HIDUP YANG MEWASPADAI KEMATIAN

”Vive memor leti. Hiduplah dengan selalu waspada akan kematian.”

HIDUP YANG MEWASPADAI KEMATIAN
HIDUP YANG MEWASPADAI KEMATIAN

Kosakata yang amat penting dalam dunia manusia adalah ”hidup” dan ”mati”. Kedua kata itu seakan dua tonggak yang menghunjam dipelataran sejarah manusia, dan di antara kedua tonggak itulah manusia mengukir karya terbaiknya.

Durasi atau jarak perjalanan dari tonggak H ke tonggak M itu amat relatif dan tak ada rumus baku tentang itu yang mampu dibuat manusia. Durasi itu tidak terukur atau terstandar, tidak karena prestasi, amal, kebajikan, suku, agama, ras, antargolongan, afiliasi politik, strata sosial dan/atau apa pun.

Umat beragama memahami bahwa durasi kehidupan manusia itu menjadi ranah Sang Maha Pencipta. Hal itu menjadi hak prerogatif Tuhan Yang Maha Esa. Dengan memahami dan menyadari dengan baik bahwa durasi hidup manusia berada dalam ranah Sang Maha Pencipta dan tidak berada dalam kompetensi manusia, manusia seharusnya hidup dalam ketaatan yang penuh kepada Kuasa Transenden, Sang Maha Pencipta.


Baca juga:

REFLEKSI ALKITAB: PERCAYA YANG SEPENUHNYA

Manusia harus makin memahami kediriannya, bahwa ia manusia fana dan terbatas, manusia yang digelimangi berbagai kelemahan, manusia yang rapuh dan fragile dalam hal-hal tertentu; manusia yang tak mampu mewujudkan karakter khalifah Allah dan imago Dei.

Realitas manusia yang lemah, rapuh dan fragile, terlepas dari kemampuan intelektual serta harta kekayaan yang mereka miliki, membutuhkan adanya ”nilai-nilai unggulan” dalam kedirian manusia.

Dalam diri manusia harus ada nilai-nilai Kasih, Sukacita, Damai Sejahtera, Kesabaran, Kemurahan, Kebaikan, Kesetiaan, Kelemahlembutan, dan Penguasaan diri. Dalam menyusuri perjalanan dari tonggak H menuju tonggak M itu  manusia menabur kebajikan, beramal saleh, melakukan hal-hal yang positif demi kemaslahatan orang banyak.


Baca juga:

Yudi Latif: RINTIHAN HEROIK

Kesembilan nilai unggul sebagaimana disebutkan di atas harus benar-benar menjadi habitus umat sehingga melaluinya kedirian manusia mampu menjadi teladan dan bisa menjadi ”investasi” untuk memasuki tonggak M.

Persoalannya adalah manusia hidup dalam sebuah komunitas dan berinteraksi dengan banyak orang dengan beragam karakter. Kesembilan butir nilai keunggulan itu (bahkan bisa lebih) memang tidak terlalu mudah untuk diimplementasikan, apalagi dalam sebuah masyarakat yang makin ”sangar” dan kasar, yang melahirkan berbagai kekerasan.

Para tokoh masyarakat, pendidik, politisi, maupun pejabat publik kita harapkan dapat memberikan keteladanan hidup yang signifikan, terutama bagi generasi muda kita, yang secara teoretik durasi hidupnya masih relatif lebih lama ketimbang para warga yang kini sudah berusia lanjut.


Baca juga:

PGI: Hentikan Praktik Diskriminasi dan Intoleransi di Singkil

Kejujuran, kebaikan hati, apresiasi terhadap keberagaman harus bisa kita wujudkan dalam kenyataan praktis. Cerita-cerita tentang kebaikan hati dan kejujuran bisa kita gali dari banyak pengalaman di berbagai tempat.

Kisah tentang kejujuran dari zaman baheula berikut ini bisa menjadi inspirasi untuk kita di abad modern ini. Dr. Tobias Smollett (1721–1771), seorang dokter yang juga penyair dan penulis, suatu hari tergerak memberikan sedekah kepada seorang pengemis yang mendekatinya di sebuah restoran.

Karena sedang terburu-buru maka yang diberikan Pak Smollett kepada pengemis itu bukanlah uang melainkan sebutir mutiara. Pengemis miskin itu baru sadar ketika kemudian melihat bahwa benda itu amat mahal dan ia merasa tak layak menerimanya.


Baca juga:

Michael Wattimena Ajak Warga Gereja Disiplin Protokol Kesehatan Covid-19

Ia kemudian berupaya mencari dr. Smollett untuk mengembalikan benda itu. Untunglah ia masih berhasil bertemu dengan dermawan itu. Namun, dr. Smollett ternyata bukan hanya menolak pengembalian mutiara itu, malahan memberikan lagi sebutir mutiara kepada sang pengemis sambil berkata: ”Betapa jujurnya kamu ini!”

Pepatah yang kita kutip di awal bagian ini mengingatkan agar kita hidup dengan selalu ”waspada akan kematian”! Waspada artinya siuman, sadar, dalam kondisi siaga, stand by; tidak tenggelam dalam kerutinan dan kekinian, eling dan ingat bahwa hidup ini temporer dan kematian dipastikan bisa datang kapan saja.

Waspada tidak hanya menghitung waktu, menjaga kesehatan. Waspada artinya juga ”memelihara iman”, menjauhkan diri dari berbagai perbuatan yang melawan hukum dan melanggar ajaran agama; tidak melakukan perbuatan suap, korupsi, diskriminasi, melanggar HAM, meneror, membunuh, menikam Da’i yang akan ceramah agama, membunuh karakter melalui IG, WA, FB dan medsos lainnya, melakukan tindak kriminal, dan berbagai tindak kejahatan lainnya.


Baca juga:

Refleksi HUT RI Ke-75 ditengah Pandemi Covid-19, Dr John N Palinggi: FILTER KEHIDUPAN AGAR BERUBAH LEBIH BAIK FILTER KEHIDUPAN AGAR BERUBAH LEBIH BAIK​

Berbuat baiklah, bertobatlah, lakukanlah metanoia, wujudkan tobat nasuha. Kita harus punya semangat hidup, semangat untuk melawan maut.

Kita mesti berjuang untuk mengobati penyakit yang mendera. Ditengah cengkeram Corona yang acap membawa kita ke liang lahat,kita harus berjuang untuk hidup, untuk memuliakan kehidupan.

Selamat Berjuang, God Bless !

(Oleh: Weinata Sairin)

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.