ONLINEKRISTEN.COM, JAKARTA – Manusia yang tengah menapaki kehidupan dikefanaan dunia sekarang ini benar-benar manusia yang amat majemuk dan beragam dilihat dari berbagai aspek.
Kultur, etnik, agama, afiliasi politik, aliran keagamaan, edukasi, kesemuanya memberi warna tersendiri bagi kedirian seorang manusia.
Oleh karena itu manusia diberi sebutan atau predikat yang bermacam-macam. Ada orang yang dicap tukang mabuk, kleptomani, termasuk mengambil uang yang dipersembahkan untuk rumah ibadah, pencuri, paedofilia.
Predikat yang berlabel negatif cukup banyak yang diberikan kepada pribadi seseorang, selain predikat positif yang mengacu pada profesionalisme seseorang.
Diantara banyak cap atau predikat negatif yang diberikan kepada manusia, ada juga sebutan “manusia serakah”, “orang serakah”.
Buku “Logat Ketjil Bahasa Indonesia” yang disusun WJS Poerwadarminta, Penerbit JB Wolters, Groningen-Djakarta, 1951, halaman 112 menjelaskan arti kata ” serakah” adalah “loba, selalu hendakkan banjak; tidak pedulikan apa-apa asal menguntungkan diri”.
Penjelasan itu sudah cukup memberikan pengertian yang memadai dan standar tentang apa makna kata “serakah” walaupun buku itu terbit tahun 1951, pada cetakan ketiga.
Dari segi konteks waktu dan penjelasan makna kata bisa diduga bahwa pada zaman itu kasus-kasus yang berkaitan dengan ‘keserakahan’ cukup dikenal.
Istilah serakah yang biasa juga diberi sinonim loba, tamak, adalah orang yang tidak merasa puas dengan apa yang sudah diperoleh.
Bisa dikatakan dalam narasi yang lebih bernuansa agama seorang yang serakah adalah pribadi yang rakus, yang sangat cinta pada hal-hal duniawi tanpa mau tahu apakah itu bertentangan atau tidak dengan hukum agama.
Cinta dunia seperti itu tidak lagi mempersoalkan hukum surgawi, yang penting ia ingin lebih bsnyak lagi dari apa yang dimiliki sekarang tanpa mau tahu bagaimana cara memndapatkannya
Kemungkinan besar kasus-kasus korupsi yang merebak dan meramaikan langit Indonesia dalam beberapa tahun terakhir adalah karena sikap serakah, rakus, tamak, loba merasuki roh bangsa kita yang sejatinya taat beragama.
Mereka yang melakukan praktek korupsi itu sebagian besar adalah orang-orang super kaya walau namanya belum masuk dalam peringkat majalah Forbes.
Mereka bukan sejenis nenek uzur yang dituduh mencuri kayu dihutan untuk keperluan menanak nasi. Ironis dan tragisnya hukum yang kaku akhirnya konon menjebloskan nenek itu ke penjara.
Ini adalah sebuah paradoks hukum yang kita saksikan dalam sebuah negara yang didalamnya hukum menjadi panglima.
Jika asumsi diatas bahwa ada roh keserakahan yang merasuki kedirian kita sebagai bangsa maka roh negatif itu yang mesti dikeluarkan dari diri kita.
Pembinan materi keagamaan dalam banyak varian mesti menjadi agenda utama lembaga-lembaga keagamaam dinegeri ini. Roh keserakahan mesti diusir keluar dari diri kita masing-masing melalui program pembinaan keagamaan yang menyentuh setiap pribadi.
Pepatah yang dikutip diawal tulisan ini mengingatkan kita dengan amat cerdas bahwa “Orang yang serakah selalu menuntut”.
Kita pernah menuntut hak-hak dasar kita agar dipenuhi, misalnya hak untuk melaksanakan ibadah agama kita, hak untuk mendirikan rumah ibadah, hak konstitusional kita sebagai warga negara. Kita menuntut itu, karena belum dipenuhi secara optimal, dan bukan karena kita ‘serakah’.
Mari kita kembangkan hidup yang sederhana, hidup yang ugahari, bukan yang mewah yang tidak sesuai dengan kultur kita sendiri.
Jika sudah ada satu, mengapa menuntut untuk punya dua. Dalam bahasa klasik dinyatakan kita harus “berpada dengan yang ada”.
Selamat berjuang. God bless.
Weinata Sairin
Be the first to comment