VOLUNTAS HABETUR PRO FACTO: “KEMAUAN ITU BARU DIPERHITUNGKAN KARENA (ADA) PERBUATAN”

VOLUNTAS HABETUR PRO FACTO: "KEMAUAN ITU BARU DIPERHITUNGKAN KARENA (ADA) PERBUATAN"

ONLINEKRISTEN.COM, JAKARTA – Kata “kemauan” itu sudah amat akrab di telinga kita. Kata mau, kemauan, dimaui acap menjadi kata yang mudah meluncur menghiasi kalimat-kalimat yang kita ucapkan.

Di zaman baheula di Sekolah Rakjat Bapak/Ibu Guru memberi hafalan peribahasa yang berbunyi “Dimana ada kemauan, disitu ada jalan”.

Peribahasa ini ingin mendorong seseorang, minimal peserta didik, untuk terus berusaha, berupaya dalam mewujudkan cita-cita. Tidak boleh dicekam rasa putus asa. Kemauan, keinginan, harus terus dipelihara, ditumbuhkan dan jika itu ada maka akan terbuka jalan.

Bapak Guru atau Ibu Guru biasanya pada saat itu mengumandangkan peribahasa itu bagi para peserta didik yang nilai raportnya rendah dan kelihatan agak berputus-asa.


Para Guru melakukan dialog, pendekatan pribadi, ‘percakapan pastoral’ kepada mereka dengan mengacu dan mengelaborasi isi peribahasa itu.

Menurut KBBI kemauan sebagai nomina/kata benda berarti “yang dimaui, keinginan, kehendak”. Terkadang dalam penggunaan sehari-hari kata ‘kamauan’ agak bernuansa negatif. Misalnya pada kalimat “Ia rajin datang ke pertemuan itu karena ada maunya.”

Jadi seseorang aktif itu karena punya maksud tertentu! Dalam perspektif psikologis “kemauan” adalah dorongan kehendak yang terarah kepada tujuan hidup tertentu dan dikendalikan oleh pertimbangan akal budi.


Didalam “kemauan” ada kebijaksanaan, akal dan wawasan selain kontrol dan persetujuan dari pusat kepribadian.

Oleh kemauan timbullah dinamika.dan aktivitas manusia yang diarahkan pada pencapaian tujuan hidup tertentu. Kemauan paling tidak dipengaruhi oleh faktor : fisik, materi/bahan, psikis, intelektual, lingkungan, kata hati (conscienci). Faktor-faktor itu amat berpengaruh dan menentukan dalam mewujudkan kemauan.

Kemauan mestinya juga mengalir dari pikiran jernih, berbasis nilai agama, moral dan komitmen kebangsaan yang telah kita sepakati bersama sebagai bangsa yang majemuk. Dalam konteks ini maka ‘kemauan’ itu selalu memiliki makna positif dan tidak menyimpang dari hal-hal standar yang selama ini menguasai kedirian kita.


Kemauan untuk berkorupsi secara kolektif misalnya, kemauan untuk menghujat agama orang lain, kemauan untuk mengubah dasar dan sistem kenegaraan kita dan kemauan-kemauan lainnya yang negatif yang merugikan kepentingan umum, melawan hukum, bertentangan dengan ajaran agama adalah kemauan yang tidak boleh diberi ruang baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan kita memasyarakat, membangsa dan menegara.

Agama-agama di Indonesia telah memberikan panduan yang amat jelas bagaimana manusia sebagai ciptaan Allah yang mulia menampilkan diri sebagai sosok yang memproduk kebaikan bagi sesama dan bagi seluruh ciptaan.

Manusia harus berprilaku positif mulai dari niat baik (nawaitu) sampai ia mewujudkan perbuatannya dalam kehidupan.


Lengkap dan paripurna tuntunan yang telah disiapkan agama bagi umat manusia. Ambivalensi dan inkonsistensi manusia yang menyebabkan perintah agama itu masih tergolek pada ranah tekstual dan belum dieksekusi pada ranah operasional.

Pepatah yang dikutip diawal bagian ini menegaskan bahwa kemauan itu baru diperhitungkan jika telah mewujud dalam tindakan. Jika kemauan itu berada pada ranah imajinasi, angan-angan, iklim yang ‘platonist’ ya belum bisa diperhitungkan.

Mari kita inisiasi kemauan yang positif dalam kehidupan kita di negeri yang majemuk ini. Dan sesudah ada kemauan positif mari kita wujudkan dalam tindak nyata!


Selamat berjuang. God bless.

Weinata Sairin

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.