Rakernas Sinode GKSI Tetap Rekomendasikan Rekonsiliasi, Frans Ansanay: Kami Tak Tabu Untuk Berdamai

gereja kristen setia indonesia
Sinode Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI) menggelar Rapat Kerja Nasional (Rakernas) yang dihadiri 160 peserta dari berbagai daerah yang diadakan secara hybrid, pada tanggal 19-22 November 2022 di Kantor Pusat Sinode GKSI, Jl Kerja Bakti, Jakarta

OnlineKristen.com  | Sinode Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI) menggelar Rapat Kerja Nasional (Rakernas) yang dihadiri 160 peserta dari berbagai daerah yang diadakan secara hybrid, pada tanggal 19-22 November 2022 di Kantor Pusat Sinode GKSI, Jl Kerja Bakti, Jakarta.

Rakernas dan HUT Ke-34 GKSI kali ini dinaungi tema: “Akulah Yang Awal dan Yang Akhir” (Wahyu 22: 12-13) dan Subtema: “Mewujudkan Jemaat Jemaat GKSI dalam kemandirian, Transparansi dan Harmonisasi guna melaksanakan misi pekabaran Injil”

Ketua Umum GKSI Pdt Iwan Tangka Periode 2020-2024 mengatakan hasil rakernas kali ini menerima semua rekomendasi dari komisi-komisi yang dilanjutkan dan dituntaskan dalam rapat-rapat sinode.

“Diantaranya, rekomendasi bagaimana di lapangan bisa dipenuhi kebutuhan seperti pembangunan gereja, pembangunan iman, dan juga masalah masalah surat baptisan, administrasi, masalah pendidikan dan kesejahteraan anggaran,” jelas Pdt Iwan Tangka usai Rakernas Sinode GKSI di Jalan Kerja Bakti, Jakarta, Minggu (20/11/2022).

Baca juga: Sinode GKSI Pimpinan Pendeta Marjiyo Patenkan Logo GKSI Sejak 2016





“Kita pun menunggu arahan dan Dirjen Bimas Kristen, PGI (Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia dan PGI Wilayah yang sudah berulang-ulang terkait rekomendasi rekonsiliasi sejak 2014. Jadi fokus kita rekonsiliasi dua pihak,” imbuhnya.

Rekomendasi rekonsiliasi ini berkaitan dengan rekonsiliasi dua kubu Sinode GKSI yaitu Pihak Sinode GKSI pimpinan Pdt Iwan Tangka yang berkantor pusat di Jalan Kerja Bakti, Jakarta, dan Sinode GKSI pimpinan Pdt Matheus Mangentang yang berkantor pusat di Daan Mogot.

Hal senada juga diutarakan Sekretaris Umum GKSI, Pdt Bayu Kusumo, bahwa hasil rakernas yang menjadi prioritas adalah rekomendasi rekonsiliasi.

“Tentu kita akan bangun dialog, kemudian menyelesaikan secara administrasi, tentu langkah ini yang akan membangun keutuhan GKSI. Tinggal kita menunggu respon dari mereka pihak GKSI Pdt Matheus Mangentang). Bahkan dalam Rakernas ini, kita juga mengundang mereka untuk hadir,” tegasnya.

Baca juga: Penutupan Sidang Sinode GKSI, PGI: Bangun Rekonsiliasi dan Persatuan





Sementara Bendahara Umum yang juga Majelis Tinggi Sinode GKSI, Willem Frans Ansanay mengemukakan Rakernas ini merupakan agenda tahunan gereja, paska Sidang 1 Sinode GKSI untuk mengevaluasi berbagai keputusan sidang sinode yang berjalan, dimana kekurangannya dan plusnya.

“Dalam rakernas ini, ada pandangan umum dari daerah menyampaikan berbagai persoalan. kemudian kita kerucutkan di dalam empat komisi yaitu Komisi AD ART, Komisi Program Kerja, Komisi Keuangan Gereja, dan Komisi Rekomendasi. Dari keempat komisi ini kita paripurnakan dan sudah putuskan GKSI harus melaksanakan AD ART konsekuen,” kata dia.

Frans Ansanay melanjutkan, terkait Program Kemandirian, telah disepakati beberapa hal penting untuk membuat para Jemaat atau Badan Pengurus Wilayah (BPW) yang dibawahnya jemaat-jemaat untuk bisa bersama-sama membangun kesamaan program yang dibahas di dalam sidang-sinode dan dimatangkan lebih kurangnya di dalam Rakernas. Ini ada kaitan dengan komisi yang membahas tentang pendanaan. Karena itu, antara Komisi 2 dan Komisi 3 ada kesinambungan.

“Benang merahnya adalah Sinode GKSI telah menyiapkan 25 hektar lahan kelapa sawit di wilayah Kalimantan Barat. Kita juga akan menambah 5 ha di wilayah Kalimantan Tengah. Dikelola oleh BPW sebagai aset gereja yang nantinya hasilnya itu disetor kepada Sinode. BPW yang mengelola juga mendapatkan hasil sehingga dana ini yang kemudian bisa menopang BPW lain yang tidak memiliki potensi pemberdayaan ekonomi, yang kita ibaratkan wilayah tandus,” papar dia.

Baca juga: Sidang Sinode Ke-5 GKSI Tetap Rekomendasi Rekonsiliasi





“Jadi Saya dan Pendeta Juanto menyumbang lahan hanya untuk dikelola, 80 persen hasilnya untuk Sinode GKSI. Ini merupakan sebuah terobosan. Sejak berdirinya GKSI dulu memang ada lahan-lahan yang disiapkan, ada sumbangan-sumbangan dari kami para pendiri dan para pekerja GKSI. Itu yang kemudian membuat dinamika di dalam GKSI terjadi perpecahan,” tegasnya.

Lanjut Frans, Komisi Rekomendasi Rakernas kali ini juga tetap merekomendasikan rekonsiliasi.

“Nah rekonsiliasi ini dari kacamata kita sebetulnya tidak perlu ada. Kenapa? karena penanganan penyelesaian internal itu sudah selesai tatkala 2014 pada Sidang Istimewa GKSI untuk menonaktifkan mantan ketua sinode yang lama (Pdt Matheus Mangentang). Sebetulnya sudah selesai secara aturan. Tetapi kita menerima tawaran dari aras Gereja (PGI) dimana GKSI menjadi anggota. Lewat Sidang Majelis Pekerja Lengkap (MPL) PGI di Kalimantan Utara tahun 2014, Sidang MPL PGI di Parapat tahun 2015, Sidang MPL PGI 2016 di Salatiga, dan juga di Sidang MPL PGIW yang mengusulkan rekonsiliasi. Pun, Dirjen Bimas Kristen kala itu dipimpin Oditha menyarankan rekonsiliasi,” beber dia.

“Pihak kami (Sinode GKSI Pimpinan Pdt Iwan Tangka) tidak ada hal yang tabu untuk rekonsiliasi. Jadi, kami menerima saran yang baik sekali dari aras gereja PGI maupun Dirjen Bimas Kristen. Persoalannya adalah kelompok sebelah ini tidak mau rekonsiliasi dengan alasan berdasarkan keputusan Sidang Sinode GKSI versi mereka (Pdt Matheus Mangentang) 2016 di Kalimantan Barat bahwa tidak ada rekonsiliasi. Jadi pihak mereka tidak menerima rekonsiliasi perdamaian gereja untuk GKSI,” pungkasnya.

Menurut Frans, pada 5 Januari 2018, juga ada pertemuan yang diprakarsai oleh Tim Asistensi PGI di Jalan Salemba untuk mempertemukan kedua pihak.

Baca juga: Solusi Rekonsiliasi bagi GKSI





“Dan kita bisa bertemu, tetapi pada saat itu kelompok sebelah mengatakan setelah pertemuan itu bahwa mereka tidak mau rekonsiliasi dan menyatakan pisah. Akhirnya pihak Salemba (Tim Asistensi PGI) kecewa karena harapannya GKSI bisa menyelesaikan pertikaiannya,” urai dia.

Hingga kini, Frans heran dan tidak tahu apa alasan pihak mereka tidak mau berdamai. “Kok gereja tidak mau berdamai. Kalau pendeta-pendeta sudah tidak mau berdamai, bagaimana dengan umat. Apa yang disampaikan di mimbar-mimbar oleh para pendeta tentang pesan damai menjadi omong kosong,” tuturnya.

“Kalau dari pihak kami, setelah mendapatkan nasehat dan arahan dari Dirjen Bimas Kristen dan PGI, maka gereja sebagai alat Tuhan kita wajib menerima rekonsiliasi itu. Dan upaya-upaya ke arah rekonsiliasi telah dilakukan oleh Sinode kita. Saya pribadi juga pernah 4 kali WA (Whatsapp) dengan Pak Matheus Mangentang mengajak selesaikan masalah gereja. Ribut-ribut dalam organisasi gereja atau non gereja itu biasa. tetapi organisasi tidak bisa kita hancurkan hanya karena kepentingan,” pungkas dia.

Pun, lanjut Frans, perubahan kepemimpinan itu bukan hal yang tabu karena AD ART mewajibkan lima tahun sekali, menurut perubahan AD ART yang digunakan saat itu.




“Nah yang menjadi pertanyaan kita adalah apa yang ditakutkan kalau terjadi rekonsiliasi dalam Sidang Sinode Rekonsiliasi. Siapapun terpilih, silahkan untuk pimpin GKSI. Itu sudah kita kemukakan. Dan kami sangat siap untuk hal itu sesuai dengan harapan PGI dan Dirjen Bimas Kristen. Nah kelompok sebelah tidak mau. Inilah yang membuat hampir 8 tahun kita belum mencapai kesepakatan,” jelasnya.

“Juga, dalam sidang yang difasilitasi oleh PGI untuk terjadi rekonsiliasi pada tanggal 5 Januari 2018, kalau saja pihak-pihak kelompok sebelah menerima, maka kita akan adakan Sidang Sinode Rekonsiliasi. Tapi mereka keluar dan mengatakan dalam rapat bahwa biarkanlah 4-5 tahun berjalan, lihat siapa yang bertahan siapa dan siapa yang akan mati,” imbuh dia.

Pernyataan yang disampaikan oleh pihak sebelah ini, menurut Frans, tendensius dan negatif. “Tentu kita menerjemahkan bahwa pihak sebelah meyakini bahwa mereka yang akan hidup, kita yang akan mati (secara organisasi),” katanya.

Pihak sebelah juga, lanjut Frans, menyatakan biarkan nanti akan terlihat gandum dan ilalang. “Ini tendensius dan mengarah kepada penilaian kita. Terkesan itu ditunjukkan bahwa kita ini 4 atau 5 tahun akan mati. Ternyata 4 atau 5 tahun grafik gereja kita pertumbuhannya bagus. Misalnya, di DKI Jakarta, dulu kita 7 jemaat, sekarang kita sudah 14 Jemaat, berarti grafik kita naik. Nah mereka hanya 2 jemaat dari dulu,” katanya.




“Pun, di Kalimantan Barat grafik gereja naik yang tadinya 4-6 Jemaat, sekarang sudah 8 Jemaat. Di wilayah Kalimantan Tengah pun grafik naik. Di Kupang NTT periode ini sudah 7 Jemaat, besok sudah 8 Jemaat. Di Sumba kita sudah ada 38 Jemaat. Di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jawa Barat grafik kita sudah naik. Artinya bahasa tendensius bahwa 4 atau 5 tahun akan mati itu ditepis. Yang menepis tentu Tuhan. Karena ini pekerjaan Tuhan. Siapapun yang melakukan pekerjaan Tuhan, pasti Tuhan akan membela dan kita melihat campur tangan Tuhan yang luar biasa,” tandasnya.

Frans menambahkan dalam Rakernas kali juga akan ada pemberian Toga dan Stola bagi semua pendeta yang melayani di berbagai daerah.

(Victor)

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.