OnlineKristen.com – Seminar bertajuk “Merawat Lingkungan Hidup: Iman yang Hidup dalam Aksi Nyata” yang digelar di Gereja HKBP Kebayoran Baru, Jakarta (26/07/2025), menjadi panggung bagi berbagai elemen masyarakat dan gereja untuk menyuarakan kekhawatiran dan harapan, terutama terkait kerusakan alam Danau Toba.
Acara ini sebuah penanda dari perjalanan panjang HKBP dalam memperjuangkan kelestarian alam, yang akan mencapai puncaknya pada “Doa Bersama Merawat Lingkungan Hidup” pada 18 Agustus mendatang.
Lima narasumber hadir yakni Pdt. Prof. Septemmy E. Lakawa, Th.D. (STFT Proklamasi Jakarta), Rukka Sombolinggi (Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara), Dewi Kartika (Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria), Supardi Marbun (Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional), dan Bhima Yudhistira Adhinegara (Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies).
Baca juga: Angin Segar di Balik Kisruh BOTI, Farah Savira Buka Pintu Keadilan bagi GPK Klasis Missio Dei
Misi Merdekakan Danau Toba
St. Dr. Leo Hutagalung, Ketua Umum Panitia Doa Bersama Merawat Lingkungan Hidup, membuka seminar dengan narasi yang menggugah. Ia bercerita tentang “roadshow” Ompui Ephorus Pdt. Dr. Victor Tinambunan yang dimulai sejak Maret lalu.
Dari Lumban Julu Toba, Samosir, Tarutung, hingga Siantar, perjalanan ini adalah sebuah “perjalanan sejarah bagi HKBP,” sebuah misi, bahkan visi, untuk “memerdekakan Danau Toba, mengikuti alamnya, mengikuti lingkungannya.”
Titik kulminasi dari perjalanan ini adalah Doa Bersama yang akan diadakan di Tugu Proklamasi, Jakarta, pada 18 Agustus 2025. Dipilihnya tanggal 18 Agustus, berdekatan dengan Hari Kemerdekaan RI, bukan tanpa alasan.
“Kita dekatkan acara doa bersama dengan perayaan kemerdekaan Republik Indonesia,” ujar Leo Hutagalung, mengutip himbauan Praeses HKBP Distrik DKI Jakarta, Pdt. Oloan Nainggolan.
Baca juga: Gereja, Masyarakat, dan Aktivis Bersatu dalam Aksi Nyata Selamatkan Danau Toba dan Serukan Tutup TPL
Diharapkan lebih dari 2.000 orang, bahkan 2.025 orang sebagai simbolisasi tahun kegiatan, akan membanjiri Tugu Proklamasi dalam sebuah longmarch yang dimulai dari Kantor PGI, menyusuri Jalan Matraman. Doa bersama ini akan melibatkan empat distrik HKBP yaitu Jakarta, Bekasi, Deboskab, dan Banten.
Seruan Iman Tutup TPL
Pdt. Oloan Nainggolan, Praeses HKBP Distrik DKI Jakarta, menegaskan seminar ini menjadi momentum penting untuk meningkatkan kesadaran akan tanggung jawab merawat lingkungan.
Bagi HKBP, isu lingkungan, khususnya terkait polemik PT Toba Pulp Lestari (TPL), bukan sekadar isu ekonomi atau sosial, melainkan “seruan iman.”
“Seruan kita tutup TPL harus menjadi seruan iman,” tegas Pdt. Oloan, menggarisbawahi pentingnya melihat permasalahan ini dari kacamata spiritual.
Baca juga: Satu Dekade Dualisme GKSI Berakhir Damai, Nomor 64 dan Anggur Baru
Ini adalah panggilan iman kepada Allah pencipta dan pemilik lingkungan, sebuah upaya untuk memulihkan harkat dan martabat alam yang tak terpisahkan dari harkat dan martabat manusia.
“Seruan tutup TPL adalah panggilan iman, bukan dorongan akal, pikiran, dan jiwa semata,” imbuhnya, berharap seminar ini akan memperkuat landasan, data, dan terutama panggilan iman untuk bertindak.
Apresiasi tinggi datang dari Pdt. Prof. Septemmy E. Lakawa. Ia memuji HKBP sebagai salah satu dari sedikit gereja di Indonesia yang memberikan perhatian khusus pada isu lingkungan.
“Saya berharap bahwa bukan hanya karena Danau Toba, tapi pengalaman tentang Danau Toba menjadi jiwa dari perjuangan HKBP melaksanakan dan mewujudkan suara imannya,” ujarnya.
Baca juga: 75 Tahun Merajut Asa, Perjalanan MPK dalam Membentuk Generasi Berkarakter
Baginya, jika menutup perusahaan seperti TPL adalah bagian dari suara iman, maka gereja-gereja lain seharusnya dapat meneladani perjuangan HKBP.
Jeritan Masyarakat Adat
Rukka Sombolinggi dari AMAN membeberkan gambaran pilu yang dihadapi masyarakat adat di Tano Batak.
Mereka menghadapi ancaman kehilangan wilayah adat akibat izin sepihak dari negara kepada perusahaan-perusahaan seperti TPL, pariwisata internasional, perkebunan sawit, hingga food estate.
“Bagi Masyarakat Adat di Tano Batak, Wilayah Adat bukan sekedar komoditas namun juga identitas,” ujarnya, menyoroti bagaimana ketiadaan pengakuan negara telah berujung pada perampasan wilayah dan kepunahan identitas.
Baca juga: PGLII Siap Bersinergi dengan Pemerintah, Doakan Prabowo & Pembangunan Kantor di IKN
Konflik lahan, tumpang tindih izin, kerusakan lingkungan (hutan rusak, pencemaran air), serta kriminalisasi dan intimidasi terhadap masyarakat adat yang berjuang, menjadi daftar panjang permasalahan. Kasus penangkapan Sorbatua Siallagan yang dituduh “menduduki” hutan menjadi contoh nyata dari ketidakadilan yang dihadapi.
Dewi Kartika dari Konsorsium Pembaruan Agraria kemudian mengupas cacat hukum yang melandasi izin-izin seperti yang diberikan kepada TPL. Ia menyoroti SK Menhut No. 579/menhut-ii/2014 yang menjadi dasar IUPHHK-HTI PT. TPL.
Menurutnya, meskipun SK tersebut menyebut “telah ditunjuk” kawasan hutan, frasa “ditunjuk” hanyalah tahap pertama dari empat tahapan utuh menuju “pengukuhan kawasan hutan” sesuai UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
“Sampai hari ini Klaim Penetapan Kawasan Hutan Provinsi Sumut belum dilakukan, semuanya baru sebatas Penunjukkan,” tegas Dewi.
Baca juga: 7 Tahun Bekasi Gospel Project, Melodi “Kembali” yang Memanggil Jiwa-Jiwa Pulang
Ini menunjukkan adanya “cacat hukum, maladministrasi kehutanan, manipulasi proses, hingga abused of power.”
Ia menyimpulkan bahwa keberadaan dan operasi TPL adalah praktik ilegal yang difasilitasi oleh pemerintah, bahkan melanggar prinsip internasional Free Prior Informed Consent.
Dengan landasan hukum yang lemah, konsesi TPL disebutnya tidak memiliki kekuatan hukum, membuka peluang advokasi lebih lanjut untuk menggugat perusahaan tersebut.
Valuasi Ekonomi, Cuan untuk Siapa?
Bhima Yudhistira Adhinegara dari CELIOS memberikan perspektif ekonomi yang mengejutkan. Ia mengemukakan pertanyaan krusial: “cuannya lebih banyak mana?” antara kelanjutan operasi TPL dengan solusi yang berpihak pada masyarakat dan negara.
Baca juga: Duc In Altum, MPK Indonesia Perkuat Transformasi Pendidikan Kristen dengan 20 Pengurus Baru
Bhima memaparkan bahwa sektor kehutanan, khususnya industri kertas, kini mengalami kelebihan pasokan secara global akibat perubahan digitalisasi.
“Artinya apa? Artinya bukan hanya mengecilkan, tapi penutupan itu pun kondisi sekarang itu sudah kelebihan pasokan,” jelasnya. Secara bisnis, kelanjutan TPL disebutnya “gugur.”
Lebih lanjut, ia mengungkapkan data mencengangkan tentang serapan kerja. Serapan kerja TPL yang hanya 1.141 orang tidak sebanding dengan hilangnya kesempatan kerja bagi 3.000 orang di Sumatera Utara akibat eksternalitas negatif dari aktivitas perusahaan.
Dalam hal valuasi dampak ekonomi, Bhima menyebut adanya degradation cost (biaya degradasi lingkungan) sebesar Rp3,3 triliun per tahun dari sektor kehutanan dan produksi kayu di Sumatera Utara.
Seminar ini bukanlah akhir, melainkan langkah awal menuju gerakan iman yang lebih luas. HKBP, melalui “Doa Bersama Merawat Lingkungan Hidup”, ingin menyatakan bahwa gereja tidak bisa diam ketika ciptaan Tuhan dirusak.
Dengan hati yang berdoa, suara yang bersaksi, dan tangan yang bekerja, HKBP menyerukan panggilan kepada gereja-gereja lain: “Mari kita ikut terlibat dalam pemulihan ciptaan, sebab bumi adalah milik Tuhan, dan segala isinya.” (Mazmur 24:1)