TIGA GEREJA DI BOGOR DILARANG BERIBADAH, SETARA INSTITUTE KECAM PRAKTIK DISKRIMINASI KOLABORATIF PEMKAB BOGOR DENGAN MUI DAN FKUB

TIGA GEREJA DI BOGOR DILARANG BERIBADAH, SETARA INSTITUTE KECAM PRAKTIK DISKRIMINASI KOLABORATIF PEMKAB BOGOR DENGAN MUI DAN FKUB
Tiga Gereja (HKBP, Katolik dan Methodist) di Parung Panjang Bogor dilarang beribadah

Jakarta, ONLINEKRISTEN.COM – Kemajemukan bangsa kembali terciderai oleh praktek diskriminasi dan intoleransi terhadap umat Kristiani (Protestan dan Katolik) dalam melaksanakan kegiatan keagamaan. Praktek nyata diskriminasi dan intoleransi secara kasatmata dilakukan berjamaah dengan melibatkan Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor melalui unsur Muspida dan unsur Muspika di Kecamatan Parung Panjang Bogor. Termasuk di dalamnya Majelis Ulama Indonesia setempat, FKUB dan lembaga terkaitnya.

Demikian siaran pers Setara Institute tertanggal 12 Maret 2017, terkait Status Quo Kegiatan Kebaktian Terhadap Tiga Gereja Di Griya Parung Panjang Kabupaten Bogor, Jawa Barat, yang dikirimkan redaksi onlinekristen.com.

Lebih lanjut siaran pers Setara Institute menyebutkan lebih miris manakala dengan dalih 3 (tiga) gereja sekaligus (Gereja Katolik, Gereja Huria Kristen Batak Protestan/ HKBP dan Gereja Methodis) tidak memiliki izin pendirian, segera diikuti oleh sikap arogan dari kelompok yang mengatasnamakan Muslim melalui takmir Masjid di Griya Parung Panjang, Blok E II/ 1,3 setempat menolak dengan keras rumah tinggal sebagai tempat pelaksanaan peribadatan termasuk fasum yang tidak sesuai peruntukkannya.


Dalih tidak adanya izin mendirikan geraja merupakan alasan terklasik yang digunakan oleh kelompok-kelompok intoleran melakukan pelarangan terhadap anak bangsa berbeda keyakinan untuk menjalankan agama sesuai keyakinannya.

Di lain pihak pemerintah daerah selaku penanggung jawab terkait perizinan rumah ibadah sekaligus penyelesaian sengketa rumah ibadah, seringkali lembek dan kalah. Akibatnya insiden diskriminasi dan intoleransi menjadi terkesan sengaja dilakukan.

Sepuluh tahun terakhir, Provinsi Jawa Barat dan hampir semua Kabupaten/Kota di dalamnya tercatat sebagai daerah yang menduduki pringkat pertama kasus-kasus intoleran terhadap kebebasan beragama dan berkepercayaan.


Hal ini sudah menjadi rahasia umum selain disebabkan sikap pemerintah daerahnya sering kali tunduk pada tekanan massa kelompok intoleran, tetapi juga memelihara kelompok-kelompok tersebut sebagai konstituen politiknya.

Mencermati fenomena diskriminasi dan intoleransi berjamaah antara ormas keagamaan dan pemerintah daerah setempat, SETARA Institute secara tegas mengecam praktik-praktik diskriminasi kolaboratif antara kelompok intoleran dan pemerintah setempat. Oleh karena itu mendesak pemerintah pusat untuk bersikap tegas antara lain:

Segera hadir mencarikan solusi agar kelompok-kelompok yang terdiskriminasi dapat melaksanakan peribadatan baik secara individu maupun secara kelompok sebagaimana amanat konstitusi.


Menggunakan pendekatan khusus terhadap Jawa Barat sebagai daerah yang 10 (sepuluh) tahun terakhir menjadi daerah rawan praktek diskriminasi dan intoleransi sebagai darurat intoleransi karena seringkali melibatkan secara kolaboratif antara kelompok intoleran dan Pemdanya.

Meninjau ulang atau mencabut Peraturan Bersama Menteri (PBM) 2006 tentang tanggung jawab kepala daerah dalam penyelesaian sengketa rumah ibadah, karena acapkali merugikan kelompok-kelompok minoritas.


Antara lain; Pasal 14 [2], poin b. yang justru menjadi kendala utama kelompok-kelompok minoritas dapat mendirikan rumah ibadah meskipun sudah didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/desa.

(OK-1)

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.