Ngadirejo, OnlineKristen.com – Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Ngadirejo, yang berdiri sejak 1935, kini terjerat konflik internal berkepanjangan.
Gereja yang dibangun dengan darah, air mata, dan pelayanan setia keluarga Pdt. John Lauw (Agus Suroso) dan Pdt. Ester Susilo ini, justru kini menjadi arena tarik-menarik kepentingan antara jemaat, keluarga gembala, dan Majelis Daerah (MD) Jawa Tengah.
Jejak Panjang: Dari 8 Jiwa Hingga 350 Jemaat
Berdasarkan catatan sejarah, GPdI Ngadirejo bermula sebagai pos PI (Pekabaran Injil) dari GPdI Temanggung pada 1935.
Jemaat awalnya hanya delapan orang, dilayani bergantian oleh pengerja dari Temanggung seperti Bapak Siregar dan Robinson Hutapea.
Tonggak penting terjadi tahun 1968, saat Pdt. John Lauw ditetapkan sebagai gembala pertama GPdI Ngadirejo. Dari situlah pelayanan berkembang pesat.
Setelah Pdt. Lauw wafat pada 1998, pelayanan dilanjutkan oleh istrinya, Pdt. Ester Susilo, yang dengan ketekunan dan kasih berhasil membesarkan jemaat hingga mencapai 300–350 jiwa.
“Dari delapan jiwa sampai 350 jiwa, kalau itu bukan perjuangan, mau dianggap apa? Apakah sekarang kita hanya berpolemik soal siapa perintis, sementara ada pendeta-pendeta yang malah tiba-tiba nyaplok gereja orang lain?” tegas Pdp. Nehemia Anton, putra sulung yang kini meneruskan pelayanan.
Baca juga: PGI Serukan “Bangsa Ini Harus Dibangun dengan Refleksi, Bukan Represi!” Saat Demo Ricuh
Titik Retak: Intervensi di Masa Pandemi
Konflik mulai mencuat tahun 2020, tepat saat pandemi COVID-19. Ibadah sempat dihentikan sesuai aturan pemerintah, tetapi karena Ngadirejo zona hijau, jemaat mendesak untuk kembali beribadah.
Pdt. Ester akhirnya membuka kembali ibadah. Namun, kelompok jemaat yang menolak lantas melayangkan surat ke MD Jawa Tengah, menuntut pendeta baru.
Septi, istri Anton, menuturkan: “Yang kami sesalkan, harusnya MD menguji dulu tuduhan terhadap Pak Anton. Apakah benar dia tidak layak? Faktanya, MD langsung turun tangan tanpa koordinasi dengan gembala sah. Itu bukan sikap mengayomi, tapi sudah seperti ada rencana mengambil alih pelayanan sejak awal.”
Baca juga: Pdt. Imanuel Cs Minta Gubernur DKI Usut Dugaan Pungli Dana BOTI 1,2 Juta Per Tahun
PTG dan Tuduhan Abuse of Power
MD menurunkan Pdt. Markus Suprapto sebagai Pendamping Tugas Gembala (PTG). Namun, alih-alih mendampingi gembala, PTG justru berpihak pada kelompok pemberontak.
Pengurus baru dibentuk tanpa izin gembala, keuangan jemaat diambil alih, bahkan akses rumah pendeta digembok hingga menyulitkan Pdt. Ester yang sakit dan menggunakan kursi roda.
“Selama pendampingan itu, justru kolekte dan perpuluhan semua diambil oleh para pemberontak atas arahan PTG. Terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Lalu orang menuduh saya menjadikan gereja ATM. ATM bank yang mana? Semua jemaat tahu kebenarannya,” bantah Anton.
Wasiat Terakhir Ester Susilo
Sebelum meninggal pada 14 Desember 2024, Pdt. Ester sempat berpesan agar pelayanannya tidak dilanjutkan oleh MD.
“Mama bilang: MD itu bikin susah saya. Saya tidak mau dilayani (ketika meninggal-Red) oleh MD,” kenang Anton. Namun, MD tidak pernah hadir bahkan untuk sekedar menyampaikan belasungkawa.
Bahkan di momen duka, terjadi kejanggalan. Septi menyebut ada kelompok jemaat yang membuka posko duka sendiri di sebelah rumah, lengkap dengan kotak sumbangan.
“Kotak itu tidak pernah sampai ke keluarga. Kami tidak melarang orang melayat, justru mereka yang membatasi diri. Jemaat diarahkan ke posko mereka, bukan ke rumah duka,” ungkapnya.
Baca juga: Merawat Ciptaan Tuhan, Dari HKBP di Jakarta, Seruan Iman Untuk Tutup TPL
MD Melantik Gembala Baru, Jemaat Menolak
Pasca wafatnya Ester, jemaat mendukung Anton meneruskan pelayanan sesuai amanat tradisi GPdI. Namun, MD justru melantik Pdt. Denny Lumempow sebagai gembala jemaat pagi “El-Gibor” di Jalan Jumprit 17—nama yang bahkan tidak pernah ada sebelumnya.
Anton menolak keras: “Dalam sejarah GPdI tidak ada satu gedung dipakai dua penggembalaan. MD memaksa melantik gembala baru tanpa melibatkan jemaat, itu cacat hukum dan cacat moral. Kalau semua jemaat bisa minta ganti gembala karena tidak suka, lalu apa artinya panggilan Tuhan?”
Pertanyaan Besar: Gereja Milik Tuhan atau Arena Kuasa?
Kasus GPdI Ngadirejo menyingkap pertanyaan mendasar: Apakah gereja lokal milik organisasi, ataukah hasil pelayanan keluarga yang telah berkorban puluhan tahun demi jiwa-jiwa?
Bagi Anton, jawabannya jelas: “GPdI itu otonom. Yang dipanggil Tuhan untuk melayani adalah gembala, bukan majelis. MD seharusnya mengayomi, bukan memerangi. Kalau tradisi baru MD ini dibiarkan, nanti semua gembala bisa didemo jemaatnya. Itu bukan lagi gereja, tapi arena politik.”
Kristus atau Kekuasaan?
Di balik perebutan mimbar, jemaatlah yang menjadi korban. Ibadah pecah dua, persaudaraan retak, kasih Kristus dikaburkan oleh intrik kuasa.
Bagi jemaat Ngadirejo yang setia, pelayanan keluarga Lauw-Susilo adalah bukti panggilan sejati: 55 tahun pengorbanan dari delapan jiwa hingga ratusan.
Kini, sejarah menanti: apakah GPdI Ngadirejo akan kembali ke jalur penggembalaan sejati, atau terus terseret dalam pusaran konflik? Yang pasti, suara iman menegaskan: “MD tidak lebih berkuasa dari Tuhan Yesus. Dialah yang empunya jemaat.”
(VRA)
#GPdINgadirejo #KonflikGereja #JurnalismeInvestigatif #GerejaPantekosta #MajelisDaerah #PdtEsterSusilo #PdpAntonSusilo #SejarahGPdI #KasihKristus #GerejaUntukTuhan