
OnlineKristen.com – Langit Anggruk, sebuah distrik kecil di Yahukimo, Papua Pegunungan, membisu dalam kepulan asap yang membumbung dari bangunan-bangunan yang terbakar.
Suara letusan senjata telah lama reda, tapi jejak kekerasan tetap tertanam di tanah yang mestinya menjadi ladang pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat pedalaman.
Jumat, 21 Maret 2025, menjadi hari kelam bagi para guru dan tenaga kesehatan yang telah mengabdikan hidup mereka di tempat terpencil ini.
Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) menyerang tanpa ampun—meninggalkan satu nyawa melayang, empat lainnya luka berat, serta dua lainnya luka ringan.
Baca juga: Ziarah, Diskusi, dan Bakti Sosial, Jejak Langkah Menyambut HUT ke-75 PGI di Pematangsiantar
Sekolah dan rumah sakit, yang seharusnya menjadi simbol harapan, luluh lantak dalam kobaran api.
Korban yang selamat dievakuasi dengan helikopter ke Dekai, lalu diterbangkan ke Sentani, Jayapura.
Namun, luka yang mereka bawa bukan hanya fisik—tetapi juga trauma, ketakutan, dan pertanyaan: “mengapa mereka yang datang membawa cahaya justru menjadi sasaran kegelapan?”
Di tengah duka yang masih pekat, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) angkat suara.
Baca juga: Kasus Pelecehan Seksual Anak, PGI Desak Polri Usut Tuntas dan Beri Perlindungan Korban
Sekretaris Umum PGI, Pdt. Darwin Darmawan, dengan nada getir menyatakan bahwa tragedi ini adalah pengkhianatan terhadap kemanusiaan.
“Kejadian ini sungguh mencederai rasa kemanusiaan, terutama karena para korban adalah anak-anak muda yang telah mendedikasikan dirinya secara sungguh-sungguh untuk mengabdi dan melayani,” ujarnya dalam pernyataan resmi.
PGI tak hanya berduka, tetapi juga menyerukan perlawanan terhadap kekerasan yang terus berulang.
Warga sipil, terutama mereka yang bekerja untuk kepentingan masyarakat, seharusnya mendapatkan perlindungan hukum, bukan menjadi sasaran brutalitas.
Baca juga: Bebaskan Ratu Thalisa, Seruan Pdt Gomar Gultom untuk Kebebasan Berekspresi
Padamkan Api dengan Dialog
Tanah Papua bukan sekadar bentangan perbukitan dan hutan lebat, melainkan juga panggung konflik yang tak kunjung usai.
PGI, dengan suara yang lirih tapi tegas, kembali mengajak semua pihak untuk menempuh jalan damai.
Mereka menyerukan penghentian kekerasan dan mengedepankan dialog sebagai satu-satunya jalan bermartabat untuk menyelesaikan konflik.
Sebab, sejauh apapun peluru ditembakkan, ia tak akan pernah bisa menjawab luka yang telah menganga di hati manusia.
Terhadap para pelaku, PGI berharap keadilan ditegakkan. Namun, lebih dari itu, mereka berharap tragedi ini tak menjadi pengulangan dalam sejarah kelam Papua.
Sementara itu, di Anggruk, reruntuhan sekolah dan rumah sakit masih menghitam.
Di sanalah, nyala dedikasi para guru dan tenaga kesehatan diuji oleh ganasnya kekerasan.
Akankah mereka kembali? Akankah nyala itu tetap hidup, meski diterpa badai?
Hanya waktu yang akan menjawab. Namun satu hal pasti—dunia tak boleh diam.
Be the first to comment