KITA HARUS MENDAPAT DAGING, DAN BUKAN TULANG

”Sero venientibus ossa. Mereka yang terlambat hanya akan mendapat tulang-tulangnya.”

KITA HARUS MENDAPAT DAGING, DAN BUKAN TULANG
KITA HARUS MENDAPAT DAGING, DAN BUKAN TULANG

Tulang (tulang binatang) acap kali diasosiasikan sebagai benda tak berharga. Manusia menikmati dagingnya. Setelah itu, tulangnya dibuang. Biasanya dibuang ke tempat sampah, lalu diperebutkan oleh kucing atau anjing.

Tulang juga sering menjadi semacam ”penghambat”, terutama bagi anak kecil yang belum mahir makan sendiri, apalagi makan ikan. Itulah sebabnya, dengan bantuan teknologi, bisa diproduksi ikan bandeng atau ayam goreng tulang lunak.

Dengan begitu tulang menjadi lembut dan bisa dimakan bersama makanan yang kita nikmati.
Tulang menyatu dengan ikan atau daging ayam. Dengan teknologi ini anak-anak dapat makan ikan atau ayam tanpa takut ”ketulangan” dan nafsu makan mereka ikut bertambah.


Baca juga:

REFLEKSI ALKITAB: MENIKMATI HIKMAT ORANG BERHIKMAT

Kata ”tulang” banyak kita temukan dalam peribahasa. Juga dalam puisi dan bentuk-bentuk lain. Ada peribahasa yang cukup populer: ”Bagai anjing menggonggong tulang”.

Peribahasa ini menggambarkan seseorang yang tidak pernah puas dengan apa yang sudah ia miliki. Ia selalu berusaha dengan berbagai cara untuk menambah miliknya. Ada juga peribahasa lain yang
berbunyi demikian: ”Lebih baik berputih tulang daripada berputih mata”.

Peribahasa ini ingin menggambarkan pemikiran bahwa lebih baik mati daripada menanggung malu.
Peribahasa Indonesia yang memakai kata ”tulang” cukup banyak dan memiliki beragam makna, walau tidak terlalu populer.


Baca juga:

MENYUARAKAN SUARA-SUARA YANG BERSUARA

Dalam puisi Chairil Anwar yang amat terkenal, ”Karawang–Bekasi”, kata ”tulang” mendapat tempat yang cukup terhormat! Beberapa kali kata ”tulang” dan ”tulang-tulang” disebut secara berganti-ganti di dalamnya.

Jika kita membaca puisi itu dengan penuh penghayatan, penempatan ”tulang” dan ”tulang-tulang” cukup membuat merinding. Mari simak beberapa penggalan puisi
”Karawang–Bekasi” berikut.

Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata
Kaulah sekarang yang berkata



Baca juga:

PGI: Jangan Larang Ibadah Perayaan Natal di Sumatera Barat 

Penyebutan ”tulang” dan ”tulang-tulang” oleh seorang Chairil Anwar bukan saja memberi makna spesifik bagi tulang-tulang yang sering kali tergolek di piring-piring kotor sesudah sebuah pesta usai. Namun, itu sekaligus memberikan energi, memberikan roh pada puisinya itu.

Memang terasa getaran khusus tatkala kita membaca puisi ”Karawang– Bekasi” di hari-hari peringatan Kemerdekaan RI. Melalui puisi itu para pahlawan seolah menggugat seluruh warga bangsa agar kemerdekaan negeri yang diperoleh melalui pengorbanan jiwa raga mereka harus diisi dengan aktivitas pembangunan yang memberi kemaslahatan bagi rakyat jelata.

Para pahlawan, yang kemudian telah menjadi tulang-belulang tetap mengingatkan agar tujuan kemerdekaan itu suatu saat bisa terwujud dalam ruang-ruang sejarah bangsa kita. Tulang-tulang itu, melalui kepiawaian seorang Chairil, seakan menggugat dan mengingatkan kita tentang makna kemerdekaan.


Baca juga:

Sambut Natal, DR John N Palinggi: Berubah Kearah Lebih Baik

Sebagai umat beragama kita memahami bahwa pemerintah dan bangsa kita memberi respek kepada para pahlawan bangsa yang berkorban demi kemerdekaan negeri ini. Gugatan ”tulang-tulang” dalam puisi Chairil Anwar telah didengar oleh pemerintah dan akan diperbarui dari waktu ke waktu.

Pepatah yang dikutip di bagian awal tulisan ini memberikan pengingatan kepada kita agar di era digital seperti sekarang ini kita tak boleh terlambat apa pun alasannya.

Terlambat karena macet, pesawat rusak, ada keluarga yang sakit, ban kendaraan terkena ranjau paku di jalan, dan berbagai alasan lainnya tetap tidak punya makna, dan tidak akan pernah mampu mengubah ”tulang menjadi daging”.


Baca juga:

Ketum DPP GAMKI 2007-2011, Dating Palembangan: TITIK NOL MENUJU TATANAN KEHIDUPAN BARU, NEW NORMAL

Mari bergegas, dan tetap siuman, karena jika terlambat kita hanya akan mendapat tulang-tulang belaka.
Kita perlu dagingnya, dan bukan tulangnya.

Mari bekerja keras, taat undang-undang patuh ajaran agama, agar kita bisa menikmati Daging dan bukan Tulang.

Dalam sebuah NKRI yang majemuk seluruh warga bangsa semestinya memperoleh Daging, daging murni tanpa tetelan/gajih, dan bukan Tulang!

Selamat Berjuang, God Bless!

(Oleh: Weinata Sairin)

 

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.