OnlineKristen.Com – Pada masa Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pembangunan infrastruktur yang dilakukan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terus diupayakan guna mendorong pemerataan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.
“Meskipun demikian, kita masih dapat menemukan tidak semua daerah mengalami pertumbuhan ekonomi yang sama. Masih terdapat ketimpangan dalam berbagai dimensi,” kata Inspektur Jenderal (Irjen) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), Jhoni Ginting, SH, MH, dalam sambutannya sebagai Keynote Speaker mewakili Menteri Hukum dan HAM dalam Pembukaan ‘Seminar dan Lokakarya Agama-Agama (SAA) Ke-35 Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI)’ yang digelar di Kampus Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah, Rabu, 3 Juli 2019.
Jhoni memaparkan materi tentang ‘Agama dan Warga Negara yang Terpinggirkan Pada Kepemimpinan Baru Indonesia’ dalam acara SAA Ke-35 PGI yang berlangsung dari tanggal 3-5 Juli 2019. Acara ini merupakan hasil kerjasama antara PGI dengan Yayasan Bina Darma Salatiga dan UKSW.
Lebih lanjut Jhoni Ginting mengutarakan ketimpangan itu, antara lain, terjadi antar wilayah perkotaan dan pedesaan, antar Jawa dan luar Jawa, dan antar pulau-pulau terpencil dengan pulau-pulau utama yang besar.
“Disamping ketimpangan dalam dimensi geografis, kita juga masih melihat ketimpangan antar sektor. Ketimpangan sektor pertanian dengan sektor industri, sektor perikanan dengan sektor jasa, bahkan antar berbagai sektor yang terdapat di dalam pertambangan,” kata dia.
Menurut Jhoni, ketimpangan lainya juga terjadi pada aspek gender. “Beberapa lapangan pekerjaan masih mempunyai preferensi gender, seperti lapangan pekerjaan tertentu pada industri formal yang lebih mengutamakan pekerja laki-laki daripada perempuan,” urai dia.
Ketimpangan-ketimpangan tersebut, kata Jhoni, bukanlah suatu ketimpangan yang baru, namun ketimpangan yang sudah terjadi sejak awal kemerdekaan, yang sebagian besar merupakan produk peninggalan kolonial yang terus berkembang dan menjadi beban bagi siapapun yang memerintah di Indonesia.
“Sebab itu, peran agama untuk mengatasi ketimpangan ini adalah juga sesuatu yang sangat penting. Perjalanan sejarah bangsa ini mencatat banyak kontribusi dari berbagai agama dalam memajukan bidang pendidikan dan kesehatan,” kata dia.
“Banyak sekolah, lembaga pendidikan, dan rumah sakit yang didirikan oleh organisasi berbasis Katolik, Kristen dan juga dari teman-teman kita berbasis Muhammadiyah dan NU,” tambah dia.
Kehadiran dan peran serta institusi agama dalam mengatasi ketimpangan sosial, menurut Jhoni, selalu disambut baik oleh pemerintah.
“Institusi keagamaan senantiasa menjadi mitra kerja pemerintah, terutama untuk mengatasi kesenjangan-kesenjangan dalam dimensi sosial,” ujar dia.
Jhoni melanjutkan Pemerintahan Jokowi – JK telah menekankan pentingnya upaya untuk mengatasi ketimpangan tersebut.
“Salah satu fokus dari pemerintah untuk mengatasi ketimpangan tersebut adalah dengan memberikan program bantuan sosial kepada kelompok-kelompok masyarakat yang terpinggirkan,” kata dia.
“Secara anggaran, pengeluaran sosial (social spending) terus meningkat dari tahun ke tahun sejak pemerintahan Pak Jokowi,” tambah dia.
Dalam masa pemerintahan Jokowi, sambung Jhoni, bisa dilihat adanya bantuan jaminan kesehatan, pendidikan, tenaga kerja, program keluarga harapan dan bahkan pemerintah sudah merancang program bantuan pendidikan yang lebih baik untuk kalangan pemuda yang telah menyelesaikan pendidikan dan berusaha mencari pekerjaan.
“Perlu kiranya ditambahkan bahwa pemberian bantuan sosial ini memiliki dimensi ekonomi juga (tidak semata-mata karitatif). Pemberian bantuan itu diharapkan akan menciptakan daya beli dan dapat menjadi stimulus pertumbuhan ekonomi,” urai dia.
Jhoni memaparkan bahwa secara sederhana, pemerintah mempunyai dua strategi besar untuk dapat mengatasi ketimpangan tersebut.
Strategi pertama, dari sisi permintaan pemerintah mendorong peningkatan konsumsi dan daya beli masyarakat melalui pemberian bantuan sosial.
Strategi kedua, dari sisi penawaran pemerintah menciptakan dorongan pertumbuhan ekonomi melalui pembangunan infrastruktur.
Melalui pembangunan infrastruktur, ujar Jhoni, pemerintah diharapkan dapat menarik para investor untuk dapat berinvestasi langsung di Indonesia dan menciptakan lapangan pekerjaan.
Pembangunan infrastruktur juga diharapkan akan membuka akses wilayah-wilayah yang terisolir dan mengurangi ketimpangan pembangunan.
“Dua strategi ini telah dilakukan pemerintah dalam lima tahun terakhir. Capaian pemerintahan Jokowi dalam lima tahun terakhir, sangat signifikan. Angka ketimpangan dalam ukuran Kofisien Gini terus mengalami penurunan dalam lima tahun terakhir,” beber dia.
Menurut Jhoni, untuk pertama kali juga dalam sejarah di Indonesia, pertumbuhan ekonomi dapat terjaga dengan baik disertai dengan tingkat inflasi yang rendah dan terkendali yaitu dibawah 3,5% (data terakhir Mei 2019 sebesar 3,32%).
Dalam periode-periode sebelumnya, tingkat pertumbuhan ekonomi diiringi dengan tingkat inflasi yang tinggi.
“Karena itu dalam derajat tertentu, kita bisa menyatakan bahwa tantangan terbesar ke depan adalah bagaimana melanjutkan strategi-strategi untuk menghapus ketimpangan sosial yang telah diluncurkan oleh pemerintah,” jelas dia.
Persoalan kesinambungan ini, lanjut Jhoni, menjadi sangat penting dan krusial karena untuk dapat menghapus kepentingan sosial bukanlah tugas 5-10 tahun saja, namun program jangka panjang.
“Sebagian dari sebab-sebab ketimpangan itu bersifat struktural dan memerlukan inisiatif-inisiatif kebijakan yang sifatnya jangka panjang. Untuk periode lima tahun kedepan, salah satu hal yang menjadi fokus pemerintah yang baru adalah pembangunan sumber daya manusia,” ujar dia.
Lebih jauh Jhoni membeberkan berdasarkan data statistik, Indonesia masih memiliki ketertinggalan jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga lainnya.
Persentase jumlah penduduk Indonesia yang menyelesaikan pendidikan perguruan tinggi masih sangat rendah yaitu 8,2% (UNESCO, 2016) jika dibandingkan dengan Singapura (29,1%), Malaysia (10,7%), Filipina (16,5%) dan Thailand (12,6%). Jumlah dan persentase yang telah memperoleh pendidikan primer sebesar (36,3%) dan sekunder (24,3%) di Indonesia memang cukup tinggi.
Namun jumlah dan persentase orang yang drop out (tidak mampu menyelesaikan pendidikan tinggi) juga sangat tinggi yaitu sebesar 2,8% (Kemeristekdikti, 2017).
“Seperti yang saya ungkapkan, pembangunan manusia bukanlah persoalan jangka pendek tapi persoalan jangka panjang,” imbuh dia.
Dari perspektif Kristiani, menurut Jhoni, nilai yang ditanamkan oleh Tuhan adalah mencintai sesama manusia.
Prinsip dan nilai hakiki ini, kata dia, harus selalu disosialisasikan untuk menjadi jiwa dan roh dalam setiap kegiatan gereja untuk dapat mengatasi ketimpangan.
“Yesus Kristus lahir dari kandang domba, menyampaikan pesan bahwa diri-Nya teridentifikasi sebagai bagian dari kelompok yang terpinggirkan,” kata dia.
“Karena itu, kita sebagai umat Kristen memiliki tugas untuk melayani orang-orang yang terpinggirkan, tidak hanya untuk kalangan orang Kristen yang terpinggirkan tetapi untuk semua manusia yang terpinggirkan,” imbuh dia.
Kendati begitu, menurut Jhoni, tanggung-jawab ini akan semakin berat karena ketimpangan ini juga menjadi salah satu sebab dari radikalisme.
“Kelompok yang terpinggirkan dapat dengan mudah untuk menjadi bagian dari radikalisme akibat ketertinggalan pendidikan, basis ekonomi yang tidak kuat dan tidak memiliki harapan tentang kehidupan masa depan yang lebih baik,” terang dia.
“Kita sebagai orang Kristen, harus terpanggil untuk memberikan kontribusi sekecil apapun itu, dan berperan serta untuk ikut mengatasi permasalahan sosial dan ketimpangan ekonomi,” pungkasnya.
(OK/Vic)
Be the first to comment