Dianggap Lamban, Polres Depok Didesak Segera Tuntaskan Penyidikan Kasus Pencabulan Anak Asuh “Angelo”

Dianggap Lamban, Polres Depok Didesak Segera Tuntaskan Penyidikan Kasus Pencabulan Anak Asuh "Angelo"
Polres Kota Depok

Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) mendesak Kepolisian Resor Depok untuk segera menuntaskan penyidikan kasus pencabulan anak-anak yang pernah diasuh oleh Lukas Lucky Ngalngola, yang mengaku sebagai “bruder Angelo” yang selama ini berjalan lamban, sehingga negara mengabaikan hak anak-anak korban selama hampir dua tahun lamanya.

Demikian rilis pers yang dikirim oleh salah satu kuasa hukum korban, Judianto Simanjuntak SH di Jakarta (16/3).

Kedua lembaga ini juga mendesak Kepolisian Republik Indonesia untuk membuka penelusuran dugaan tindak pidana perdagangan orang dalam kasus ini, karena anak-anak asuh diambil dari orang tua mereka yang jauh dari Depok, seperti dari Sumatera Utara dan Nusa Tenggara Timur.

Sampai saat ini terlapor, yang dikenal sebagai Bruder Angelo atau “kelelawar malam” oleh korbannya, masih bebas berkeliaran bahkan membuka panti lagi dan hidup bersama anak-anak di bawah umur. 

Poengky Indarti dari Kompolnas mendesak Polres Depok untuk melakukan upaya “ekstra”, seperti “scientific crime investigation”. 

“Misalnya kalau korban sulit diharapkan maka bisa pakai cara lain. Jadi saya berharap benar-benar gunakan berbagai cara semaksimal mungkin seperti CCTV atau hal-hal yang tidak terpikir,” kata Poengky dalam acara bedah kasus pencabulan Angelo yang diadakan ECPAT bekerja sama dengan Mitra Imadei pada Minggu, 14 Maret 2021.



Baca juga: Eks Pengurus Gereja di Depok yang Cabuli Anak-anak, Divonis 15 Tahun Penjara

“Dari Kompolnas akan kami kawal. Kami sudah terima pengaduan dari lawyer secara resmi dan akan ditindaklanjuti dan akan melakukan gelar perkara agar kasus ini bisa dijalankan dengan lebih baik,” ujar Poengky.

Nahar, Plt Deputi Perlindungan Anak di KPPA, merespons Polres Depok yang memaparkan banyak kesulitan dalam penyidikan dan mendesak kepolisian agar segera menyelesaikan berkas.

“Serahkan saja, kumpulkan saja. Nanti jaksa yang menentukan. Jadi berkas ini harusnya naik saja. Kami beri kesempatan pada kepolisian dan kejaksaan untuk konsultasi ke kami,” lanjutnya. 

“Saya yakin kasus ini bukan kasus pelik. Ini kasus biasa. Mari kita jaga kepercayaan masyarakat,” kata Nahar.

Ipda Tulus Handani, yang mewakili Ipda Elia Herawati, kepala unit PPA Polres Depok, mengatakan bahwa kepolisian telah mendapatkan petunjuk dari hasil visum.



Baca juga: Tersangka Pencabulan di Gereja Depok Lakukan Hal Ini kepada Anak-anak

“Pada saat hasil visum kita ambil ternyata di luar dugaan ada hasil yg menunjukkan anus korban terdapat luka. Atas dasar luka tersebut kami periksa lagi korban saat dia di Handayani [panti yang dikelola Kementerian Sosial] tetapi korban tidak bisa menjelaskan luka tersebut karena apa. Dia cuma bilang luka gatal, kita kasih pemahaman, dia bilang lupa. Kami sudah koordinasi utk minta pendampingan psikologi khusus utk gali keterangan korban…,” kata Tulus. 

“Karena luka dubur pastinya ada kekerasan lagi, entah karena ada pelaku lain atau karena alasan lain,” ungkap Tulus.

Ermelina Singereta sebagai kuasa hukum para korban sejak September 2020 mengatakan bahwa seharusnya kepolisian menggunakan prinsip persamaan hak di muka hukum. Pada kasus ini prinsip ini dilakukan untuk tercapainya keadilan hukum bagi korban. 

“Kami (tim hukum) sering sekali menanyakan perkembangan laporan pada kasus ini dan juga selalu memberikan informasi terkait dengan keberadaan pelaku yang kami dapatkan dari berbagai pihak. Namun sering juga terjadi perdebatan karena berbeda pandangan terkait dengan penanganan kasus yang terkesan sangat lamban, dan sepertinya ada pembiaran yang dilakukan oleh Polres Depok untuk tidak memproses kasus ini dengan cepat dan menunggu desakan publik secara terus menerus,” kata Ermelina. 



Baca juga: LAI akan Gelar Jambore Nasional Anak sekaligus Peluncuran Program Gerakan Anak Membaca KBUA Nasional

“Hal ini dapat terlihat dari hasil gelar perkara yang hasilnya kasus ini masih berada di tingkat lidik, dengan alasan kepolisian harus meminta keterangan tambahan dari korban, saksi dan perlu adanya visum et psikiatrikum bagi korban,” tambahnya. 

Berdasarkan keterangan tim kuasa hukum yang lainnya, Judianto Simanjuntak, kepolisian terkesan sangat lamban karena seharusnya jika ada kekurangan yang perlu ditambahkan maka kepolisian berkoordinasi dengan kuasa hukum dan juga pihak terkait lainnya, karena kasus ini sebenarnya sudah ditangani oleh berbagai pihak dan Mabes Polri pun berada dalam grup WA yang sama.  

Ahli hukum pidana Ahmad Sofian mengatakan bahwa Polres Depok diduga melakukan malpraktek dalam penyidikan kasus ini, yang telah dimulai sejak September 2019. 

Sofian mempertanyakan pada kepolisian mengapa terjadi penangguhan penahanan terhadap tersangka Angelo, meski kepolisian belum mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan sejak September 2019. 

“Jadi statusnya harus tetap tersangka. Kok mau diulang lagi ditetapkan sebagai tersangka?” kata Sofian.

Livia Iskandar dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengatakan bahwa LPSK telah mengupayakan membantu kasus, tetapi saat ini belum mendapatkan persetujuan dari korban dan wali dari korban, Darius Rebong. 



Baca juga: Gereja Mesti Jadi Model Perlindungan Bagi Anak

“Saya juga ingin bertanya, siapa yang menunjuk Darius Rebong sebagai wali karena menurut kami Darius ini sangat tidak kooperatif sehingga sampai saat ini. Ia sudah dihubungi berkali-kali tetapi tidak memberikan respons. Jadi perlu kita bahas bagaimana kalau wali tidak kooperatif,” ujar Livia.

Darius adalah pelapor kasus kedua pada September 2020 dan saat ini puluhan anak-anak yang dulunya diasuh Angelo tinggal di panti Darius di Depok. 

Dalam bedah kasus, peserta dari Forum Panti Nasional sempat mempertanyakan izin dan pemantauan dari pemerintah terhadap panti yang dikelola Darius.

Guru besar antropologi hukum Universitas Indonesia Prof Sulistyowati Irianto, dalam urun pendapatnya pada bedah kasus, menyatakan keheranannya akan lambannya perjalanan kasus ini. 

“Dalam pengumpulan bukti, bila bukti visum et repertum berbeda dengan keterangan korban, harus dipahami. Korban berada dalam situasi psikologis yang berat, sehingga nampak keterangannya tidak jelas, tidak konsisten, tidak bisa dipegang. Maka, keterangan korban ini harus diperlakukan secara khusus,” kata Sulistyowati. 



Baca juga: PGLII Kecam Pelaku Pembawa Kapak dan Gergaji Bubarkan Ibadah Anak Sekolah Minggu

Sulistyowati mengatakan penanganan kasus terkesan kaku, “legistis” dan mengabaikan perspektif kemanusiaan. 

“Kejaksaan sudah memiliki Pedoman No. 1/21 tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak yang memberi banyak terobosan. Kiranya pedoman ini dapat sangat membantu melindungi korban-korban kekerasan seksual semacam ini,” ungkap Sulistyowati.

“Kasus ini adalah kejahatan kemanusiaan yang sangat serius, dan mohon segera dapat dijalankan akses keadilan bagi korban,” kata Sulistyowati.

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.