
OnlienKristen.com | Majelis Tinggi Sinode Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI) mengucap syukur, dalam Sidang Majelis Pekerja Lengkap Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (MPL PGI) di Balikpapan 2023, GKSI masih diberikan ruang untuk menyelesaikan secara internal, sesuai dengan amanat Sidang Raya PGI di Waingapu Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur.
“Artinya, apa yang dilakukan PGI merupakan bagian dari pembinaan pastoral bagi Sinode GKSI kami di bawah kepemimpinan Pendeta Iwan Tangka. Kami bersyukur karena itu merupakan langkah-langkah Kristiani yang patut dikerjakan oleh siapapun yang berbeda pikiran dan pendapat. Apalagi tema sentral PGI adalah membangun keesaan gereja. Kita harus mendukung PGI dalam rangka menjadi rumah bersama membangun peradaban Kristiani sebagai wadah keesaan gereja Tuhan di Indonesia,” tegas Frans Ansanay di Kantor Sinode GKSI di Jalan Kerja Bakti, Kampung Makasar, Jakarta, Sabtu, 11 Februari 2023.
“Secara manusia kita patut berdamai dengan siapa saja. Dan secara pribadi kami tidak punya persoalan dengan teman kami di sebelah (GKSI Daan Mogot),” lanjut Pendiri Sinode GKSI ini.
Baca juga: HUT Ke-34, GKSI Tetap Berdiri Kokoh Jalankan Amanat Agung
Menurut Frans Ansanay, berdamai langsung secara fisik, mungkin yang bersangkutan tidak menerima. “Tapi sebagai orang percaya, kita mendoakan yang bersangkutan, memaafkan yang bersangkutan dan memohon Tuhan mendamaikan kita. Itu jauh lebih penting daripada bersalaman tapi masih munafik dan menipu diri sendiri,” urainya.
Frans Ansanay membeberkan langkah-langkah penyelesaian yang telah ditempuh sejak 2014. “Saya perlu informasikan bahwa sejak 2014 Sidang Istimewa Sinode GKSI telah menonaktifkan mantan ketua sinode selama 25 tahun, dan tetap membuka ruang untuk menyelesaikan konflik GKSI secara ke dalam. Salah satu bukti yang paling otentik adalah struktur kepengurusan yang dipilih dalam Sidang Sinode GKSI Sidang Istimewa pada November 2014 dan Sidang Sinode November 2015 adalah memasukkan Para Pendiri GKSI sebagai Majelis Tinggi dalam struktur organisasi GKSI pimpinan Pdt Iwan Tangka,” jelasnya.
“Jadi, kita tidak membuang teman-teman yang telah bersama-sama mendirikan organisasi GKSI ini. Di dalam rakernas-rakernas GKSI, kita selalu membahas rekonsiliasi berdamai mengikuti saran PGI dan Kementerian Agama cq Dirjen Bimas Kristen bahwa gereja mesti berdamai. Sayangnya teman-teman di sebelah (GKSI Daan Mogot) menyatakan berpisah, ketika Tim Asistensi PGI mempertemukan kedua belah pihak pada 5 Januari 2018. Disitulah puncaknya,” kata dia.
Baca juga: Rakernas Sinode GKSI Tetap Rekomendasikan Rekonsiliasi, Frans Ansanay: Kami Tak Tabu Untuk Berdamai
Frans Ansanay mendengar secara langsung dari Sinode GKSI versi sebelah (Daan Mogot) yang minta pisah.
“Alasan minta pisah, tentu mereka (GKSI Daan Mogot) merasa bahwa pengikutnya lebih banyak. Mereka beranggapan jika pengikutnya lebih banyak, maka mereka berhak diterima di PGI. Sedangkan PGI tidak punya konsep banyak atau sedikit, PGI punya konsep berdamai. Pun, sebagai pendeta, Gereja Tuhan wajib hukumnya untuk berdamai. Dan pihak kami enjoy menerima itu. Juga, kalau masih ada para pihak yang menasehati kami untuk hal-hal baik, kami akan menerima,” kata dia.
Frans Ansanay menguraikan beberapa hal rumusan terkait penyelesaian secara internal. “Pertama, kami tetap mengakui yang bersangkutan (Matheus Mangentang) sebagai salah satu pendiri juga. Kedua, dalam struktur kami yang bersangkutan ada. Ketiga, kami sudah mengundang berulang-ulang namun beliau tidak hadir. Keempat, kami menerima jawaban pisah,” imbuhnya.
Baca juga: Sinode GKSI Pimpinan Pendeta Marjiyo Patenkan Logo GKSI Sejak 2016
Berangkat dari pemahaman ini, menurut Frans Ansanay, Sidang MPL PGI di Balikpapan terjadi diskusi dengan PGI terkait penyelesaian GKSI.
“Ada solusi yang berkembang ketika diskusi dengan Ketua Umum PGI dalam arena Sidang MPL di Balikpapan yaitu agar kedua-duanya membuat sinode baru dan akan diterima oleh PGI. Saya bilang, itu saran yang baik dan kita akan pertimbangkan. Dan keputusan kami adalah GKSI (Pimpinan Pdt Iwan Tangka) adalah anggota PGI yang sah karena pihak Pdt Matheus Mangentang meminta berpisah dalam artian keluar dari Sinode GKSI. Sebab perjuangan saya sangat intens memperjuangkan GKSI masuk PGI sejak Tahun 1991 sampai 1994 di Bandung dimana GKSI diterima sebagai anggota PGI ke-67,” paparnya.
Jadi, lanjut Frans, tidak bisa hanya karena membentuk dua sinode baru kemudian GKSI yang diterima PGI pada Tahun 1994 di Bandung dianggap akan gugur keanggotaannya di PGI.
“Tidak elok. Jadi siapa yang minta pisah, ya bentuk sinode baru. Logisnya begitu. Apalagi mereka menganggap banyak pengikutnya. Bahkan kami menyarankan kalau dia (GKSI Daan Mogot) bentuk sinode baru, maka kita mohon PGI menerimanya. Dan jangan menganggap ini perpecahan. Pun, kalau dibutuhkan rekomendasi, kami siap memberikan rekomendasi sebagai dukungan terhadap calon anggota baru PGI dari kelompok Matheus Mangentang. Itu merupakan solusi yang paling baik,” tegasnya.
Baca juga: Penutupan Sidang Sinode GKSI, PGI: Bangun Rekonsiliasi dan Persatuan
Menurut Frans, mereka (GKSI Daan Mogot) mesti buat sinode baru. Sebab asumsi dan gambaran yang selama ini dilakukan serta selalu menjadi argumentasi di dalam penyelesaian di PGI adalah mereka selalu mengatakan lebih banyak (jemaatnya).
“Dan pernyataan yang disaksikan oleh Tuhan, PGI, dan kami, sehingga wajar mereka lah yang membuat sinode baru. Karena kami tidak akan melepaskan GKSI kepada siapa saja atau kepada pihak mereka. Pun, kalau mereka mau tetap pakai nama GKSI, maka kita rekonsiliasi/berdamai untuk melayani bersama. Jika terjadi rekonsiliasi dan pihak mereka jadi Ketua Sinode, maka kami manut. Juga, jika pihak kami yang jadi Ketua Sinode, maka mereka ikut menyesuaikan. Dan itulah demokrasi,” imbuh dia.
Frans melanjutkan, di Gereja Aras PGI banyak terjadi seperti perdebatan dan sebagainya. Namun, setelah itu kembali normal. “Nah kalau pemimpin yang baik itu siap berbeda pendapat, pandangan dan menyelesaikan masalah organisasi,” ujar dia seraya menambahkan PGI tidak membuka ruang penyelesaian dalam sidang-sidang komisi MPL PGI di Balikpapan.
Baca juga: Sidang Sinode Ke-5 GKSI Tetap Rekomendasi Rekonsiliasi
Frans Ansanay bersyukur manakala percakapan dengan Ketum PGI Pdt Gomar Gultom, arah penyelesaian GKSI semakin jelas. “Kita doakan,” katanya.
Meski begitu, lanjut Frans, ada satu hal yang dikhawatirkan oleh pihak mereka jika nanti terjadi rekonsiliasi, aset-aset mereka bisa diambil.
“Kok masih ada orang yang berpikir seperti itu ya. Di wilayah kerja pelayanan Tuhan, kita bekerja sebagai orang-orang yang taat kepada Sang Kepala Gereja dimana kita datang untuk membawa persembahan, bukan datang untuk mengambil persembahan,” kata dia.
Frans mencontohkan orang Majus yang datang pada waktu kelahiran Yesus dimana mereka datang membawa emas, mur dan kemenyan sebagai persembahan.
“Prototype Iman Kristen mestinya seperti itu. Bukan kita justru datang untuk mengambil sesuatu dari Gereja Tuhan. Kalau kita datang mau mengambil, nggak akan selesai. Yang ada pasti muncul sikap-sikap ‘ketamakan, kerakusan’ dan sebagainya. Apakah gereja harus dibangun dengan sikap demikian,” tuturnya.
Baca juga: Solusi Rekonsiliasi bagi GKSI
“Saya katakan kepada Pendeta Gomar Gultom, kalau GKSI Daan Mogot mau ambil pengikutnya dan mempertahankan gedung gereja dan sebagainya, ambil saja. Itu tidak ada masalah. Kita kan bisa bangun lagi kok. Sedangkan kami (GKSI Pimpinan Pdt Iwan Tangka) saja terus ekspansi dalam pekabaran Injil untuk membangun Gereja Tuhan. Jadi, kalau mereka mau ambil (aset GKSI), ambil saja jemaat jemaat GKSI yang mau bersama mereka. Pun, kalau mereka mau mendaftar dan membuat sinode baru, kami kasih rekomendasi menjadi anggota PGI. Setelah ini, tentunya kita tetap berteman dalam forum-forum resmi. Kita melupakan apa yang dibelakang,” tambahnya.
Hal penting lainnya disampaikan Frans Ansanay bahwa Tema Sentral GKSI 2023 sampai kedepan (Pimpinan Pdt Iwan Tangka) adalah “Membangun kembali rumah besar GKSI melalui jalan lain.” Tema ini memberikan sinyal dan merespon pernyataan mereka (GKSI Daan Mogot) pada tahun 2018 yakni untuk berpisah atau keluar meninggalkan kami Sinode GKSI yang kini dipimpin Pdt Iwan Tangka.
Tema GKSI ini, diakui Frans Ansanay, terinspirasi dari Tema Natal Bersama PGI Dan KWI “Pulanglah ke negerimu melalui jalan lain”. (Matius 2:12)
Baca juga: Kasus Ijazah Palsu, Ketua Sinode GKSI Versi “Daan Mogot” dan Direktur Pendidikan SETIA Masuk Penjara
“Tema ini kita kemas lagi yaitu membangun kembali Rumah Besar GKSI tapi melalui jalan lain. Jadi tidak kembali ke sana, ngeri-ngeri sedap itu kalau kembali kesana. Sebab kembali melalui jalan itu susah. Nanti tidak ada penyelesaian secara internal Sinode GKSI. Jadi kita harus melalui jalan lain dalam membangun Sinode GKSI. Jadi penyelesaiannya adalah kita menerima tawaran mereka untuk berpisah dan kita membangun GKSI kedepan serta merestui mereka jadi sinode baru dan mendukung menjadi anggota PGI, bahkan kita siap memberikan rekomendasi pertama untuk mereka masuk menjadi anggota PGI,” katanya.
Terkait selama ini dihembuskannya isu perebutan aset-aset GKSI, menurut Frans Ansanay, hal itu merupakan dagangan murahan dan sudah basi karena tidak terbukti.
“Saya sebetulnya takut mau ngomong, sebab nanti dibilang Pak Frans ini sombong. Nanti dibilang, mentang-mentang orang kaya. Tapi ini merupakan catatan buruk soal isu merebut aset yang selama ini yang difitnahkan secara terus menerus oleh GKSI sebelah bahwa saya dituding mau merebut aset dan itu sudah berlangsung lama. Karena itu saya tegaskan begini, kalau bicara soal tanah, jika mereka mau tanah, saya kasih tanah. Kalau mau tanah dekat kawasan IKN juga saya kasih. Di Papua pun jika mereka mau saya kasih berapa hektar karena saya ada 70 hektar disana. Pun, kalau mau tanah di Jakarta, saya bisa kasih. Mereka mau duit, saya bisa kasih duit. Jadi, jangan dibilang saya ini mau ngambil (serobot) aset-aset yang ada pada mereka. Jangan membangun adagium yang membuat kesan lawan kita seperti itu. Fitnah-fitnah seperti itu sebaiknya tidak boleh digunakan hanya untuk menyerang kami yang dianggap sebagai lawannya,” imbuhnya.
“Teman-teman wartawan bisa menilai sendiri, antara ucapan dan tindakan bagi seorang pemimpin itu harus selaras sebagai pondasi leadership. Kalau seorang pemimpin hanya bisa bicara tapi menampilkan sifat-sifat serakah, fitnah, otoriter dan haus kekuasaan di lingkungan gereja maka kepemimpinan seperti itu harus berkaca kepada Firman Tuhan. Saya bahkan ngeri ketika baca Alkitab Matius 2:12: ‘Malaikat Tuhan datang dalam mimpi orang Majus menyampaikan mereka harus kembali ke negerinya melalui jalan lain.’ Saya bayangkan jika kembali ke Herodes, maka pasti Bayi Natal akan dibunuh. Bahkan, setelah saya telusuri biografinya Herodes, wah ngeri juga jika ada pemimpin-pemimpin gereja berperilaku seperti Herodes,” tandasnya.
(Victor)
Be the first to comment