Tahun pertama Dewan Pimpinan Pusat Persatuan Inteligensia Kristen Indonesia (DPP PIKI) masa bakti 2015-2020 akan melakukan konsolidasi. Kuncinya terletak pada institusional building yakni konsolidasi dari pusat hingga ke daerah, konsolidasi pengurus pusat, konslidasi manajemen pengurus pusat dengan badan-badan penopangnya.
“Kita akan berkonsentrasi membangun kerjasama atau minimal menggunakan jalur komunikasi dengan ketiga kategori tadi. Pertama, dengan organisasi keumatan yang senafas. Kedua, organisasi cendikiawan. Ketiga, kampus-kampus atau rektor-rektor. Dari situlah PIKI akan menggali hal-hal yang dapat mempertajam pergumulan berkenaan isu-isu yang berkembang di masyarakat, baik dalam konteks kebangsaan maupun dalam konteks gereja,” kata Ketua Umum DPP PIKI masa bakti 2015-2020, Baktinendra Prawiro, di Plaza Gedung Aminta, Jakarta, Selasa, 21 April 2015.
Baktinendra Prawiro terpilih menjadi ketua umum DPP PIKI masa bakti 2015-2020 dalam Kongres V PIKI pada tanggal 26-28 Maret 2015 di Hotel Merlyn Park Hotel, Jakarta. Dalam forum kongres tersebut, Baktinendra Prawiro menunjuk Audi Wuisang menjadi Sekretaris Jenderal DPP PIKI.
Bakti, demikian dia akrab disapa, menambahkan berencana akan membuat website.
Tahun kedua, lanjut dia, seluruh DPD PIKI juga diharapkan mampu melakukan hal serupa.
Bakti mengemukakan PIKI bukanlah satu kendaraan yang mana ketika dia belok maka semuanya juga belok.
“Tapi berpikirlah manakala DPP PIKI hendak berbelok maka kita harus perhatikan juga kesiapan di daerah (DPD PIKI),” jelas dia.
Karena itu, lanjut dia, dalam tahun pertama diharapkan agar Wakil Ketua Umum Imanuel Blegur dan Ketua Bidang Organisasi dan Kelembagaan, Ir David Payung MSi bisa menggaet semua DPD, DPC untuk mulai menyesuaikan visi dan misi yang sebetulnya bukan hal yang baru, namun tak tertangani maksimal pada waktu yang lalu.
“Kami ingin mengembalikan kepada penekanan itu. Jadi, tidak berhenti pada struktur namun juga kepada isi,” tegas dia.
Secara kebijakan organisasi, menurut Bakti, pimpinan organisasi menjadi efektif apabila terjadi institusional building di organisasi dan ada muatan program kajian yang bisa dikembangkan dan lahir sehingga organisasi menjadi nyata.
Bakti yakin dalam waktu satu bulan kedepan struktur DPP PIKI akan rampung, kecuali dewan pakar yang bisa terus bertambah.
Dalam rangka merekrut dewan pakar, Ia mengaku sudah membuat pool nama “Sahabat PIKI” yang berasal dari beragam profesi.
“Dari pool ini, kami berharap mereka punya atensi terhadap PIKI. Lalu dari situlah kita cari pakar mana yang tepat, mulai dari Papua hingga Aceh bahkan ke luar negeri,” terang dia.
Bakti mengakui tentang dirinya tergabung dalam Partai Gerindra. Baginya berpartai itu bukanlah hal yang baru. Sebelumnya dia juga pernah masuk dalam Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) sampai tahun 2013.
Menurutnya, setelah melakukan survei, khususnya partai politik yang bukan berbasis agama, keliatannya basis ideologi parpol hampir sama semua. Cuma ada penekanan disana-sini sedikit saja. Pun, orang lebih berpeluang masuk partai politik oleh karena dia kenal siapa dan diajak siapa.
Dalam abad post ideologi, Bakti berpendapat yang bertahan justru organisasi seperti PIKI oleh karena ideologinya bukan ideologi sekular tapi sesuatu yang punya akar pada Injil.
“Organisasi semacam GMKI, GAMKI dan PIKI tentunya tidak bisa diseret kepada partai politik tertentu oleh karena organisasi ini punya karakter tertentu. Misalnya, PIKI itu bukan gereja tapi punya karakter seperti gereja. Jadi, enggak bisa dibawa ke kanan dan ke kiri,” tegas dia.
Kendati begitu, lanjut dia, tidak bisa juga membatasi keangggotan pengurusnya berasal dari salah satu parpol tertentu.
Pun, melarang orang berpartai politik itu juga tidak boleh lantaran hal itu merupakan hak asasi setiap manusia.
Selama lima tahun PIKI vakum, menurut Bakti, PIKI memerlukan rebranding melalui institutional building agar tampil kembali ke permukaan.
Bila institutional building ini berhasil maka seluruh anggota dan pengurus PIKI akan ada pride dalam melayani ketika dia tampil di jemaat dan masyarakat sehingga PIKI makin dikenal luas.
Selain memperkuat image, juga PIKI menekankan pentingnya output intelektual.
Misalnya, adakah tulisan intelektual yang muncul, adakah program yang dia lahirkan dan adakah training yang dia buat.
Kalau itu bisa diwujudkan, Bakti yakin gereja dan masyarakat akan mengenal PIKI. Beda halnya kalau PIKI tampil ketika hari Natal saja.
Bakti mengutarakan salah satu core bisnis PIKI adalah penelitian. Dan penelitian yang dimaksud bukan seperti orang buat skiripsi atau disertasi. Namun penelitian itu kelak bersifat aplikatif.
Kendati demikian, lanjut dia, tidak semua hasil penelitian bisa dijadikan training program.
Bakti mencontohkan penelitian yang bersifat aplikatif yaitu penelitian dalam konteks yang terbatas, misalnya, meneliti tingkat kemiskinan di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, yang hasilnya kemudian di share kepada pemerintah daerah.
Bisa juga, tambah dia, meneliti persoalan aset gereja yang nanti ditangani oleh Ketua Bidang Hukum DPP PIKI Astro Girsang SH, yang salah satu programnya adalah pembenahan aset gereja.
Dan jika diteliti secara serius maka mungkin masih banyak ditemukan gereja-gereja yang bermasalah terkait soal aset tersebut.
Jadi, simpul dia, dari penelitian tadi akan lahir program dan training yang dilakukan baik dari aspek hukum dan aspek lainnya agar aset itu kembali menjadi milik gereja jika hasil penelitian membuktikan bahwa memang aset itu adalah milik gereja.
Bakti mendefinisikan inteligensia adalah orang yang terdidik, terinformasi dan punya perhatian terhadap perkembangan lingkungan sekitarnya.
Melihat keadaan itu, seorang inteligensia bergumul dengan hal-hal yang dia amati dan melahirkan suatu tindakan.
Jadi, seorang inteligensia tidak berhenti kepada intelektual games atau kajian semata.
Ketika ditanya apakah PIKI akan bersuara lantang terkait persoalan isu HAM, Bakti menjawab untuk menanggapi isu HAM harus well inform, indepth, ilmiah, terverifikasi dan merujuk pada kebenaran. Jadi, bukan asal keras.***(VICTOR)
Be the first to comment