Home / NASIONAL / Darurat Intoleransi, GMKI Jakarta Melawan! Desak Kemenag Cabut Regulasi Pendirian Rumah Ibadah PBM No.9 dan 8 Tahun 2006

Darurat Intoleransi, GMKI Jakarta Melawan! Desak Kemenag Cabut Regulasi Pendirian Rumah Ibadah PBM No.9 dan 8 Tahun 2006

gmki jakarta

OnlineKristen.com – Aroma kemarahan masih tercium samar di Lapangan Banteng, menyisakan jejak aksi demonstrasi yang dilakukan puluhan aktivis Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Jakarta sehari sebelumnya, Rabu (16/7/2025).

Tuntutan mereka lugas yaitu Menteri Agama harus dicopot, Dirjen Bimas Kristen harus bertindak, dan praktik intoleransi agama yang kian merebak harus dihentikan.

Namun, di balik seruan lantang di jalanan, Kementerian Agama (Kemenag) memilih jalur diplomasi meja bundar.

Kamis (17/7/2025), Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Kemenag, Muhammad Adib Abdushomad, menyambut perwakilan GMKI Jakarta.


Baca juga: Gereja, Masyarakat, dan Aktivis Bersatu dalam Aksi Nyata Selamatkan Danau Toba dan Serukan Tutup TPL

gmki jakarta berdialog dengan kementerian agama
Kepala Biro HKP Ahmad Fauzin (Kiri), Kepala Pusat PKUB Muhammad Adib Abdushomad (Tengah), Sekretaris Ditjen Bimas Kristen Johni Tilaar (Tengah), dan Sekretaris Ditjen Bimas Katolik Reginaldus Sely. (Foto: Dok/Kemenag – Firman)

Pertemuan yang diklaim sebagai bentuk “keterbukaan” ini menjadi panggung bagi Kemenag untuk menjawab aspirasi yang sebelumnya diteriakkan di tengah panasnya demonstrasi.

Pertanyaan yang muncul kemudian: apakah respons ini sungguh sebuah solusi, atau hanya sekadar retorika menenangkan badai?

PBM 2006, Dalih Usang, Regulasi Baru yang Mengambang

Salah satu tuntutan utama GMKI Jakarta adalah pencabutan Peraturan Bersama Menteri (PBM) No. 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan FKUB, dan Pendirian Rumah Ibadah.

Regulasi yang sudah berusia hampir dua dekade ini disinyalir menjadi biang keladi di balik sulitnya pendirian rumah ibadah minoritas dan maraknya tindakan intoleransi.


Baca juga: Lia Laurent, Mengukir Sukses di Ladang Sawit, Menyemai Iman di Hati Manusia

Namun, Adib dengan sigap menepis tuntutan pencabutan tersebut. Ia bersikeras bahwa PBM 2006 masih “ideal,” seolah-olah realitas di lapangan yang menunjukkan pelanggaran kebebasan beragama tidak cukup menjadi bukti kegagalannya.

Alih-alih mencabut, Kemenag justru berencana menaikkan level PBM ini menjadi Peraturan Presiden (Perpres). Sebuah langkah maju, katanya, namun dengan detail yang masih mengambang.

Dalam draf Perpres yang tengah disusun, Adib menjanjikan dua hal baru yang menarik perhatian yakni pembentukan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Nasional dan penghapusan rekomendasi FKUB untuk pendirian rumah ibadah.

Janji ini sontak memantik pertanyaan yaitu jika FKUB tidak lagi menjadi penentu izin rumah ibadah, apakah ini berarti negara akhirnya mengambil alih peran yang selama ini seringkali menjadi celah diskriminasi? Atau justru membuka pintu bagi intervensi pemerintah yang lebih besar?


Baca juga: GAMKI–PBNU Bahas Retret yang Dibubarkan & IMB Gereja, Indonesia Butuh Titik Temu Pancasila

Adib menyatakan bahwa tujuan perubahan ini adalah agar FKUB di daerah dapat “lebih mulia” dan fokus pada dialog, bukan lagi menjadi “penghambat.”

Sebuah narasi yang indah, tetapi belum terbukti di lapangan. Mengingat rekam jejak FKUB di beberapa daerah yang kerap menjadi alat bagi kelompok mayoritas untuk menekan minoritas, janji ini terasa seperti upaya pencitraan ketimbang solusi konkret.

Apakah FKUB Nasional akan menjadi wadah dialog yang inklusif atau sekadar simbol kerukunan tanpa gigi? Itu masih harus dilihat.

Penegakan Hukum, Saat Kemenag Cuci Tangan

Isu penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan berbasis agama, seperti yang terjadi di Cidahu, Sukabumi, juga menjadi sorotan.


Baca juga: Satu Dekade Dualisme GKSI Berakhir Damai, Nomor 64 dan Anggur Baru

Adib menyebutkan bahwa delapan orang telah ditahan dalam kasus tersebut. Namun, ia buru-buru menegaskan bahwa PKUB bukan aparat penegak hukum, melainkan bertugas mendeteksi potensi konflik.

Sebuah pernyataan yang terkesan cuci tangan, mengingat Kemenag memiliki peran strategis dalam membangun iklim toleransi dan mencegah kekerasan.

Mengandalkan Early Warning System (EWS) sebagai solusi deteksi dini konflik sosial-keagamaan terdengar futuristik, namun tidak mengatasi akar masalah intoleransi.

Tanpa penegakan hukum yang tegas dan imparsial, serta keberanian Kemenag untuk mengutuk dan menindak pelaku intoleransi, EWS hanya akan menjadi alat pencatat kejadian, bukan pencegah.


Baca juga: 75 Tahun Merajut Asa, Perjalanan MPK dalam Membentuk Generasi Berkarakter

Reformasi FKUB, Sekadar Kosmetik?

Adib juga mencoba meluruskan persepsi tentang FKUB, menegaskan bahwa forum ini dibentuk oleh tokoh agama di daerah, bukan pemerintah pusat, dan bukan “benteng mayoritas.”

Ia mengklaim bahwa FKUB adalah “wadah dialog lintas iman.” Namun, fakta di lapangan seringkali berkata lain.

Banyak kasus menunjukkan bahwa FKUB diisi oleh representasi yang tidak seimbang, seringkali didominasi kelompok mayoritas, dan keputusannya bias terhadap kepentingan minoritas.

Meskipun SK pembentukan FKUB dikeluarkan oleh Pemda, Kemenag sebagai kementerian yang bertanggung jawab atas urusan agama memiliki kapasitas dan kewenangan untuk mendorong reformasi substantif dalam tubuh FKUB.


Baca juga: GMKI Jakarta Soroti Masa Depan Jakarta sebagai Kota Global dalam KSL XXXIX

Janji “mandatori keanggotaan perempuan” dalam FKUB, meskipun patut diapresiasi, terasa seperti sentuhan kosmetik jika masalah fundamental dalam struktur dan representasi FKUB tidak diatasi.

Sebuah Episode dalam Drama Intoleransi

Aksi GMKI Jakarta dan respons Kemenag adalah sebuah episode dalam drama panjang intoleransi agama di Indonesia.

Di satu sisi, ada kemarahan mahasiswa yang merepresentasikan kegelisahan masyarakat atas janji-janji kerukunan yang tak kunjung terwujud.

Di sisi lain, ada Kemenag yang mencoba meredam gejolak dengan janji-janji reformasi yang belum teruji.


Baca juga: Duc In Altum, MPK Indonesia Perkuat Transformasi Pendidikan Kristen dengan 20 Pengurus Baru

Pertanyaan kritis yang harus diajukan adalah apakah Kemenag benar-benar berkehendak untuk menciptakan kerukunan yang sejati dan inklusif, atau hanya ingin meredakan ketegangan sesaat dengan retorika manis dan regulasi yang masih samar?

Tanpa tindakan konkret, keberanian menindak, dan komitmen nyata untuk melindungi hak-hak minoritas, janji-janji ini hanya akan menjadi gema kosong di tengah jeritan keadilan.

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses