Home / GEREJA DAN MINISTRY / Retaknya Tubuh Kristus, PGI Serukan Persahabatan Sejati dalam Gerakan Oikumene

Retaknya Tubuh Kristus, PGI Serukan Persahabatan Sejati dalam Gerakan Oikumene

Gereja Protestan di Indonesia (GPI)

OnlineKristen.comSebuah pengakuan pahit meluncur dari bibir para pemimpin gereja di Indonesia. Relasi antargereja, alih-alih mencerminkan persatuan dalam Kristus, justru digambarkan jauh dari kata ideal, bahkan cenderung carut-marut. 

Krisis keesaan gereja, yang secara tegas diakui Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dalam Sidang Raya di Sumba pada 2019, kini kembali menjadi sorotan tajam.

“Bukan saja gereja bergerak ke arah berlawanan, sebaliknya sebagian gereja hidup terisolasi, dan hidup untuk kepentingan sendiri, dan sebagian saling bersaing dan curiga,” ungkap Sekretaris Umum PGI, Pdt. Darwin Darmawan, dalam sebuah diskusi seminar Pra-Sidang Gereja Protestan di Indonesia (GPI) yang digelar secara hibrida di Manado dan via Zoom, Senin (21/7/2025). 


Baca juga: Darurat Intoleransi, GMKI Jakarta Melawan! Desak Kemenag Cabut Regulasi Pendirian Rumah Ibadah PBM No.9 dan 8 Tahun 2006

Ia tak segan menambahkan, “Ada juga yang konflik, lalu mendirikan gereja baru dan berpisah.”

Pernyataan Darwin ini bukan sekadar retorika. Ia melukiskan gambaran suram tentang perpecahan yang tak hanya terjadi di tingkat gereja, tetapi merambah hingga ke sinode-sinode. 

“Ketika tidak terpilih di sidang sinode kemudian buat sinode baru lagi,” lanjut Darwin, menggambarkan ego dan kepentingan pribadi yang kerap mengalahkan semangat persatuan.


Baca juga: Gereja, Masyarakat, dan Aktivis Bersatu dalam Aksi Nyata Selamatkan Danau Toba dan Serukan Tutup TPL

Dari Mitra Menjadi Sahabat 

Selama ini, Darwin mengakui bahwa gereja-gereja belum sepenuhnya menghidupi gerakan keesaan. 

Akibatnya, tugas panggilan bersama pun belum terpenuhi, bahkan gereja belum mampu menjadi jawaban atas panggilan dirinya sendiri dalam gerakan oikumene. 

Ia menyoroti akar masalahnya: gereja-gereja masih melihat satu sama lain sebagai “mitra”, bukan “sahabat”.

“Sebenarnya di dalam kemitraan ini ada sesuatu yang luhur dan baik, ingin bersama-sama menghadirkan kerajaan Allah dalam misi yang dikerjakan,” jelas pendeta asal Gereja Kristen Indonesia (GKI) itu. 


Baca juga: Lia Laurent, Mengukir Sukses di Ladang Sawit, Menyemai Iman di Hati Manusia

“Tetapi tanpa disadari di belakang istilah itu ada relasi asimetris, bisa dikatakan tidak demokratis. Relasi pihak yang bekerja sama kadang-kadang tidak setara atau satu sama lain berbeda.”

Gambaran Darwin kian terang. Ada “mitra” yang dianggap mampu dan kuat, sementara yang lain dipandang lemah dan perlu dibantu. 

“Mitra yang satu inferior, dan mitra yang lain superior. Tidak betul-betul sebagai satu tubuh Kristus yang sama mengerjakan panggilan ekumene dalam tindakan yang sama,” tegasnya, menyoroti ketidaksetaraan yang menggerogoti persatuan.

Pengalaman PGI dengan United Evangelical Mission (UEM) menjadi contoh nyata. Pertemuan Darwin dengan Sekretaris Jenderal UEM, Pdt. Dr. Andar GMP Pasaribu, pekan lalu, mengungkap relasi yang masih menyerupai “patron dan klien.” 


Baca juga: LBH YGNA Laporkan Kapolsek Cidahu, Kapolres Sukabumi, dan Kapolda Jabar ke Propam Polri Terkait Pembubaran Retreat Anak Kristen

“Beliau secara terbuka mengatakan kadang-kadang antara UEM dan mitranya itu cuma dilihat seperti patron dan klien. UEM punya uang memberikan sumbangan kepada klien, dan hanya melihat UEM sebagai donor, bukan sebagai tubuh Kristus yang sama-sama punya keunikan dan fungsi,” beber Darwin.

Relasi serupa, di mana ada gereja pemberi dan penerima, mendominasi kehidupan oikumene PGI. Akibatnya, kemitraan berubah menjadi hubungan subjek dan objek, di mana gereja yang berdana merasa superior, mendikte, dan menentukan arah. 

“Disinilah tidak terjadi sebagai sahabat atau sebagai ‘tubuh’ Tuhan,” imbuh Darwin, menekankan hilangnya esensi persahabatan sejati.


Baca juga: GAMKI–PBNU Bahas Retret yang Dibubarkan & IMB Gereja, Indonesia Butuh Titik Temu Pancasila

Spiritualitas Persahabatan, Fondasi Oikumene Masa Depan

Darwin berpandangan bahwa gereja-gereja di Indonesia dalam ber-oikumene masih terperangkap dalam semangat organisasi formal, birokratis, dan organisasional. 

“Belum hatinya dekat seperti seorang sahabat,” ujarnya.

Oleh karena itu, ia menyerukan agar perjalanan oikumene ke depan bertolak dari spiritualitas dan persahabatan (friendship spirituality)

Pentingnya gereja-gereja menghidupi spiritualitas persahabatan ini dapat dilihat dalam tindakan nyata. Darwin mencontohkan perjuangan gereja di Sumatera Utara yang berupaya menutup PT. Toba Pulp Lestari karena dinilai merusak alam.



Baca juga: Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia Kecam Keras Aksi Intoleransi di Sukabumi

“Tetapi karena tidak ada relasi persahabatan, gereja-gereja tidak mau mendukung satu sama lain karena saling mencurigai. Menganggap ini agenda sinode tertentu, bukan agenda bersama,” terang Darwin. 

Ia menambahkan PGI mencoba pendekatan informal dan relasi persahabatan untuk mengatasi hal ini, menegaskan bahwa tidak boleh ada pihak yang merasa lebih unggul atau berhak mendikte.

“Kalau tidak betul-betul mengembangkan spiritualitas persahabatan maka relasi antar gereja cenderung formal, birokratis dan legal maka keesaan dalam tindakan akan susah diwujudkan,” pungkas Darwin. 

Ia mengajak gereja untuk meneladani Kristus yang superior namun rela merendahkan diri dan menjadi sahabat bagi sesama. 



Baca juga: Satu Dekade Dualisme GKSI Berakhir Damai, Nomor 64 dan Anggur Baru

“Dalam semangat ini saya kira Oikumene perlu dikembangkan agar kita bisa adaptif dan tangguh menghadapi tantangan, termasuk menghadapi krisis demokrasi dan digitalisasi.”

Tantangan Demokrasi dan Peran Gereja

Dalam diskusi yang sama, Dekan FISIP Universitas Sam Ratulangi, Dr. Ferry Daud Liando, turut menyuarakan keprihatinannya terhadap demokrasi di Indonesia. 

Ia menilai perlu adanya koreksi karena tidak semua suara mayoritas selalu benar. Di tengah iklim demokrasi yang cenderung liberal, peran gereja dalam pemberdayaan jemaat dinilai minim.

“Bahkan gereja sudah mengarah industri ke arah materialistik. Bagaimana Kristen kokoh kalau terjadi perdebatan yang tidak substansial di dalam gereja,” ujar Ferry, menyoroti tantangan internal. 



Baca juga: 75 Tahun Merajut Asa, Perjalanan MPK dalam Membentuk Generasi Berkarakter

Ia juga mengingatkan tentang bahaya pemanfaatan gereja untuk kepentingan kekuasaan, terutama menjelang Pemilu. 

“Hati-hati politik gereja juga sudah dimanfaatkan dalam kepentingan politik. Menjelang Pemilu kadang memanfaatkan pendeta untuk kepentingan politik,” tegasnya.

Oleh karena itu, Ferry menekankan gereja perlu memperkuat demokrasinya terlebih dahulu sebelum bisa memberikan pengaruh signifikan dalam demokrasi negeri ini.

Sementara itu, Ketua GPI, yang juga Komisioner Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Pdt. Sylvana M. Apituley, mengangkat isu-isu sosial yang memprihatinkan. 



Baca juga: PGLII Siap Bersinergi dengan Pemerintah, Doakan Prabowo & Pembangunan Kantor di IKN

Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 63 Tahun 2020, ia menyebutkan adanya 62 daerah tertinggal di Indonesia, dengan 32 diantaranya berada di Kabupaten Maluku, NTT, Sulawesi, dan Sulawesi Tengah. Sisanya, sekitar 48 persen, berada di Papua.

Sylvana juga tidak menampik bahwa masalah perundungan (bullying) masih menghantui anak-anak di Indonesia, bahkan akibat perbedaan agama yang berujung pada kematian siswa kelas 2 SD berusia 8 tahun di Indragiri Hulu. 

Selain itu, ia menyoroti tingginya angka gizi buruk di NTT dan kasus kekerasan seksual anak tertinggi di Sulawesi Utara. 

Sayangnya, pemerintah daerah dinilai masih kurang terbuka dalam mengatasi kekerasan di daerahnya, padahal penanganan masalah luka pada anak sangat krusial.



Baca juga: PGI Harmony Fest 2025, Pesta Iman yang Merangkul Persaudaraan dan Sukacita

Diskusi yang dipandu oleh Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI), Jeirry Sumampouw, ini membuka mata terhadap berbagai kompleksitas yang dihadapi gereja di Indonesia, baik dalam relasi internalnya maupun perannya di tengah masyarakat yang terus berkembang. 

Seruan PGI untuk kembali menghidupi spiritualitas persahabatan dalam gerakan oikumene diharapkan menjadi langkah awal menuju keesaan yang lebih kuat dan relevan bagi tubuh Kristus di Indonesia.

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses