Dua Dosen STT Ekumene Dipecat Pasca Lapor Dugaan Pemalsuan Nilai

stt ekumene
Foto bersama Dr Yohanes Parapat (Ketiga dari Kiri) dan Dr Madya Andreas Agus Wurjanto (Kedua dari Kanan) diapit oleh Kuasa Hukum masing-masing dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat, 10 Juni 2022.

OnlineKristen.com || Kasus laporan dugaan pemalsuan nilai dan tanda tangan di Sekolah Tinggi Teologi (STT) Ekumene Kelapa Gading, Jakarta Utara memasuki babak baru.

Dua dosen STT Ekumene yakni Dr Yohanes Parapat dan Dr Madya Andreas Agus Wurjanto yang melaporkan adanya dugaan pemalsuan terhadap nilai dan tanda tangan, kini malah dipecat.

Pihak STT Ekumene memberhentikan dengan hormat kedua dosen tersebut. Parapat diberhentikan melalui Surat Keputusan Yayasan Jalan Kebenaran No. 009/KET/SK/YJK/V/2022 tertanggal 28 Mei 2022. Sedangkan pemberhentian dosen Andreas melalui Surat Keputusan No. 010/KET/SK/YJK/V/2022 tertanggal 28 Mei 2022.

Baca juga: Alasan Dosen STT Ekumene ini Laporkan Mahasiswanya Atas Dugaan Pemalsuan Nilai





“Alasan yang digunakan untuk pemberhentian kami adalah untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas kinerja Sekolah Tinggi Teologi Ekumene (STT Ekumene) Jakarta, maka perlu dipertimbangkan ratio antara kebutuhan dosen tetap,” ujar Yohanes Parapat dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat (10/6/2022).

Baik Parapat maupun Andreas sepakat mengatakan, “Pemberhentian kami telah dilakukan dengan cara sewenang-wenang, tidak berdasar hukum sama sekali. Kami akan memasalahkan pemberhentian ini dengan segala akibat hukumnya. Kami akan mempertahankan seluruh hak-hak kami yang dilanggar.”

Parapat menambahkan, “Saya menduga pemberhentian saya dengan alasan efisiensi dan efektifitas hanya alasan yang dibuat-buat, sebenarnya saya diberhentikan karena telah membuat laporan polisi atas dugaan tindak pidana yang terjadi dalam tubuh STT Ekumene.”

Baca juga: Pdt DR Erastus Sabdono: Kita Harus Berjuang agar STT Tidak Produksi ‘Penyamun’





Permasalahan pemalsuan nilai dan tanda tangan ini, serta perlakuan tidak adil yang diterima oleh para dosen STT Ekumene ini, juga mendapat perhatian dari Prof Ir Yusuf Leonard Henuk, M Rur, Sc, PhD.

Prof Henuk kemudian telah berkirim surat terbuka kepada berbagai pihak. Diantaranya kepada Presiden RI, Ketua Komisi X DPR RI, Ketua Kompolnas RI, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi RI, Kapolri, Kabareskrim, Kapolda Metro Jaya, dan berbagai pihak lainnya.

Dalam suratnya Prof Henuk menyampaikan: “Sebagai pendidik senior, saya
mendukung penuh perjuangan “Pelapor”, karena sesuai kronologi kasusnya tersebut di atas, terlihat jelas bahwa “Pelapor” telah berupaya secara cerdas untuk menyelesaikan dugaan pemalsuan surat (pemalsuan nilai) dengan berupaya mengingat kepada 5 mahasiswa/i maupun pimpinan …”

Baca juga: Buat Sinode Baru, Pendeta Erastus Sabdono Resmi Keluar dari GBI





Surat terbuka Prof Henuk tertanggal 3 Juni 2022 ini akan ditindaklanjuti dengan meminta audiensi kepada seluruh penerima surat tersebut.

Para dosen mengharapkan agar pihak Polda Metro Jaya tetap tegak lurus dalam menjalankan tugasnya. Sekaligus berharap agar pihak STT Ekumene dan mahasiswa yang terlibat menghormati proses hukum yang berlangsung.

“Hukum harus diatas segalanya,” imbuh Andreas.

Dugaan Pemalsuan Nilai

Pemecatan kedua dosen STT Ekumene terjadi pasca mereka melaporkan pihak STT Ekumene atas dugaan adanya pemalsuan nilai dan tanda tangan.




Diberitakan, Yohanes Parapat tidak pernah memberikan nilai kepada lima mahasiswa, namun ternyata kelima mahasiswa tersebut tetap diluluskan.

“Padahal hak untuk memberikan nilai dan meluluskan mahasiswa adalah hak dosen,” jelas Parapat. Ia mengutip Pasal 51 angka (1) huruf (f) UU No. 14 tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen yang menyatakan, “Dosen memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan menentukan kelulusan peserta didik.”

Laporan dugaan pemalsuan nilai sudah diterima oleh Polda Metro Jaya. “Benar ada laporannya. Sementara penyidik akan mendalami laporannya.” kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes E. Zulpan. (Senin, 14 Februari 2022).




Laporan dosen Parapat teregister dengan nomor STTLP/B/6294/XII/2021/SPKT/Polda Metro Jaya tertanggal 15 Desember 2021.

Dalam laporannya itu, dia melaporkan terlapor dengan Pasal 263 KUHP soal
pemalsuan dokumen dan atau Pasal 28 ayat (6) dan ayat (7) dan atau Pasal 42 ayat (4) juncto Pasal 93 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

Menurut Parapat, laporannya tersebut sudah ditindaklanjuti oleh Polda Metro Jaya yang mengirimkan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP), yaitu No B/2299/RES 1.9/V/2022/Ditreskrimum tertanggal 24 Mei 2022.




Tertulis dalam laporan tersebut bahwa pihak Polda telah memanggil para saksi. Hambatan yang dihadapi adalah bahwa salah seorang mahasiswi yang dipanggil berhalangan karena sakit.

“Namun demikian ditemukan ternyata mahasiswi tersebut sedang liburan ke luar negeri,” jelas Parapat sambil menunjukkan bukti-bukti berupa foto-foto mahasiswi tersebut di laman Facebooknya.

Menurut Parapat, bila benar bahwa kepergian ke luar negeri dengan alasan sakit tersebut adalah kebohongan, dikhawatirkan pihak STT Ekumene dan para mahasiswa yang terlibat telah mengecilkan kewibawaan kepolisian.




“Sangat disayangkan ya, sebagai institusi pendidikan yang seharusnya memberikan contoh baik, malah melakukan kebohongan kepada pihak kepolisian,” ujarnya.

Pun Parapat sedang memikirkan upaya hukum untuk mempermasalahkan hal itu dalam suatu laporan polisi baru.

Sedangkan Pelapor atas nama Dr Madya Andreas Agus Wurjanto melaporkan pihak STT Ekumene karena diduga telah memalsukan tanda tangannya. Pemalsuan itu diduga dengan melakukan pemindaian (scan) terhadap tanda tangannya untuk dilekatkan pada dokumen kelulusan para mahasiswa.




Padahal penggunaan tanda tangan yang telah discan tersebut dilakukan tanpa izin dari dirinya sebagai pemilik tanda tangan.

“Saya tidak pernah dimintai persetujuan dengan cara apapun tuh oleh pihak STT Ekumene untuk menggunakan tanda tangan saya. Karena itu saya sangat keberatan dan melaporkan perbuatan itu kepada Polda Metro Jaya.

Laporan Andreas Agus telah dicatat di Polda Metro Jaya dengan nomor STTLP/B/1.195/11/2022/SPKT/Polda Metro Jaya tertanggal 9 Maret 2022.

Dalam laporannya itu ia melaporkan dugaan tentang adanya pelanggaran terhadap Pasal 264 KUHP tentang Pemalsuan, Pasal 28, 42, dan 93 UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.




Serta pelanggaran terhadap Pasal 3 Permenristekdikti No. 59 tahun 2018 tentang Ijazah, Sertifikat Kompetensi, Sertifikat Profesi, Gelar dan Tata Cara Penulisan Gelar di Perguruan Tinggi.

Saksi ke Luar Negeri?

Kuasa Hukum dari Yohanes Parapat, Vincent Suryadinata menyampaikan kliennya telah membuat laporan polisi di Polda Metro Jaya LP 6294 tertanggal 15 Desember 2021.
Atas laporan tersebut, mereka telah mendapatkan SP2HP ke-1 dari Polda Metro Jaya tanggal 24 Mei 2022.

“Dalam SP2HP ini disampaikan bahwa ada hambatan yang ditemui oleh penyelidik yakni adanya saksi ketika dipanggil polisi sedang dalam kondisi sakit dengan melampirkan resume medik, karenanya saksi tersebut baru bisa memberikan keterangan ke polisi pada 13 Juni 2022,” urai dia.




“Namun, berdasarkan penelusuran yang telah kami lakukan, ditemukan saksi tersebut ternyata sedang liburan atau jalan-jalan ke luar negeri, dimana sebelumnya disampaikan oleh penyelidik Polda Metro Jaya ada surat dari rumah sakit bahwa yang bersangkutan (saksi) sakit, namun ternyata yang bersangkutan sedang liburan jalan-jalan ke Turki,” tambahnya.

Menurut Vincent, ini menjadi satu fakta yang tidak terbantahkan bahwa ada dugaan saksi ini sengaja untuk tidak menghadiri panggilan dari pihak kepolisian.

“Atas dasar itulah kami juga sudah menyerahkan surat kepada Polda Metro Jaya pada tanggal 7 Juni 2022, yang intinya kami menyampaikan fakta bahwa saksi yang tidak bisa menghadiri pemeriksaan memberikan keterangan pada 23 Mei 2022 karena alasan sakit, ternyata sedang jalan-jalan,” katanya.




“Jadi, ini satu fakta yang mengejutkan, karena secara tidak langsung patut diduga saksi ini telah memberikan atau melakukan suatu kebohongan kepada pihak kepolisian,” tegas dia.

Vincent melanjutkan, hal kedua terkait dengan pemberhentian kliennya Dr Yohanes Parapat yang diberhentikan sebagai dosen tetap di STT Ekumene dengan surat tertanggal 28 Mei 2022.

“Sebelumnya, klien kami juga tidak pernah ada satu penjelasan atau perundingan atau panggilan terkait dengan alasan mengapa klien kami diberhentikan,” tuturnya.




Meski begitu, Vincent menjelaskan dalam surat pemberhentian itu tertulis alasan kliennya diberhentikan dalam rangka efisiensi di STT Ekumene dan memperhatikan rasio jumlah dosen.

“Namun klien kami, sampai hari ini tidak pernah mendapatkan suatu penjelasan apa indikator klien kami diberhentikan secara sepihak oleh STT Ekumene,” kata dia.

Sebab itu, lanjut Vincent, patut diduga ada aturan-aturan atau prosedur-prosedur yang tidak dipenuhi atau dilanggar oleh STT Ekumene.




“Kami selaku kuasa hukum dari Parapat, jika tidak mendapatkan satu penjelasan yang rinci atau tidak ada suatu itikad baik dari pihak STT Ekumene untuk menjelaskan, Klien kami juga akan menempuh satu jalur hukum untuk mendapatkan satu penjelasan dan kejelasan statusnya mengapa klien kami ini diberhentikan secara sepihak oleh STT Ekumene,” tandasnya. (*)

(Ambarita)

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*


Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses