Paulo maiora canamus: “Marilah kita menyuarakan yang lebih bermutu.”

ONLINEKRISTEN.COM, JAKARTA – Salah satu keunikan dan kekuatan manusia terletak pada suara. Suara dalam arti real, juga dalam arti ‘pikiran, pandangan, ide, gagasan’. Manusia bisa dibedakan dari suara yang dimilikinya; suara setiap orang memiliki kekhasannya sendiri.

Suara tiap orang bisa menjadi ciri spesifik dari orang itu dan bisa menjadi penanda dari pribadi orang itu. Jika kita buka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) maka cukup banyak diberikan arti dari kata “suara”. Suara adalah bunyi yang dikeluarkan dari mulut manusia.

Selain itu ‘suara’ adalah bunyi binatang, ucapan, bunyi bahasa, sesuatu yang dianggap sebagai perkataan, pendapat, dukungan dan pernyataan. Dalam bidang musik, terutama sekali paduan suara, maka suara seseorang menjadi penting. Bahkan biasanya sebelum seseorang ikut dalam grup paduan suara, maka seseorang dites dulu suaranya.

Tes itu perlu agar diketahui secara pasti karakter suara seseorang: apakah ia lebih cocok untuk sopran, alto, tenor atau bas. Dengan mengetahui karakter suara seseorang maka penetapannya dalam tim paduan suara menjadi lebih mudah dan sebuah paduan suara akan memiliki tim yang andal yang mampu mengidungkan lagu dengan lebih profesional.

Dalam ibadah di Gereja peranan Paduan Suara menjadi amat penting bukan saja karena isinya/lyriknya yang membantu memperkuat spiritualitas umat tetapi juga lagu/melodinya yang dari segi seni musik memberikan kontribusi signifikan untuk memperdalam keimanan umat.

Pembinaan spiritualitas umat dilakukan serentak melalui kotbah, nyanyian rohani dan paduan suara. Dalam menyanyi dan berpaduan suara, umat memang sejak awal sudah terlatih membaca partitur lagu, memahami tangga nada, sehingga suara yang menyimpang dari nada (fals) tidak mungkin terjadi.

“Suara” dalam konteks pemilihan pemimpin pada level apapun menjadi sangat sangat penting. Pemilihan pemimpin di lingkup Civil Society agaknya tidak terlalu gaduh jika dibandingkan dengan lembaga-lembaga yang lain apalagi lembaga politik.

Malah rekrutmen dilingkup Civil Society khususnya di lembaga keagamaan agak sulit mencari pimpinan, dalam arti menjadi pimpinan lembaga karena para tokoh agama lebih concern pada pembinaan umat, dan tidak dalam kapasitas sebagai “pimpinan organisasi”.

“Suara” dalam konteks pemilihan kepala daerah atau pemilihan presiden kita sudah amat maklum amat riuh dan heboh pelaksanaannya. Kondisi itu bisa dimaklumi mengingat pemimpin pada level regional dan nasional berpengaruh besar dalam menata masa depan daerah/negara.

Keriuhan dan kegaduhan itu bisa berujung pada keterceraiberaian keutuhan bangsa jika suara-suara dalam pemilihan kepala daerah/presiden itu disusupi dengan isu “sara” yang mudah membakar orang-orang dalam kapasitas tertentu. Kita berharap bahwa sikap kenegarawanan para pejabat publik makin mengemuka dan sikap primordial yang penuh dengan nafsu kuasa yang besar semakin ditanggalkan.

Suara kita harus menampilkan kata-kata yang cerdas, cantik dan elegan, bukan suara penuh kebencian, melecehkan agama dan dipenuhi dendam kesumat. Suara-suara ysng sejuk berbasis agama dan mengacu budaya Indonesia yang mengapresiasi kemajemukan mesti diungkapkan setiap saat.

Suara-suara kita harus merepresentasikan sebuah nasionalisme yang kuat yang dirajut dari Pancasila dan UUD NRI 1945. Tatkala kita memperingati Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908 maka suara-suara kita mesti makin bermutu, suara yang menampilkan persatuan-kesatuan, yang menghargai kemajemukan, yang respek terhadap agama-agama, yang tidak memperalat agama/mereduksi agama menjadi instrumen politik.

Mari bangkitkan kembali sikap nasionalisme, rasa kebersamaan dan kebangsaan agar kita sebagai bangsa mampu mengatasi ancaman global!

Selamat Berjuang ! God bless.

Weinata Sairin.

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.