belanda terus berupaya untuk menghambat pertumbuhan dan perkembangan KGPM.
Namun demikian, peristiwa di Wakan disambut positif rakyat di Minahasa. Tak heran meski berada di bawah tekanan, dalam kurun waktu 3 tahun (1933~ 1936) jumlah sidang jemaat di KGPM sudah mencapai 72 sidang.
Pemerintah Belanda melalui De Vreede terus melakukan penghambatan yang dilakukannya adalah dengan mengeluarkan pengumuman bahwa KGPM bukanlah gereja yang sah sehingga surat pemandian yang dikeluarkan tidak sah.
Surat permandian dijadikan alat karena pemerintah Belanda ketika itu untuk mengeluarkan Kartu Tanda Penduduk harus mengikutsertakan surat permandian juga akte kelahiran.
Tidak itu saja, perkawinan di KGPM dinyatakan tidak sah. Selain itu, pihak Belanda juga melakukan siasat adu domba antar jemaat di Minahasa dengan melalui propaganda.
Di samping itu pula, ketika Gubernur Jenderal Belanda mengunjungi Minahasa pada tahun 1934 dia membawa persetujuan Ratu Belanda untuk mendirikan Gereja Masehi Injili Minahasa (GMIM) pada 30 September 1934 dengan alasan memenuhi permintaan rakyat Minahasa untuk mendirikan gereja otonom di Minahasa.
Di kalangan petinggi KGPM melihat ‘sikap baik’ itu hanyalah untuk menghambat perkembangan KGPM dengan cara mengadudomba sesama masyarakat Minahasa.
Setelah sidang Wakan secara berturut-turut muncul 5 sidang pelopor yakni, Sidang Karimbow (5 November 1933), Sidang Tompasobaru (12 November 1933), Sidang Tetey (19 November 1933), Sidang Kawangkoan (7 Januari 1934) dan sidang Wuwuk (7 Juli 1934).
[embedyt] https://www.youtube.com/embed?listType=playlist&list=UUryBoCTh7J3LTAvg9TfpeIw&layout=gallery[/embedyt]
Be the first to comment