
OnlineKristen.com – Di tengah gemuruh kontroversi yang memecah ruang publik, nama Ratu Thalisa—selebgram Medan yang viral karena konten TikTok-nya—kini terjerat dalam pusaran hukum. Pengadilan Negeri (PN) Medan menjatuhkan hukuman 34 bulan penjara atas dugaan penistaan agama.
Namun, di balik tembok pengadilan yang dingin, suara Pdt Gomar Gultom, Ketua Majelis Pertimbangan PGI (Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia), bergema lantang menentang keputusan itu.
Ia bukan hanya mempertanyakan keadilan, tetapi juga menggugat fondasi hukum yang dianggapnya membelenggu kebebasan berekspresi.
“Kekristenan tidak merasa ternodai,” ujar Pdt Gomar dengan penuh keyakinan.
Baginya, ajaran Kristen justru mengajarkan pengampunan, bukan penghakiman.
“Yesus sendiri berkata, ‘Ampunilah mereka, Bapa.’ Lalu, mengapa kita begitu cepat menghukum?” tanyanya retoris.
Baca juga: Menjadi Gereja yang Tangguh dan Relevan Sambut HUT Ke-75, PGI Gelar Acara Sepanjang Mei 2025
Ia menegaskan hanya mereka yang tak mampu merayakan keberagamanlah yang merasa terusik oleh ekspresi Ratu Thalisa.
“Kebebasan berekspresi adalah hak asasi. Jika kita mengekangnya, kita sedang mengkhianati nilai-nilai kemanusiaan,” tambahnya.
Pdt Gomar tidak hanya berhenti pada kritik moral. Ia melangkah lebih jauh dengan mengkritik keras penggunaan Pasal 313 KUHP dan UU ITE dalam kasus ini.
“Hukum seharusnya menjadi alat untuk mendidik, bukan menghukum secara berlebihan,” tegasnya.
Menurutnya, kasus seperti ini seharusnya diselesaikan dengan nasihat atau teguran, bukan dengan hukuman pidana yang memberatkan.
Baca juga: PGI Minta Polisi Bersikap Adil Terkait Soal Penghinaan Agama
“Pasal 313 KUHP sendiri mengamanatkan bahwa tindakan seperti ini cukup diselesaikan dengan peringatan. Hukuman 34 bulan penjara jelas tidak proporsional,” ujarnya.
Lebih dari itu, Pdt Gomar menyoroti bahaya laten yang tersembunyi di balik hukum penistaan agama (blasphemy law) dan turunannya.
“Hukum semacam ini membuka peluang bagi negara untuk ‘berteologi’, sesuatu yang seharusnya dihindari,” katanya.
Ia mengingatkan bahwa negara bukanlah institusi teologis, melainkan penjaga hak-hak dasar warganya.
“UU ITE dan hukum penistaan agama perlu ditinjau ulang. Mereka membahayakan kebebasan berekspresi dan mengancam demokrasi kita,” tandasnya.
Dalam nada yang penuh harap, Pdt Gomar mendesak Ratu Thalisa untuk mengajukan banding.
“Saya berharap pengadilan tinggi membebaskan Ratu Thalisa. Kasus ini seharusnya tidak dibawa ke ranah hukum,” ujarnya.
Baginya, kasus ini bukan sekadar tentang seorang selebgram, tetapi tentang masa depan kebebasan berekspresi di Indonesia.
“Jika kita diam sekarang, suatu hari nanti, kita semua bisa menjadi Ratu Thalisa berikutnya,” pesannya.
Kasus Ratu Thalisa telah menjadi cermin retak dari sebuah bangsa yang masih gamang menyeimbangkan antara hukum, agama, dan kebebasan.
Baca juga: Melecehkan Agama, “Charlie Heboh” Menghebohkan Jakarta
Di satu sisi, ada tuntutan untuk menghormati keyakinan agama. Di sisi lain, ada desakan untuk melindungi hak asasi manusia, termasuk kebebasan berekspresi.
Aktivis HAM dan pegiat demokrasi pun ramai-ramai menyuarakan kekhawatiran mereka.
Namun, di tengah kegelapan, dukungan dari tokoh agama seperti Pdt Gomar Gultom memberikan secercah harapan.
Ia tidak hanya membela Ratu Thalisa, tetapi juga memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan yang lebih luas.
“Kita harus belajar memaafkan, bukan menghakimi. Kita harus membuka ruang dialog, bukan menutupnya dengan hukuman,” pesannya.
Kini, semua mata tertuju pada proses banding yang akan diajukan oleh Ratu Thalisa. Apakah pengadilan tinggi akan mendengarkan suara-suara yang menyerukan keadilan dan kebebasan?
Ataukah keputusan PN Medan akan tetap berdiri tegak, mengukuhkan ketakutan akan masa depan kebebasan berekspresi di negeri ini?
Jawabannya masih menggantung, seperti awan gelap yang menunggu untuk ditembus oleh cahaya.
Satu hal yang pasti, perjuangan Pdt Gomar Gultom dan para pembela kebebasan berekspresi telah menyalakan api harapan.
Api itu mungkin kecil, tetapi ia terus menyala, mengingatkan kita bahwa kebebasan adalah hak yang tak boleh dikompromikan.
Be the first to comment